Sunday, 1 November 2015

PENGERTIAN TAKWIL

KARYA KOMPUTER BIRAYANG

TAKWIL

 

 Lafazh al-Qur’an terkadang diungkapkan secara tersirat (implisit) dan tidak tersurat (eksplisit), atau diisyaratkan terutama dalam ayat-ayat Mutasyabihat, sehingga maknanya tersembunyi di bawah permukaan lafazh. Makna tersebut dapat ditemukan dengan menggunakan metode ta’wil, sebuah metode untuk menemukan makna batin (esoteris) dalam pengungkapan teks. Jadi, ta’wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir.[1]

Tafsir dan takwil adalah dua istilah yang sama-sama bertujuan menggali makna kandungan ayal al-Qur’an. Namun daripada itu, istilah tafsir lebih umum daripada takwil. Jika disebut istilah tafsir maka ia bermakna umum sebagai penjelasan ayat al-Qur’an sehingga takwil masuk ke dalamnya.

Menurut ath-Thabari, konsep tafsir dan takwil itu sama. Namun menurut az-Zarkasyi pengertiannya berbeda. Lepas dari perbedaan pendapat tersebut kami akan memfokuskan kepada pembahasan syarat-syarat pentakwilan, supaya terhindar dari kesalahan mentakwilkan.

 

2.1.   Syarat Syarat Mentakwilkan

Para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah ta’wil, sebagai berikut;[2]

1.      Adanya pertentangan antara dua dalil yang shahih, jika salah satunya lemah maka yang diambil adalah yang shahih dan tidak ada ta’wil. Seperti antara QS.An-Nisa (3) : 2 dan ayat 6. Pada ayat yang pertama, Allah memerintahkan untuk memberikan harta anak yatim (mutlak), yaitu orang yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum usia baligh. Akan tetapi makna ayat ini bertentangan dengan ayat yang kedua yang bermakna perintah untuk memberikan harta anak yatim ketika sudah usia baligh. Maka, kata yatim pada ayat pertama harus dita’wil dengan mengalihkan maknanya dari makna hakiki kepada makna majazi.

2.      Ta’wil tidak boleh menggugurkan nash syar’i lainnya, karena ta’wil merupakan salah satu metode ijtihad yang bersifat zhanni sedangkan nash yang bersifat zhanni tidak bisa mengalahkan nash yang bersifat qath’iy. Seperti QS. Al-Maidah: 6 ( وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ) kemudian dibaca kasrah (أَرْجُلِكُمْ) oleh kalangan Syi’ah, mereka memilih kasrah bukan fathah dengan alasan athaf. Hal ini akan berimplikasi kepada pemahaman ayat, bolehnya (cukupnya) mengusap kaki dalam wudhu. Pemahaman ini akan berdampak negatif kepada dua hal; pertama, menggugurkan hadith-hadith shahih yang memerintahkan untuk membasuh kaki. Kedua, lazimnya mengusap kaki hanya sebatas mata kaki. Sehingga pembatasan (qaid) pada mata kaki menjadi tidak berguna. Padahal kerancuan makna dalam kalamullah mustahil terjadi.

3.      Lafazh yang ingin dita’wil adalah lafazh ambigu dan bisa dita’wil. Menurut kalangan Hanafiyah, lafazh yang ingin dita’wil harus lafazh nash dan zhahir. Misalkan, lafazhnya adalah lafazh umum yang dapat dikhususkan (ditakhshish), atau lafazh mutlak yang dapat diberi batasan (taqyid), atau lafazh bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna metaforis (majazi), dan sebagainya. Maka, jika ta’wil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima.

4.      Ta’wil (mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna batin) harus berdasarkan pada dalil yang shahih dan dalil makna batin harus lebih kuat dari pada makna zhahir. Misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus(takhshish), atau memberikan batasan (taqyid) pada nash mutlak berdasarkan dalil yang memberikan batasan (mentaqyid). Maka, ta’wil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tapi dalilnya lemah(marjuh), atau sederajat kekuatannya (musawi) dengan lafazh yang dita’wil, tidak diterima.

5.      Orang yang hendak melakukan ta’wil, haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar’i. Orang yang tidak memiliki kualifikasi tersebut dilarang melakukannya karena akan terjatuh pada perbuatan yang dilarang yaitu mengucapkan sesuatu tanpa ilmu.

6.      Ta’wil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar’i, atau makna urf (kebiasaan orang Arab).  Misalnya, menakwil quru` (QS. Al-Baqarah (2): 228) dengan arti haid atau suci adalah ta’wil sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk quru`. Ta’wil yang tidak sesuai makna bahasa, syar’i, atau urf, tidak diterima.

7.      Jika ta’wil dengan qiyas maka, hendaknya menggunakan qiyas jaliy menurut ulama Syafi’iyah. Bagi mereka, dalam qiyas jaliy telah diketahui secara pasti bahwa tidak ada sisi perbedaan (i’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara hamba sahaya laki-laki (al-‘abd) dengan hamba sahaya perempuan (al-amah) dalam hukum perbudakan. Sedangkan qiyas khafiy, masih dugaan bukan keyakinan dalam hal tidak adanya sisi perbedaan (i’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara anggur dengan khamr ketika diminum dalam jumlah yang sedikit. Karena mungkin khamr memiliki kelebihan (lebih keras) bila dibandingkan dengan anggur.

Selain menetapkan aturan dalam menta’wil, para ulama juga menetapkan beberapa persyaratan bagi orang yang ingin melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga merupakan kriteria bagi seorang mujtahid dan mufassir;

  1. Memiliki ilmu tentang Al-Qur’an; mengetahui dan mengusai ayat-ayat Al-Qur’an terutama ayat-ayat hukum dan tidak disyaratkan harus menghafalnya.
  2. Memiliki ilmu tentang As-Sunnah; mengetahui dan mengusai hadith-hadith hukum dan mampu menyebutkannya, serta membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif, mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui ijma’, dan perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
  3. Mengusai ilmu ushul fiqh sebagai modal ijtihad.
  4. Mengusai bahasa Arab dengan baik dan mengetahui makna-makna dari setiap katanya, karena ta’wilta’wil batil kebanyakan berasal dari orang ajam yang tidak mengusai bahasa Arab.
  5. Mengetahui maqashid syari’ah dengan baik.
  6. Beraqidah yang lurus, terpercaya, dan wara’.

 

2.2.      Pandangan Para Ulama Sekitar Persyaratan Menakwilkan

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ta’wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya (makna rajih) kepada makna esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil (qarinah). Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan ta’wil. Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta’wil yang shahih, sedangkan tanpa dalil adalah ta’wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu.[3] Menurut para ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna esoteris (makna marjuh) dari pada makna zhahir.

  1. Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah; seperti firman Allah tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah) dalam QS. Al-Maidah: 3). Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadith bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat tentang kambing milik Maimunah Radhiyallah ‘anha yang mati yang akan dibuang, “Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?”, para sahabat menjawab, “Tapi ini bangkai?”, beliau menjawab, “Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya”.[4] Dalil dari hadith ini mengalihkan sebuah lafazh dari makna zhahirnya.
  2. Ijma’; seperti firman Allah dalam QS.Al-Jumu’ah: 9,[5] secara zhahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki, perempuan, orang yang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma’ mengecualikan anak-anak yang belum baligh.
  3. Qiyas; diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus dengan qiyas jaliy, seperti qiyas budak laki-laki pada budak perempuan dalam hal pembebasannya, sedangkan qiyas fariq tidak berlaku.
  4. Hikmah Tasyri’ dan kaidah-kaidah dasar syari’at; seperti kewajiban zakat dari empat puluh ekor kambing dengan satu ekor[6] فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ . Menurut ulama Syafi’iyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir lafazh hadith dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena lafazhnya jelas, khusus, dan qath’i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena hikmah dari mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syari’at.[7]

Dalam kaitannya dengan masalah makna, seorang mujtahid ketika akan mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan hal-hal berikut;

  1. Makna lughawi bahasa Arab, seperti kata shalat yang berarti do’a, zakat yang berarti penyucian, dan shaum yang berarti menahan.
  2. Istilah-istilah syar’i; kata yang memiliki pengertian khusus dalam syar’i, sehingga makna kata tersebut harus dikembalikan kepada makna syar’i bukan kepada makna lughawi (bahasa).
  3. Istilah dalam urf (kebiasaan), baik urf  yang bersifat umum seperti kata الدابة untuk makhluk yang berkaki empat (melata) atau kata الغائط untuk kotoran, maupun urf  yang bersifat khusus seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya.[8]

Selain memperhatikan tiga hal di atas, dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah juga harus mengembalikan kepada makna yang dekat atau berdasarkan dalil. Dalam hal ini, ada tiga macam pengalihan lafazh dari makna zhahirnya;

1.  Mengalihkan kepada yang terdekat. Seperti lafazh إذا قمتم إلى الصلاة dalam QS. Al-Maidah (5) : 6 [9]kata القيام dalam ayat ini dita’wilkan (diartikan) ketika hendak dan ingin melaksanakan shalat.

2.   Mengalihkan kepada yang jauh, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil shahih yang menguatkan bahwa yang dimaksud dari lafazh tersebut adalah makna yang jauh. Seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ghailan Ath-Thaqafi ketika masuk Islam dan masih memiliki sepuluh orang istri, ” أمسك أربعًا و فارق سائرهن(Pilihlah empat dari mereka dan ceraikanlah sisanya).[10] Ulama Hanafiah menta’wilkan hadith ini dengan perintah untuk menikahi empat orang wanita tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan pernikahan kafir dan Islam. Pendapat ini ditentang oleh ulama lain yang berpendapat bahwa tidak perlu mengulangi akad nikahnya dengan alasan Ghailan masih baru masuk Islam dan belum mengetahui hukum-hukum Islam dan seandainya pendapat pertama benar, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan menjelaskan hal itu kepada Ghailan.

3.  Ta’wil batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafazh. Seperti ta’wil yang dilakukan oleh kelompok Rafidhah terhadap firman Allah أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ (…atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu...).[11] Mereka menta’wilkan lafazh ini dengan selain kabilah kalian, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam.[12]

 

2.3. Macam – Macam Syarat Menakwilkan[13]

  • Lafaz yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya

Dalil-dalil yang telah ditafsirkan dan ditetapkan ketentuan hukumnyatidak bisa di-takwil. Namun menurut Hanafiyah, takwil itu boleh sekalipun pada nash yang zahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syariat Islam.

  • Takwil itu harus berdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan takwil

·         Misalnya, dengan mentakhsis yang amm. Dan tawil macam inilah yang terbanyak dilakukan.

  • Lafaz menekan arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa

·         Misalnya, men-tayid yang mutlaq dengan muqayyad. Ketila sunnah men-taqyid wasiat yang ada dalamAl-Qur’an dengan sepertiga.

  • Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i, karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum

·         Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat melawan yang qath’i. Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an dengan mengubah arti yang zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.

  • Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari zahir, yakni dikuatkan dengan dalil

·         sebagian acuan dalam menentukan kekuatannya adalah sejauh mana kejelasan maksud syara’ dalam setiapdilalahnya.

Takwil itu terkadang tidak membutuhkan dalil, tetapi dimungkinkan berdasarkan pada pemahaman yang dangkal, akal dan teks sesuatu. Takwil seperti itu dinamakan oleh ulama Ushul dengan istilah takwil qarib yang cukup memakai dalil yang terendah. Misalnya firman Allah SWT dalam al-Qur’an surah al- Maidah (5) : 6

Arti zahir dari ayat “ … apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku…” adalah mengharuskan berwudhu setelah melaksanakan shalat. Pemahaman seperti itu tentu saja bertentangan dengan syarat sahnya shalat yang mengharuskan berwudhu terlebih dahulu. Dan syarat itu harus didahulukan, baik menurut akal ataupun syara’ agar shalatnya sah. Untuk itu, lafaz al-qiyamu dalam firman Allah ta’ala diatas harus ditakwilkan. Kemudian diubah dari artinya yang hakik kepada artinya yang majazi yaitu al-‘ajmu (bermaksud) mendirikan, bukan mendirikan dengan sendirinya. Dengan demikian, arti ayat tersebut akan menjadi sah dengan kalimat:

اذا عجمتم او اذا ارد تم

Itulah beberapa persyaratan takwil, jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi dinamakan takwil baid.

Sekilas tentang takwil baid akan kami jelaskan disini: jika persyaratan tak dapat dipenuhi dalam suatu penakwilan, maka takwil tersebut dinamakan takwil ba’id. Juga jika ada penyimpangan dari persyaratan tadi maka takwil seperti itu tertolak dan masuk kategori takwil batil.

Namun, para ulama berbeda pendapat tentang keberadaan takwil ba’id tersebut. Mereka berbeda pendapat dalam penetapannya, ada yang berpendapat dalam penetapannya, ada yang berpendapat bahwa sebagian takwil itu ba’id, tetapi sebagian lagi menilai bahwa takwil seperti itu dikatakan qarib dan sahih.

Misalnya tentang kifarat khuntsa (banci) ketika melanggar sumpah. Di dalam surah al-Maidah(5): 89 disebutkan bahwa : “…maka kifarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin…”

Zahir nash menyatakan harus memberi makan dalam jumlah yang khusus, yaitu sepuluh orang miskin. Karena ‘adad adalah lafaz khusus yang mengindahkan pada qath’i secara ijma’.

Namun golongan Hanafiy menakwilkan lafaz ‘asyarah pada arti yang tidak tercakup di dalam kata tersebut, yakni sepuluh makanan atau ukuran sepuluh makanan bagi orang-orang miskn. Menurut pendapat mereka lafaz ‘asyarah itu bukan dikhususkan kepada jumlah (fakir), namun merupakan ukuran yang wajib (dikeluarkan) dari makanan untuk sepuluh orang miskin. Dengan penakwilan seperti itu, menurut Abu Hanifah dibolehkan untuk memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin atau kepada satu orang miskin dengan sepuluh makanan, karena ukuran itu satu untuk dua keadaan. Menurut mereka, takwil  seperti itu didasarkan pada maksud kebutuhan mendesak yang merupakan hikmah disyari’atkannya nash.

Namun, penakwilan di atas dianggap takwil ba’id dan dinyatakan batil menurut Imam Syafi’i, karena lafaz ‘asyarah adalah lafaz khusus yang menunjukkan arti qath’i, sehingga tidak membutuhkan penakwilan.

Dan hikmah syari’atnya bukanlah seperti pendapat mereka, tetapi pembagian ukuran harta yang wajib dikeluarkan sesuai jumlahnya, supaya manfaatnya dirasakan umum.

Selain itu, penakwilan mereka juga membutuhkan idhafat kalimat sebagai tambahan nash, sehingga ayat tersebut menjadi

اطعام طعا م عشر ة مسا كين

Sebagi batasan wajib, padahal idhafat seperti itu menyalahi ashal. Jadi, kecacatan takwil di atas disebabkan dua perkara:

  1. Meremehkan ‘adad, lafaz khusus yang jelas menunjukkan arti yang qath’i maka haruslah menjaga arti yang qath’i tersebut dan tidak meremehkannya.
  2. Penambahan kalimat terhadap nash adalah menyalahi ashal.

Jelaslah bahwa penakwilan seperti itu dinamakan takwil ba’id karena keluar dari persyaratan takwil yang sah.

 

2.4.   Etika Pentakwilan

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa ta’wil harus berdasarkan dengan dalil (qarinah) yang kuat, karena merupakan syarat utama sebagai ta’wil yang shahih, jika tidak berdasarkan pada dalil yang shahih maka ta’wil tersebut adalah ta’wil batil dan mengikuti hawa nafsu. Selain itu, sebelum melakukan ta’wil seorang muawwil juga harus memperhatikan makna zhahir lafazh terlebih dahulu atau tafsir terlebih dahulu. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Az-Zarkasyi bahwa “Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir”, tidak ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zhahirnya

Ditambah pula dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama, yang telah kami paparkan diawal tulisan.

 

2.5.   Kesalahan Pentakwilan

Ta’wil memiliki tiga macam; pertama, ta’wil yang dekat seperti lafazh idza kuntum ila ash-shalah yang dita’wilkan dengan ketika hendak melaksanakan shalat. Kedua, ta’wil yang jauh seperti hadith Ghailan Ath-Thaqafi yang dita’wilkan oleh ulama Hanafiyah dengan perintah untuk menikahi empat orang wanita tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan pernikahan kafir dan Islam. Ketiga, Ta’wil batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafazh. Misalnya, pendapat Muhammad Abduh dalam tafsirnya al-Manar yang menakwilkan hakikat malaikat ialah kecenderungan kebajikan dan kejahatan dalam jiwa manusia.

Berdasarkan syarat-syarat takwil diatas kita akan dapat menilai sahih tidaknya suatu takwil. Jika suatu ayat tidak memenuhi syarat-syarat takwil tersebut, maka takwil yang dihasilkan adalah tidak sahih alias batil. Adapun bagi orang-orang yang telah melakukan penakwilan yang salah, semoga Allah memaafkan kesalahan mereka, dan mengagungkan mereka dengan ilmu dan ijtihad yang mereka lakukan.

 

DAFTAR REFERENSI :

[1] Dalam Al-Qur’an ada dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan dapat ditentukan arti yang dimaksud dengan kajian yang mendalam (ta’wil) atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya diketahui oleh Allah, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara yang ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Termasuk juga huruf -huruf yang terputus (huruf muqattha’ah) dalam permulaan-permulaan surat Al-Qur’an. Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008). hlm.425

[2] http://www.artikelislam.com

[3] Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 2008). hlm. 312 dan Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Jam’u Al-Jawami’ fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003). hlm.54

[4] عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلَاةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا

Dari Ibnu Abbas Radhiyallah ‘anhuma, ia berkata: seorang budak perempuan milik Maimunah mendapatkan seekor kambing lalu mati, (hendak dibuang) kemudian Rasulullah Shallallah ‘alaihi wasallam lewat lalu bersabda, “Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?”, para sahabat menjawab, “Tapi ini bangkai?”, beliau menjawab, “Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya”. (HR. Muslim dalam kitab shahihnya; kitab haidh, bab sucinya kulit bangkai dengan disamak, no.542).

[5] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS.Al-Jumu’ah: 9).

[6]  HR.Bukhari dalam Shahihnya, kitab zakat bab zakat kambing, no.1362 dan Abu Dawud dalam sunannya, kitab kitab zakat bab zakat hewan gembala, no.1340, lafazh hadith di atas milik Abu Dawud dengan matan yang panjang.

[7] Lihat Kan’an Musthafa Sa’id Shatat, At-Ta’wil ‘Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister, (Palestina: Jami’ah An-Najah Al-Wathaniyah, 2007). hlm. 30-33 dan Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ……. hlm. 12-13

[8] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil ‘Inda Ahl Al-Ilmi, dalam http://www.saaid.net/book/7/1253.doc. hlm.11-12

[9] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْن…ِ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki….(QS.Al-Maidah: 6).

[10] Teks hadith tersebut:

 عن ابن عمر قال : أسلم غيلان الثقفي وعنده عشر نسوة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أمسك أربعا ، وفارق سائرهن

[11] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُم  أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ…..

Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu….(QS.Al-Maidah: 106). 

[12] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta’wil inda ahl ilmyhlm.11-12 dan Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Dar Al-Afaq Al-Jadidah, tt). vol.3 hlm. 41

[13] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia hal. 176-183