NASAKH, NASIKH, & MANSUKH
1.
Pengertian Nasakh, Nasikh dan Mansukh
A. Nasakh
Belum ada
kesepakatan diantara para ulama mengenai pengertian nasakh, baik menurut bahasa
ataupun istilah, sehingga masih selalu ada beberapa penngertian untuk
masing-masingnya. Menurut bahasa, kata nasakh sedikitnya mempunyai beberapa
macam arti, sebagai berikut:
1.
Menghapus/ meniadakan (Al-Izalah Wal
I`daam). Yakni kata nasakh itu berarti menghapuskan atau menghilankannya.
2.
Memindahkan sesuatu yang tetap sama
(At-Tahwill Ma`a Baqaa`ihi fi Nafsihi). Yakni, nasakh itu berarti memindahkan
suatu barang dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi barang itu tetap sama
saja.
3.
Menyalin/ mengutip (An-Naqlu Min
Kitaabin IIaa Kitaabin). Yakni, nasakh diartikan dengan menyalin/mengutip
tulisan dari buku ke dalam buku lain, dengan tetap adannya persamaan antara
salinan/ kutipan dengan yang disalin/ dikutip.
Dengan arti mengubah dan membatalkan
sesuatu dengan menempatkan sesuatu yang lain sebagai gantinya (At-Taghyir wal
Ibthaal wa Iqaamatisy Sya`I Maqaamahu). Yakni, nasakh itu diartikan dengan
mengubah sesuatu ketentuan/ hukum, dengan cara membatalkan ketentuan hukum yang
ada, diganti dengan hukum baru yang lain ketentuannya.
Para ahli bahasa berbeda pendapat
ketika menyebutkan beberapa macam arti diatas. Manakah arti yang paling hakiki
bagi makna nasakh? Apakah semua makna iyu memang makna yang sebenarnya? Dari
sisi terminologi/ istilah, apabila memperhatikan kata naskhdalam istilah ulama
al-Quran dan para mufasir, kita mendapati bahwa kata ini telah melewati
berbagai perkembangan sehingga sampai menjadi arti khusus sampai sekarang.
Proses ini dimulai sejak periode pertama ketika para sahabat mengataka nasakh
hanya sekedar pertentangan satu ayat dengan ayat yang laindalam kejelasan
ayatnya. Dari empat macam arti nasakh menurut bahasa tersebut, ternyata hanya
ada satu arti naskh yang relevan dengan arti naskh menurut “istilah,”
sebagaimana keterangan berikut. Yakni, arti At-Taghyir wal Ibthaal wa
Iqaamatisy Sya`I Maqaamahu.
Sebab, inti pengertian nasakh
menurut istilah adalah mengubah ketentuan hukum/ peraturan dengan cara
membatalkan hukum/ peraturan yang pertama diganti dengan yang baru, ynag lain
ketentuannya. Pengertian nasakh menurut “istilah” ini hanya sejalan dengan arti
nasakh: At-Taghyir wal Ibthaal wa Iqaamatisy Sya`I Maqaamahu. Berbeda dengan
arti nasakh: Al-Izalah Wal I`daam yang mempunyai arti ” menghapus atau
meniadakan “. Arti ini tidak cocok dengan arti nasakh menurut istilah, yang
harus ada penggantinya.
Begitu juga arti nasakh: At-Tahwill
Ma`a Baqaa`ihi fi Nafsihi, yang hanya mempunyai arti “memindahkan.” Arti ini
juga tidak cocok dengan arti menurut istilah. Sebab, arti memindahkan itu
menunjukkan bahwa apa yang dipindahkan dari stu tempat ke tempat lain itu tetap
sama adanya, sedangkan arti nasakh menurut “istilah” itu menunjukkan bahwa
hukum/ peraturan yang diubah itu berbeda ketentuannya dengan hukum yang baru
sebagai panggantinya. Juga arti nasakh: An-Naqlu Min Kitaabin IIaa Kitaabin,
arti ini juga tidak cocok dengan arti nasakh menurut “istilah”. Sebab, salinan/
kutipan itu pada dasarnya tentu sama dengan yang disalin/ dikutip sehingga
tidak relevan dengan arti nasakh menurut istilah, dimana ketentuan hukum/
peraturan baru itu tentu selalu berbeda dengan ketentuan hukum/ peraturan lama
yang sudah diubah.
Yang
terdapat dalam nasakh:
1. Nasakh terdapat pada perintah dan
larangan.
2. Nasakh tidak terdapat dalam
akhlak dan adab yang didorong Islam adanya.
3. Tidak terjadi pada aqidah,
seperti
•
Zat-Nya
•
Sifat-Nya
•
Kitab-kitab-Nya
•
Hari akhir
Tidak
pula mengenai khabar sharih (yang jelas dan nyata)
•
Janji baik Allah SWT bagi orang bertakwa masuk syurga
•
Janji jahat Allah SWT bagi orang yang mati kafir atau musyrik, masuk neraka
4.
Tidak terjadi mengenai ibadat dasar dan mu`amalat, karena semua agama tidak
lepas dari dasar-dasar ini.
B. Nasikh
Nasikh menurut bahasa berarti
sesuatu yang menghapuskan menghilangkan, atau yang memindahkan atau yang
mengutip/ menyalin serta mengubah dan mengganti. Jadi, hampir sama dengan
pengertian nasakh menurt bahasa seperti yang diterangkan diatas. Bedanya,
nasakh itu kata masdar, sedangakan nasikh ini isim fa’il, sehingga berarti
pelakunya. Sedangkan pengertian nasikh menurut istilah, ada dua macam, yaitu:
1.
Nasikh ialah hukum syarak atau dalil
syarak yang menghapuskan/ mengubah hukum/ dalil syarak yang terdahulu dan
menggantinya dengan ketentuan hukum yang baru yang dibawahnya.
2.
Nasikh itu ialah Allah SWT, bahwa
sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum syarak itu ialah Allah SWT,
tidak ada yang lain. Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama-ulama
mutaqqaddimin dan muta’akhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasikh
secara terminologi. Para ulama itu memperluas arti nasikh hingga mencangkup:
ü Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan
kemudian
ü Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
spesifik yang datang kemudian
ü Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius
ü Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna
membatalkan atau merebut.
C. Mansukh
Mansukh menurut bahasa, berarti
sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah ataupun disalin. Sedangkan menurut
istilah menurut istilah para ulama, mansukh ialah hukum syarak yang diambil
dari dalil syarak yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti
dengan hukum dari dalil syarak baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah
berupa ketentuan hukum syarak pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang
baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan
dan penggantian hukum tadi.
Syarat-syarat Nasikh dan Mansukh
1.
Hukum yang dinasakhkan harus berupa
hukum syarak, bukan hukum lain, seperti hukum akal atau hukum buatan manusia.
2.
Dalil yang digunakan untuk
mengangkatkan hukum itu ialah dalil syara` yang datangnya kemudian dari teks
yang dimansukhkan hukumnya.
3.
Dalil/ ketentuan nasikh harus
terpisah dengan dalil/ ketentuan mansukhnya.
4.
Dalil nasikh harus lebih kuat atau
sama kuat daripada dalil mansukh.
5.
Adanya dalil baru yang menghapus itu
harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama.
6.
Antara dua dalil nasikh dan mansukh
atau dalil I dan dalil II yaitu harus ada pertentangan yang nyata.
Disamping
itu masih ada syarat-syarat Nasakh yang belum disepakati yakni:
1.
Nasakh dan mansukh tidak sejenis.
2.
Adanya hukum baru sebagai hukum yang
dinasakhkan.
3.
Hukum pengganti lebih berat daripada
hukum yang diganti.
4.
Cara mengetahui Naskh dan Mansukh
Ada tiga cara untuk mengetahui
ketentuan dalil yang datang duluan atau kemudian, yaitu sebagai berikut:
1.
Dalam salah satu dalil nashnya harus
ada yang menentukan datangnya lebih belakangan dari dalil yang lain.
2.
Harus ada kesepakatan (ijmak) dalam
suatu masa dari sepanjang waktu yang menetapkan, bahwa salah satu dari dua
dalil itu datang lebih dahulu dan yang lain datang kemudian.
3.
Harus ada riwayat shahih dari salah
seorang sahabat yang menentukan mana yang lebih dahulu dari kedua dalil nash
yang saling bertentangan tadi.
3 Beberapa pandangan terhadap Naskh
Pendapat
para ulama tentang Nasakh dan dalilnya
Hukum-hukum Allah itu datang
bergantian kepada Rasul-Nya untuk memperbaiki kehidupan manusia di bidang
akidah dan muamalah. Khusus dalam bidang akidah, hukum-hukum syariat itu tetap
tidak mengalami perubahan. Sebab, hukum akidah itu selau berdasar atas ketauhidan.
Hal ini sesuai firman Allah dalam surat Al Anbiya ayat 25:
Artinya:
“ Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku,
maka sembahlah Aku oleh kalian.”(Q.S Al Anbiya: 25)
Dilingkungan para ulama dari berbagai agama, ada berbagai
pendapat mengenai nasakh diantaranya:
1.
Masalah nasakh tersebut, secara akal
bisa terjadi dan secara sami’ talah terjadi. Pendapat ini merupakan ijmak kaum
muslimin/ jumhur ulama, sebab munculnya Abu Muslimin Al-Ashfihani (wafat 322 M)
dan orang-orang yang sepaham dengan dia. Pendapat ini juga mempunyai pendirian
dari ijmak kaum nasrani sebelum abad ini, yang telah mengubah ijmak mereka.
Pendapat ini juga mempunyai pendirian dari kaum’Ausiwyah’ yaitu sekelompok dari
golongan Yahudi.
Menurut jumhur ulama, tidak ada
perselisihan diantara para ulama tentang diperbolehkannya nasakh dalam al
Quran. Dalil mereka ialah sebagai berikut:
Artinya:
“Apa saja yang telah Kami nasakhkan,
atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya. Kami datangkan yang lebih baik
darinya atau yang sebanding dengannya.” (Q.S An Nahl: 101).
2.
Masalah Nasakh itu tidak mungkin
terjadi menurut akal atau pandangan. Pendapat ini adalah dari seluruh kaum
Nasrani masa sekarang ini, yang selalu menyerang Islam dengan dalih Nasakh ini.
Pendapat ini dipilih oleh golongan Sam`uniyan dari kaum Yahudi. Mereka
mengingkari adanya nasakh dengan alas an, nasakh itu kadang-kadang tanpa hikmah
ada hikmahnya, tetapi baru diketahui setelah tidak diketahui sebelumnya.
3.
Nasakh itu menurut akal mungkin
terjadi tetapi menurut syarak dilarang. Pendapat ini merupakan pendirian
golongan Inaniyah dari kaum Yahudi dan pendirian Abu Muslim Al Asfihani. Mereka
mengakui terjadinya nasakh menurut logika, tetapi mereka mengatakan nasakh
dilarang dalam syarak.
4. Pembagian Naskh dan Contoh-Contohnya
Berdasar kejelasan dan cangkupannya, naskh dalam al Quran
dibagi menjadi:
1.
Nasikh sharih yaitu ayat yang secara
jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Contohnya dalam surat
Al Anfal [8]: ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh
kafir:
Artinya :
“Hai Nabi, kabarkanlah semangat
orang mukmim untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara
kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada
seratus orang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab
orang-orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.” (Q.S Al Anfal [8]: 65)
Ayat ini menurut jumhur ulama dihapus oleh ayat yang
mengharuskan satu orang mukmim melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalm surat
yang sama:
“Sekarang Allah telah
meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan . maka jika
ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang kafir; dan jika diantara kamu terdapat seribu orang sabar,
mereka dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” (Q.S Al Anfal [8]: 66)
2.
Nasikh
dhimmy yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat
dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui
turunnya, maka ayat yang datang kemudian menghapus ayat yangterdahulu.
Contohnya adalah ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang
yang akan mati:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu
kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meniggalkan harta yang banyak, untuk
berwasiat bagi ibi-bapak serta karib-kerabatnya secara makruf.” (Q.S Al Baqarah
[2]: 180)
Ayat ini pendukung teori nasikh dihapus oleh hadis la
washiyyah li wariis (tidak ada wasiat bagi ahli waris)
3.
Nasikh
kully yaitu penghapusan hukum sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya
ketentuan iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al Baqarah [2] ayat 234
dihapus oleh ketentuan iddah satu tahun pad ayat 240 dalm surat yang sama.
4.
Nasikh
juz`iy
Yaitu penghapusan hukum umum yang berlaku bagi semua
individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individuatau penghapusan
hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya hukum dera 80
kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An
Nur[24] ayat 4 dihapus oleh ketentuan li`an yaitu bersumpah empat kali dengan
nama Allah bagi si penuduh pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Adapun dari sisi otoritas , para ulam membagi nasakh
menjadi:
1.
Nasakh Al-Quran dengan Al-Quran
(Naskhul Qur`aam bil Qur`aani). Jenis nasakh pertama ini telah disepakati oleh
seluruh orang yang mengetahui nasakh mengenai kebolehannya terjadinya nasakh.
Contohnya seperti ayat 12 surat Al Mujadilah yang dinaskh dengan ayat 13 surat
Al Mujadilah, seperti yang telah dijelaskan dimuka.
2.
Nasakh Al-Quran dengan sunnah
(Naskhul Qur`aam bis Sunnati). Nasakh Al-Quran dengan sunnah ini boleh, baik
sunnah yang ahad atau mutawir. Nasakh dengan hadis ahad tidak diperbolehkan
oleh jumhur ulama. Sebab, adalah mutawir datangnya. Sedangkan hadis ahad itu
hanya memberikan faedah yang dugaan saja. Contohnya dalam surat An_Najam ayat
3-4 yang dinasakh oleh surat An-Nahl ayat 44.
3.
Nasakh sunnah dengan Al-Quran
(Naskhul Sunnah bil Qur`aani). Nasakh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan
berdasar sunnah diganti dengan hukum yang didasarkan Al-Quran. Contohnya
seperti berpuasa wajib pada hari As syura yang ditetapkan berdasarkan sunah
riwayat Bukhari Muslim dari Aisyah r.a.
4.
Nasakh sunnah dengan sunnah (Naskhul
Sunnah bis Sunnah). Yaitu hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil sunnah pula.
5. Macam-macam Nasakh dalam Al-Quran
1.
Menasakh bacaan ayat dan hukumnya
sekaligus (Naskhut Tilaawati). Yaitu, menghapuskan bacaan ayat dan hukum isinya
sekali, sehingga bacaan ayatnya sudah tidak ada. Contohnya adalah penghapusan
ayat yang mengharamkan kawin dengan saudara sepersusuan karena bersama-sama
menetek kepada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan, yang dinasakh dan
diganti dengan lima kali susuan. Hukum dari nasakh ini telah disepakati
kebolehannya oleh para ulama yang menyetujui nasakh.
2.
Menasakh hukumnya tanpa menasakh
bacaannya (Naskhul Hukmi Duunat Tilaawati), yakni tulisan dan bacaan ayatnya
masih ada dan masih boleh dibaca, tetapi isi hukum ajarannya sudah dinasakh,
sudah dihapuskan dan diganti dengan yang lain sehingga sudah tidak boleh
diamalkan lagi. Contohnya dalam surat Al Baqarah 240 ynag berisi tentang
isteri-isteri yang dicerai dari suaminay itu harus beriddah selam satu tahun .
tetapi kemudian Allah SWT hukum ayat tersebut, sehingga keharusan beriddah
selama satu tahun sudah tidak berlaku lagi.
3.
Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh
hukumnya (Naskhut Tilaawati Duunal Hukmi), yakni tulisan ayatnya sudah dihapus,
sehingga sudah tidak dapat dibaca lagi, tetapi hukum isinya masih tetap berlaku
dan harus daiamalkan.
6. Perdebatan dalam Nasakh
Para ulama berbeda pendapat perihal adanya nasikh dan
mansukh dalam Al-Quran . Ada dua golongan yang berbeda pendapat:
1.
Golongan ke I menyatakan bahwa ada
nasikh mansuk dalam Al-Quran . Yang termasuk golongan ini adalah:
• As Syafi’i (254 H)
• An Nahas (388 H)
• As Sayuti (911 H)
• Asz Syaukani (1280 H)
Alasan-alasan mereka:
· Berdasar dalil Al-Quran sendiri dalam surat Al Baqarah 106
yang mengindikasikan pemberitahuan Allah SWT bahwa ada ayat yang diganti oleh
ayat lain.
· Karena adanya kenyataan, beberapa ayat memperlihatkan
perlawanan antara lahiriyah ayat yang satu dengan yang lain.
2. Golonga ke II menyatakan bahwa tidak ada nasikh dan
mansukh dalam Al-Quran . Yang termsuk golongan ini adlah:
• Abu Muslim Isfahan (322 H)
• Al Fakhur Razy (504-606)
• Muhammad Abduh (1325 H)
• Rasyid Ridha (1354 H)
• Dr. taufik Sidqi (1298 H)
• Ubay bib Ka’ab
Alasan-alasan mereka:
·
Tidak ada keterangan spesifik dan
tegas dari Al-Quran .
·
Tdak ada keterangan hadis yang
shorih/jelas yang meyakinkan perihal adanya ayat yang dimansukh itu dan ayat
apa yang memansukh.
·
Melihat pendapat para ulama
yangmenyatakan adanya nasikh dan mansukh tidak kompak.
·
Setelah direnungkan ternyata ayat
yang nampaknya berlawanan itu masih bisa di kompromikan.
·
Tidak adanya hikmahnya nasikh dan
mansukh dalam Al-Quran .