Friday 4 March 2016

MAKALAH APENDISITIS


KARYACOMBIRAYANG

BAB I

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010)

Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun sektorik di saluran pencernaan. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek fungsi system imun yang jelas (syamsyuhidayat, 2005).

Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang. Namun, dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini di duga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat pada diit harian (Santacroce,2009).

Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia, apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendisitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainya (Depkes 2008). Dinkes jateng menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus apendisitis di jawa tengah sebanyak 5.980 penderita, dan 177 penderita diantaranya menyebabkan kematian. Pada periode 1 Januari sampai 31 Desember 2011 angka kejadian appendisitis di RSUD salatiga, dari seluruh jumlah pasien rawat inap tercatat sebanyak 102 penderita appendisitis dengan rincian 49 pasien wanita dan 53 pasien pria. Ini menduduki peringkat ke 2 dari keseluruhan jumlah kasus di instalsi RSUD Salatiga. Hal ini membuktikan tingginya angka kesakitan dengan kasus apendiksitis di RSUD Salatiga.

Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan keperawatan. Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka akan memberikan manifestasi nyeri local akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2005).

Tujuh persen penduduk di Amerika menjalani apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dengan insidens 1,1/1000 penduduk pertahun, sedang di negara-negara barat sekitar 16%. Di Afrika dan Asia prevalensinya lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh karena pola dietnya yang mengikuti orang barat (www.ilmubedah.info.com, 2011).

 

B.   Rumusan Masalah

1.      Apa defenisi dari apendisitis ?

2.      Apa etiologi dari apendisitis ?

3.      Bagaimana patofisiologi apendisitis ?

4.      Apa manifestasi klinis apendisitis ?

5.      Bagaimana Pemeriksaan Penunjang ?

6.      Apa saja penatalaksanaan medis dari apendisitis ?

7.      Jelaskan Komplikasi apendisitis !

8.      Bagaimana  Pencegahan apendisitis ?

9.      Jelaskan  Prognosis apendisitis !

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KOSEP MEDIS

 

A.  Defenisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).

Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.

Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis  adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.

Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain  :

1.    Apendisitis akut

Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.

2.    Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)

Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa  di tutupi pendinginan oleh omentum.

3.    Apendisitis perforata

Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan  diagnosa merupakan faktor yang berperan  dalam terjadinya perforasi apendiks.

4.    Apendisitis rekuren

Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.

5.    Apendisitis kronis

Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

 

B.  Etilogi

Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen  apendiks, hiperplasia  jaringan  limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan   rendah   serat   dan   pengaruh   konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan   tekanan intrasekal yang berakibat  timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2004).

 

C.  Patofisiologi

Apendisitis  biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen  apendiks  oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit,  benda asing,  striktur  karena  fibrosis  akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut   menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks  mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan  intralumen.  Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada   saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat  sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat,  omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena  omentum  lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding  apendiks  lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

 

D.  Manifestasi Klinik

Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 – 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.

Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri.

Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002), apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada  apendiks  yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri tekan terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks  berada dekat  rektum. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi  kuadran  bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala  apendisitis  dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.

Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi klinis apendisitis adalah  sebagai berikut:

1.    Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual, dan seringkali muntah

2.    Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian bawah otot rektus kanan

3.    Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri tekan, spasme otot, dan konstipasi serta diare kambuhan

4.    Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah , yang menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)

5.    Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

 

 

 

E.  Pemeriksaan Penunjang

1.      Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.

2.      Pemeriksaan urine

Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.

3.      Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.

4.      Pemeriksaan USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.

5.      Abdominal X-Ray

Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

 

F.   Penatalaksanaan

Pembedahan   diindikasikan   bila   diagnosa  apendisitis  telah   ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan   setelah   diagnosa   ditegakkan.  Apendiktomi  (pembedahan   untuk mengangkat  apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi  dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan  ultrasonografi  bisa dilakukan bila dalam observasi   masih   terdapat   keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik  pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak  (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:

1.      Tindakan medis

a.    Observasi terhadap diagnosa

Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut.  Bila diperlukan maka dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.

b.    Intubasi

Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap terpasang.

c.    Antibiotik

Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang berat dan demam yang tinggi .

2.      Terapi bedah

Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai  praksi mortalitas 1 % secara primer  angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.

3.      Terapi pasca operasi

Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan  pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai  15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.  Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk  diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang. 

 

G.  Komplikasi

Komplikasi   utama  apendisitis  adalah  perforasi   apendiks  yang   dapat berkembang   menjadi  peritonitis  atau  abses.  Insidens  perforasi  adalah   10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2002).

 

H.  Pencegahan

1.      Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan makanan dalam saluran cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan mengeras.

2.      Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.

 

I.     Prognosis

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit apendisitis sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada (Mansjoer, 2000).


 

BAB III

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).

Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain  :

1.    Apendisitis akut

2.    Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)

3.    Apendisitis perforata

4.    Apendisitis rekuren

5.    Apendisitis kronis

Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen  apendiks, hiperplasia  jaringan  limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan   rendah   serat   dan   pengaruh   konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini.

Apendisitis  biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen  apendiks  oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit,  benda asing,  striktur  karena  fibrosis  akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

 

B.  Saran

Jagalah kesehatan dengan minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Baughman, Diane C  dan  Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.

_____________2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.

Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.