Wednesday, 10 July 2019

Makalah WAKAF , HIBAH, WASIAT, INFAQ DAN SADAQAH

BAB I 

PENDAHULUAN

 

 

A.  Latar Belakang

Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Karena itu tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan dalam agama Islam yang mulia ini sebagai bukti bahwa Islam benar-benar rahmatan lil ‘alamin. “Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. A Maidah: 2)

“Dari Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, dan Siti Aisyah Rodhiyallohu’anhuma bahwa RasulullahSholallohu’alaihi Wasallam bersabda, saling memberi hadiahlah kamu semua (maka) kamu akan saling mencintai.” (HR. Bukhori). Banyak sekali istilah yang digunakan ketika seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain, seperti hibah, sedekah, hadiah, bonus, kado, bingkisan atau yang lainnya sesuai dengan kondisi, situasi, momen, dan evennya. Dalam makalah ini insyaAlloh akan dibahas secara singkat namun padat tentang permasalahan waqaf, hibah, sedekah, dan hadiah yang termasuk bagian dari perkara penting dalam urusan fiqih.

 

 

B.     RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1.      Jelaskan  apa pengertian wakaf dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah wakaf!

2.      Jelaskan  apa pengertian hibah dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah hibah!

3.      Jelaskan  apa pengertian wasiat dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah wasiat !

4.      Jelaskan  apa pengertian infaq dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah infaq !

5.      Jelaskan  apa pengertian sadaqah dan jelaskan syarat, rukun serta hikmah sadaqah !

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

AWAKAF

1. Pengertian dan Hukum Wakaf

Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syara’, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuanIslam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.

a.   Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:

Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa

·      Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.

·      Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifahini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri

·      Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat

·      Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

 

Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.

Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:

 

اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)

Artinya:

Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

 

Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah diKhaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)

2.   Syarat dan Rukun Wakaf

       a.   Syarat Wakaf

       Syarat-syarat harta yang diwakafkan sebagai berikut:

·      Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu (disebut takbid).

·      Tunai tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan datang. Misalnya, “Saya 

·      wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih besar dari usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanjiz

·      Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki barang yang diwakafkan  (mauquf) itu

b.   Rukun Wakaf

1.   Orang yang berwakaf (wakif), syaratnya;

·      kehendak sendiri

·      berhak berbuat baik walaupun non Islam

2.   Sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf), syartanya;

·      barang yang dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya, berfaedah saat diberikan maupun dikemudian hari

·      milki sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan ataumusya (bercampur dan tidak dapat dipindahkan dengan bagian yang lain

·      Tempat berwakaf (yang berhaka menerima hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.

·      Akad, misalnya: “Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu dan sebagainya” tidak perlu qabul (jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum)

3.  Harta yang Diwakafkan

       Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu, harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat untuk orang banyak, misalnya:

a.      Sebidang tanah

b.      Pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya

c.      Bangunan masjid, madrasah, atau jembatan

Dalam Islam, pemberian semacam ini termasuk sedekah jariyah atau amal jariyah, yaitu sedekah yang pahalanya akan terus menerus mengalir kepada orang yang bersedekah. Bahkan setelah meninggal sekalipun, selama harta yang diwakafkan itu tetap bermanfaat. Hadits nabi SAW:

 

اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)

Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

 

Berkembangnya agama Islam seperti yang kita lihatsekarang ini diantaranya adalah karena hasil wakaf dari kaum muslimin. Bangunan-bangunan masjid, mushala (surau), madrasah, pondok pesantren, panti asuhan dan sebaginya hampir semuanya berdiri diatas tanah wakaf. Bahkan banyak pula lembaga-lembaga pendidikan Islam, majelis taklim, madrasah, dan pondok-pondok pesantren yang kegiatan operasionalnya dibiayai dari hasil tanah wakaf.

Karena itulah, maka Islam sangat menganjurkan bagi orang-orang yang kaya agar mau mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna kepentingan Islam. Hal ini dilakukan atas persetujuan bersama serta atas pertimbangan kemaslahatan umat dan dana yang lebih bermanfaat bagi perkembangan umat.

4.    Tata cara perwakafan tanah milik

a.       Calon wakif dari pihak yang hendak mewakafkan tanah miliknya harus datang dihadapan Pejabat Pembantu Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf

b.      Untuk mewakafkan tanah miliknya, calon wakif harus mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas kepada nadir yang telah disyahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf. Pengikraran tersebut harus dihadiri saksi-saksi dan menuangkannya dalam bentuk tertulis atau surat

c.       Calon wakif yang tidak dapat datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya yang mewilayahi tanah wakaf. Ikrar ini dibacakan kepada nadir dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi

d.      Tanah yang diwakafkan baik sebagian atau seluruhnya harus merupakan tanah milik. Tanah yang diwakafkan harus bebas dari bahan ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa Saksi ikrar wakaf sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, dan sehat akalnya. Segera setelah ikrar wakaf, PPAIW membuat Ata Ikrar Wakaf Tanah.

 

 

5.    Surat yang harus dibawa dan diserahkan oleh wakif kepada PPAIW sebelum pelaksananaan ikrar wakaf

       Calon wakif harus membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW surat-surat berikut.

a.      sertifikat hak milik atau sertifikat sementara pemilikan tanah (model E)

b.      Surat Keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh camat setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu perkara dan dapat diwakafka

c.      Izin dari Bupati atau Walikota c.q. Kepala Subdit Agraria Setempat

6.  Hak dan Kewajiban Nadir

       Nadir adalah kelompok atau bandan hukum Indonesia yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf

       a. Hak Nadir

·      Nadir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang biasanya ditentukan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya. Dengan ketentuan tidak melebihi dari 10 % ari hasil bersih tanah wakaf

·      Nadir dalam menunaikan tugasnya dapat menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya    ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya.

b. Kewajiban Nadir

        Kewajiban nadir adalah mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, antara lain:

·       menyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf

·       memelihara dan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasilnya

·       menggunakan hasil wakaf sesuai dengan ikrar wakafnya.

7.      Mengganti Barang Wakaf

Prinsip-prinsip wakaf diatas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Barang yang diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya akan jadi lain jika barang wakaf itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual. Artinya, hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian , mengganti barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang yang sudah rusak tadi tetap dapat dimanfaatkan dan tujuan wakaf semula tetap dapat diteruskan, yaitu memanfaatkan barang yang diwakafkan tadi.

Sayyidina Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke tempat lain menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama dijadikan pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan. Maka mengganti barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan menurut inti dan tujuan hukumnya.

8.    Pengaturan Wakaf

Tujuan wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor pendukungnya ada dan berjalan. Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf. Wakaf yang diserahkan kepada badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan. Karena mekanisme kerja, susunan personalia, dan program kerja telah disiapkan secara matang oleh yayasan penanggung jawabnya.

Pengaturan wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara masing-masing orang yang mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu demi kemaslahatan umum. Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau denagn akta notaris adalah cara yang terbaik pengaturan wakaf. Dengan cara demikian, kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan dari tujuan wakaf semula mudah dikontrol dan diselesaikan. Apalagi jika wakaf itu diterima dan dikelola oleh yayasan-yayasan yang telah bonafide dan profesional, kemungkinan penyelewengan akan lebih kecil.

9.   Hikmah Wakaf

       Hikmah wakaf adalah sebagai berikut:

a.   Melaksanakan perintah Allah SWT untuk selalu berbuat baik. Firman Allah SWT:

 

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱرۡڪَعُواْ وَٱسۡجُدُواْ وَٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمۡ وَٱفۡعَلُواْ ٱلۡخَيۡرَ لَعَلَّڪُمۡ تُفۡلِحُونَ

       Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al Hajj : 77

b.      Memanfaatkan harta atau barang tempo yang tidak terbatas

       Kepentingan diri sendiri sebagai pahala sedekah jariah dan untuk kepentingan masyarakat Islam sebagai upaya dan tanggung jawab kaum muslimin. Mengenai hal ini, rasulullad SAW bersabda dalam salah satu haditsnya:

مَنْ لاَ يَهْتَمَّ بِاَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مْنِّى (الحديث)                                              

       Artinya: “Barangsiap yang tidak memperhatikan urusan dan kepentingan kaum muslimin maka tidaklah ia dari golonganku.” (Al Hadits)

c.       Mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi

       Wakaf biasanya diberikan kepada badan hukum yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan kaidah usul fiqih berikut ini.

مَصَالِحِ الْعَامِّ مُقَدَّمُ عَلى مَصَالِحِ الْجَاصِّ

       Artinya: “Kemaslahatan umum harus didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus.”

       Adapun manfaat wakaf bagi orang yang menerima atau masyarakat adalah:
 dapat menghilangkan kebodohan

·      dapat menghilangkan atau mengurangi kemiskinan.

·      dapat menghilangkan atau mengurangi kesenjangan sosial.

·      dapat memajukan atau menyejahterakan umat.[1]

 

 

B. HIBAH

1. Pengertian khibah

Hibah ialah pemberian harta dari seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya dan langsung pindah pemilikannya saat akad hibah dinyatakan.

2. Pendapat ulama fiqih tentang hibah

a.    Menurut mazhab hanafi adalah benda dengan tanpa ada syarat harus mendapat imbalan ganti, pemberian dilakukan pada saat si pemberi masih hidup dan benda yang akan diberikan itu adalah syah milik Pemberi.

b.    Menurut mazhab Maliki adalah memberikan suatu zat materi tanpa mengharap imbalan dan hanya ingin menyenangkan orang yang diberinya tanpa mengharap imbalan dari Allah. Hibah menurut Maliki ini sama dengan dengan hadiah. Dan apabila pemberian itu semata-mata untuk meminta ridha Allah dan mengharapkan pahala maka ini dinamakan sedekah

c.    Menurut madzhab Hambali hibah adalah memberikan hak memiliki sesuatu oleh seseorang yang dibenarkan tasarrufnya atas suatu harta baik yang dapat diketahui atau karena susah untuk mengetahuinya tapi harta itu ada wujudnya untuk diserahkan. Pemberian itu bersifat tidak wajib dan dilakukan pada waktu Pemberi masih hidup dengan tanpa adanya syarat imbalan.Menurut madzhab Syafi'i hibah mengandung dua pengertian yaitu:

a.    Pengertian khusus adalah pemberian bersifat sunnah yang dilakukan dengan ijab qabul pada waktu Pemberi masih hidup. Pemberian yang tanpa maksud untuk menghormati atau memuliakan seseorang dan mendapatkan pahala dari Allah atau karena menutup kebutuhan orang yang diberikannya

b.    Pengertian umum adalah hibah dalam arti luas yang mencakup hadiah dan shodaqoh.
Walaupun rumusan definisi yang dikemukakan oleh keempat madzhab tersebut berlainan redaksinya namun intinya tetaplah sama yaitu hibah adalah memberikan hak memiliki sesuatu benda kepada orang lain yang dilandasi oleh ketulusan hati, atas dasar saling membantu kepada sesama manusia dalam hal kebaikan

    

    3. Dasar Hukum Hibah

Hibah adalah seperti hadiah, Hukum hibah adalah mubah ( boleh ), sebagaimana sabda Rasulullah sebagai berikut :
Artinya : "Dari Khalid bin Adi sesungguhnya Nabi SA W telah bersabda "siapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-Iebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima jangan ditolak. Karenasesungguhnya yang demikianitumerupakanrizki yang diberikanoleh Allah kepadanya". (HR. Ahmad)

Karena keduanya merupakan perbuatan baik yang di anjurkan untuk dikerjakan. Firman Allah SWT:

`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ

Artinya:

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. .(Q.S. Al-Imran:92)

4.  Kepemilikan Barang yang Dihibahkan

Harta yang diberiakan lewat hibah langsung beralih kepemilikan dari pemberi hibah kepada pihak kedua yang menerimanya. Namun, dalam hibah masih ada peluang untuk umenarik kembali, yakni hibah yang diberikan seorang ayah kepada anaknya. Jika seorang ayah melihat bahwa dengan hibah tersebut, seorang anak justru menjadi lebih nakal (terjerumus dalam kehidupan yang tidak diridhai Allah SWT) dan makin tidak teratur, si ayah boleh menarik kembali hibahnya. Selain hibah ayah terhadap anaknya, pemberi hibah tidak boleh menarik hibahnya kembali. [2]

5.  ukum Hibah

a.  Wajib

     Hibah yang diberikan kepada istri dan anak hukumnya wajib sesuai kemampuannya. Hal itu didasarkan pada anak dan istri menjadi tanggung jawab suami. Agar tidak menimbulkan rasa iri, sebaiknya hibah kepada anak diberikan adil.

b.  Haram

     Hibah menjadi haram hukumnya apabila harta yang telah dihibahkan ditarik kembali. Hukum haram menarik kembali hibah ini tidak belaku bagi hibah seorang ayah kepada salah seorang anaknya. Jadi, diperbolehkan seorang ayah menarik kembali hibah yang diberikan, mengingat anak dan harta itu sebenarnya adalah milik ayah.

c.  Makruh

     Menghibahkan sesuatu dengan maksud mendapatkan imbalan sesuatu, baik berimbang maupun lebih banyak hukumnya makruh. Misalnya, orang muslim menghibahkan sesuatu kepada orang lain dengan maksud orang tersebut membalasnya dengan pemberian yang lebih besar.

     Al-Qur’an surat ar-Rum ayat 39 membicarakan masalah zakat. Namun, pada ayat tersebut dapat diambil pelajaran secara umum (selain zakat). Orang yang menghibahkan sesuatu hendaknya dengan niat ikhlas untuk membantu orang yang kekurangan. Apabila menghibahkan sesuatu dangan memperoleh pengambilan, pada hakikatnya tidak menolong, melainkan memeras. Dengan demikian, bukan pahala yang diterima, tetapi dosa.

6.  Rukun Hibah

a.  Adanya orang yang menghibahkan barang atau harta. Syaratnya :

·      Memiliki barang yang di berikan, bukan pinjaman atau milik orang lain.

·      Baligh, berakal, dan cerdas

·      Tidak memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan/ pemboros.

b.      Adanya orang yang menerima hibah. Syaratnya :

·      mempunyai hak unutk memiliki barang hibah.

·      Tidak sahmenghibahkan kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya.

c.       Adanya sigat (ijab dan kabul). Seperti:

·      ijab: “Aku berikan barang ini kepada engkau …”

·      Kabul:”aku terima…”

·      Adanya barang yang dihibahkan, dengan syarat:

barang yang dihibahkan tersebut boleh dijual oleh si penerima atau halal untuk di gunakan.

 

7.  Macam-macam Hibah

Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :

a.    Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya  menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.

b.    Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.[3]

 

C.  WASIAT

Kata wasiat berasal dari bahasa Arab, yaitu wasiat yang berarti “suatu ucapan atau pernyataan dimulainya suatu perbuatan”. Biasanya perbuatan itu dimulai setelah  orang yang mengucapkan atau menyatakan itu meninggal dunia.

Para ulama pada umumnya sepakat bahwa pengertian wasiat ialah : pernyataan atau perkataan seseorang kepada orang lain bahwa ia memberikan kepada orang lain itu hartanya tertentu atau membebaskan hutang orang itu atau memberikan manfaat sesuatu barang kepunyaan setelah ia meninggal dunia. Seperti si A berwasiat kepada si B bahwa ia memberikan B, sehingga B memiliki separuh harta A yang terletak di kota C bila ia telah meninggal dunia. Setelah A meninggal dunia, B memiliki separuh tanah A yang terletak dikota C.

Ada beberapa perbedaan antara wasiat dengan hibah. Pada hibah, pemilikan dari pemberian itu terjadi setelah selesai pernyataan hibah diucapkan atau dinyatakan oleh yang menghibahkan, sedangkan pada wasiat pemilikan itu baru terjadi setelah meninggal dunia orang yang berwasia, bahkan jika orang yang menerima wasiat lebih dahulu meninggal dari orang yang berwasiat, maka wasiat itu menjadi batal, kecuali jika ada perjanjian bahwa ahli waris orang yang menerima wasiat boleh menerima wasiat itu. hibah hanya berupa pemberian harta hak milik, sedangkan wasiat bentuk pemberiaannya lebih luas dari itu, boleh berupa garta milik, pembebasan hutang, manfaat dan sebagainya. Hibah tidak boleh dibatalkan, sedangkan wasiat dapat dibatalkan bila orang yang menerima wasiat lebih dahulu meninggal dunia dari orang yang berwasiat.

Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW yang menerangkan dan menjadi dasar dari wasiat itu, yang dari padanya dipahami bahwa wasiat itu merupakan kewajiban moral bagi seseorang untuk memenuhi hak orang lain atau kerabatnya, karena orang itu telah banyak berjasa kepadanya atau membantu usaha dan kehidupannya, sedang orang itu tidak termasuk orang atau keluarganya yang memperoleh bagian harta waris. Seakan-akan wasiat itu merupakan penyempurnaan dari hukum waris yang telah disyariatkan.

Hadist-hadist yang berhubungan dengan wasiat di antaranya :

a.    Dari Abdullah bin Umar, ia berkata : Bahwasanya Rasullullah SAW. Bersabda : Tidak pantas seorang muslim yang mempunyai suatu harta yang harus di wasiatkannya membiarkannya dua malam, kecuali wasiatnya itu telah tertulis. (H.R Bukhari)

b.    Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata : (Alangkah baiknya), andai kata orang mau menurunkan wasiatnya ke seperempat, karena sesungguhnya Rasullullah bersabda :Sepertiga itu banyak atau besar . (Muttafaqun’alaih).

Berbeda pendapat dengan para ulama tentang hukum wasiat. Ibnu Hazain berpendapat bahwa wasiat itu wajib dilakukan oleh seorang yang mempunyai harta banyak atau sedikit. Pendapat ini berasal dari pendapat Abdullah bin Umar, Thalhah, Zubair,Abdullah bin Aufa, Thawus, Asy-Sya’bi dan Az-Zuhri. Mereka beralasan dengan arti lahir dari ayat 180 surat Al-Baqarah di atas. Pada ayat itu terdapat perkataan “kutiba” (diwajibkan). Karena itu hukum berwasiat itu adalah wajib.

Mazhab yang empat, yaitu Mazhdhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali serta golongan Zya’ah Zaidiyah berpendapat bahwa wasiat itu bukan wajib bagi orang yang mempunyai harta banyak atau sedikit, tetapi hukumnya tidak sama bagi tiap-tiap orang. Hukumnya itu disesuaikan dengan keadaan orang yang berwasiat dan orang atau yang akan menerima wasiat.

Menurut mereka wasiat itu wajib dilakukan oleh setiap orang yang merasa bahwa dalam hartanya itu terdapat hak orang lain atau hak sesuatu yang lain. Hak orang lain atau sesuatu yang lain itu dirasakan ada karena ada sesuatu kewajiban yang belum terpenuhi, atau jasa seseorang yang telah diberikan tanpa pamrih diwaktu berusaha atau dalam usaha mengatasi hidup dan kehidupannya dan sebagainya. Jika tidak dilakukan wasiat itu hak orang lain itu akan terlantarkan karena tidak ada jalan lain untuk memberikannya atau akan dirasakan sebagai hutang yang belum terbayar di dunia maupun di akhirat. Contohnya ialah zakat yang dirasa belum dibayar, kewajiban menunaikan ibadah haji yang belum terlaksana pada hal ia adalah orang yang mampu, amanah atau harta orang lain yang dirasa tercampur dengan harta sendiri, jasa orang lain yang belum diimbali atau belum sempurna diimbali dan sebagainya.

Selanjutnya mereka mengatakan bahwa wasiat itu haram hukumnya bila wasiat itu menimbulkan kemudharatan terhadap pihak yang lain, seperti memberi kemudharatan kepada ahli waris, berwasiat lebih seperti tiga dan sebagainya.

Wasiat yang menimbulkan kemudharatan itu termasuk perbuatan dosa besar, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas RA ,yang artinya :

“Wasiat yang menimbulkan kemudharatan itu termasuk perbuatan dosa besar. (HR. An Nisa’i)

Termasuk wasiat yang haram ialah wasiat yang ada hubunganya dengan perbuatan maksiat, seperti wasiat untuk membangun rumah ibadah selain rumah ibadah yang sesuai dengan ajaran islam, wasiat utnk mendirikan pabrik menuman keras, wasiat untuk beternak babi, dan sebagainya.

Menurut mereka wasiat itu makruh hukumnya, bila orang yang berwasiat itu mempunyai harta yang sedikit, sedang ahli warisnya memerlukan harta itu, berwasiat memberikan harta kepada orang fasik dan ia akan menggunakan harta itu untuk berbuat kefasikan dan sebagainya

Hukum berwasiat itu mubah bagi orang kaya. Hartanya cukup untuk ahli warisnya dan cukup pula untuk berwasiat kepada orang lain. Bahkan orang kaya itu sunah hukumnya bila ia berwasiat menggunakan hartanya untuk menegakan agamanya Allah.

1. Rukun  (unsur) wasiat

Dalam hal wasiat, ada beberapa unsure yang memenuhinya , diantaranya :

a.  Sighat wasiat

     Dalam hal ini , sighat wasiat memiliki arti kata-kata atau pernyataan yang di ucapkan oleh orang-orang yang berwasiat kepada penerima wasiat. Sighat wasiat terdiri dari “ijab” dan “qabul”. Yang dimaksud ijab ialah perkataan atau pernyataan yang di ucapkan oleh orang yang berwasiat, sedangkan qabul ialah kata-kata yang di ucapkan oleh yang menerima wasiat sebagai tanda penerimaan dan persetujuan.

     Pemberian wasiat dapat diberikan kepada seseorang tertentu, tetapi dapat juga diberikan untuk masjid, langgar, untuk mendirikan sekolah, untuk mendirikan rumah sakit dan sebagainya, serta ijab dari yang berwasiat tidak memerlukan qabul.

     Pemilikan atau pemindahan harta dapat terjadi ketika orang yang berwasiat meninggal dunia.

2. Orang yang berwasiat

     Orang yang berwasiat hendaknya mempunyai kesanggupan melepaskan hartanya kepada orang lain, baligh, berakal, menentukan sesuatu atas kehendaknya, sadar terhadap apa yang dilakukannya. Menurut Imam Hanafi “jika ahli waris tidak menyetujui wasiat itu, maka wasiat itu tetap dilakukan asalkan tidak melebihi 1/3 hartanya. Tidak boleh melebihi 1/3 hartanya di karenakan orang yang berwasiat tidak boleh meninggalkan ahli waris yang miskin. Orang yang berwasiat yaitu tentunya adalah orang yang mempunyai harta lebih.

3.  Orang yang menerima wasiat

     Selain wasiat, orang yang menerima wasiatpun juga memiliki sayrat juga, diantaranya:

a.    Ia bukan merupakan ahli waris orang yang berwasiat . seperti sabda NABI yang artinya “ tidak boleh berwasiat kepada ahli waris “.

b.    Orang yang menerima wasiat itu orang tertentu, maksutnya orang yang mempunyai arti yang sebenarnya pada waktu yang di wasiatkan.

c.    Orang yang menerima wasiat tidak pernah membunuh oraang yang berwasiat kepadanya, kecuali pembunuhan itu di benarkan oleh ajaran islam.

 

     Abu hanifah dan muridnya berpendapat bahwa kesahan wasiat itu tergantung pada ahli waris. Tidak di syaratkan bahwa orang yang berwasiat dan penerima wasiat sama-sama beragama islam, boleh juga berwasiat kepada berlain agama.

4.  Yang diwasiatkan

a.    Harta yang diwasiatkan telah ada setelah orang yang berwasiat meninggal dunia dan telah dapat dialihmilikkan kepada oaring yng menerima wasiat, sesuia dengan syarat yang telah di tentukan.

b.    Yang diwasiatkan haruslah harta yang suci, bias di manfaatkan oleh orang yang menerimanya.

c.    Jumlah harta yang diwasiatkan tidak boleh lebih dari 1/3 harta yang dimilikinya.

     Menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa yang di maksud dengan sepertiga disini ialah sepertiga dari jumlah harta yang dimiliki setelah yang berwasiat meninggal. Sedangkan Imam Malik berpendapat sepertiga itu ialah sepertiga dari jumlah harta yang berwasiat waktu ia menyatakan wasiatnya.[4][9]

     Syarat wasiat yang lain yaitu mumayyiz, artinya orang yang berwasiat itu dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk serta orang yamng bukan inkar kepada ALLAH SWT. Syarat ini di kususkan oleh  Mazdhab Maliki. Apabila oaring yang menerima wasiat seperti anak kecil, maka dapat diterima oleh wali atas namanya.[5]

5. Yang membatalkan wasiat

a.    Orang yang berwasiat itu mendapat sakit gila sampai ia meninggal.

b.    Orang yang menerima wasiat meninggal dulu sebelum orang yang berwasiat.

c.    Harta yang diwasiatkan itu habis ataupun musnah sebelum yang berwasiat itu meningal dunia.

6.   Wasiat itu di cabut oleh orang yang berwasiat.

     Suatu wasiat dapat dicabut oleh pemberi wasiat tanpa memerlukan pertimbangan atau persetujuan dari yang berwasiat, seperti :[6]

a.     Yang berwasiat menjual harta yang diwasiatkannya kepada orang lain.

b.    Yang berwasiat mengalihkan wasiatnya kepada orang lain.

c.     Yang berwasiat menambah, mengurangi atau menukar harta yang diwasiatkan.

 

D. INFAQ

1.    Pengertian Infaq

            Secara lughawi (etimologis) infaq berasal dari akar kata n-f-q نفض yang berarti membelanjankan harta. Dalam istilah fiqih infaq (infak) adalah mengeluarkan atau membelanjakan harta yang baik untuk perkara ibadah (mendapat pahala) atau perkara yang dibolehkan. Dari pengertian di atas, maka menafkahi anak istri termasuk dari pada infaq. 

            Infaq secara hukum terbagi menjadi: (a) Infaq mubah; (b) infaq wajib; (c) infaq haram; (d) infaq sunnah.

2.    Infaq Mubah

       Mengeluarkan harta untuk perkara mubah seperti berdagang, bercocok tanam seperti tersebut dalam QS Al-Kahfi 18:43

öNåkâ:|¡øtrBur $Wß$s)÷r& öNèdur ×qè%â 4 öNßgç6Ïk=s)çRur |N#s ÈûüÏJu9ø9$# |N#sur ÉA$yJÏe±9$# ( Oßgç6ù=x.ur ÔÝÅ¡»t/ Ïmøtã#uÏ Ï0Ϲuqø9$$Î/ 4 Èqs9 |M÷èn=©Û$# öNÍkön=tã |Mø9©9uqs9 óOßg÷YÏB #Y#tÏù |Mø¤Î=ßJs9ur öNåk÷]ÏB $Y6ôãâ ÇÊÑÈ  

Artinya:

18.  Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.

3.    Infaq Wajib

Mengeluarkan harta untuk perkara wajib seperti 

a.    membayar mahar (maskawin) seperti disebut dalam QS Al-Mumtahanah :10

$pk0r'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB xsù £`èdqãèÅ_ös? n<Î) Í$¤ÿä3ø9$# ( w £`èd @@Ïm öNçl°; wur öNèd tbq=Ïts  £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 wur yy$oYã_ öNä3ø9n=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èduqã_é& 4 wur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$# (#qè=t«óur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºs ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts  öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÊÉÈ

Artinya:

10.  Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

b.    menafkahi istri (QS An-Nisa 4:34

c.    Menafkahi istri yang ditalak dan masih dalam keadaan iddah (QS At-Talaq 65:6-7)

4.    Infaq Haram

       Mengeluarkan harta dengan tujuan yang diharamkan oleh Allah yaitu:

a.    Infaqnya orang kafir untuk menghalangi syiar Islam. QS Al-Anfal 8:36

b.    Infaq-nya orang Islam kepada fakir miskin tapi tidak karena Allah. QS An-Nisa' 4:38

5.    Infaq Sunnah

       Yaitu mengeluarkan harta dengan niat sadaqah. Infaq tipe ini ada 2 (dua) macam yaitu

a.    infaq untuk jihad QS Al-Anfal:60.

b.    infaq kepada yang membutuhkan

c.    Hikmah dari berinfaq

·      Untuk mengangakat kehidupan orang-orang yang fakir untuk hidup yang layak

·      Supaya tidak nampak perbedaan yang terlalu mencolok antara si kaya dan si miskin dan ternyata kemiskinan itu sangat berbahaya, karena agama juga bisa terjual.

·      Kehidupan dalam masyarakat tanpa ada yang berinfaq yang kaya boros yang miskin hampir menjual agamanya, akan ada revolusi kelaparan yaitu orang-orang yang miskin akan berontak, harta bukan hanya keliling kepada orang-orang yang kaya saja.[7]

 

 

ESADAQAH

Secara etimologi, kata shodaqoh berasal dari bahasa Arab ash- shadaqah. Pada awal pertumbuhan islam, shodaqoh diartikan dengan pemberian yang disunahkan (sedekah sunah). Sedangkan secara terminologi shadaqah adalah memberikan sesuatu tanpa ada tukarannya karena mengharapkan pahala dari Allah Swt.

Shodaqoh lebih utama apabila diberikan pada hari-hari mulia, seperti pada hari raya idul adha atau idul fitri. Juga yang paling utama apabila diberikan pada-pada tempat-tempat yang mulia, seperti di Mekkah dan Madinah.

Dari pengertian tadi, dapat diartikan bahwa shodaqoh merupakan ibadah yang sifatnya lentur. Ia tidak dibatasi oleh waktu ataupun batasan tertentu. Dengan demikian tidak ada waktu khusus untuk bersedekah. Begitu juga, dalam sedekah tidak ada batasan minimal. Nabi saw. Bersabda: ”bersedekahlah walaupun dengan sebutir kurma, karena hal itu dapat menutup dari kelaparan dan dapat menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.”(HR. Ibnu Mubarak).

Adapun pakar fiqh membagi beberapa contoh bersedekah ialah:

1.         Memberikan suatu dalam bentuk materi kepada orang miskin.

2.         Berbuat baik kepada orang lain

3.         Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersengketa.

4.         Membantu orang yang akan menaiki kendaraan yang akan ditumpanginya.

5.         Memberi senyuman kepada orang lain, dsb.[8]

Bershadaqah berarti memberikan sebagian harta yang kita miliki kepada pihak orang lain secara ikhlas dan suka rela, dan karena semata-mata mengharapkan pahala dari Allah SWT. firman Allah SWT.

* $yJ¯RÎ) àM»s%y0¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è%  Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur  Îûur È@9Î6y «!$# Èûøó$#ur È@9Î6¡¡9$# ( ZpÒ̍sù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒO9Å6ym ÇÏÉÈ

Artinya:

60. Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, dan orang-orang miskin, dan amil-amil Yang mengurusnya, dan orang-orang muallaf Yang dijinakkan hatinya, dan untuk hamba-hamba Yang hendak memerdekakan dirinya, dan orang-orang Yang berhutang, dan untuk (dibelanjakan pada) jalan Allah, dan orang-orang musafir (yang keputusan) Dalam perjalanan. (Ketetapan hukum Yang demikian itu ialah) sebagai satu ketetapan (yang datangnya) dari Allah. dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.

Shadaqah merupakan salah satu amal shaleh yang tidak akan terputus pahalanya, seperti sabda Rasulullah SAW:

Artinya: "Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang selalu mendo'akan kedua orang tuanya". (HR. Muslim)

Pemberian shadaqah kepada perorangan lebih utama kepada orang yang terdekat dahulu, yakni sanak famili dan keluarga, anak-anak yatim tetangga terdekat, teman sebaya, dan seterusnya.Dalam kehidupan sehari-hari biasa disebut sedekah.Hukum shadaqah ialah sunnah.

1.    Orang yang berhak menerima sedekah

2.    Orang-orang nyang saleh atau orang-orang yang ahli dalam kebaikan.

3.    Orang yang paling dekat dari kita.

4.    Orang yang sangat membutuhkan.

5.    Orang kaya, keturunan Bani Hasyim, Orang kafir, dan fasik.

6.    Sedekah kepada jenazah[9]

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Bersedekah.

1.    Harta yang disedekahkan bukan berupa barang yang haram, baik haram karena zat barangnya, seperti daging babi dan minuman keras, maupun haram karena diperoleh dengan cara yang tidak halal. Bersedekah dengan barang yang haram juga haram.

2.    Barang yang akan disedekahkan hendaknya berkualitas baik. Sengaja memilih barang-barang yang jelek atau rusak untuk disedekahkan hukumnya makhruh.

3.    Hendaknya menghindari hal-hal yang dapat membatalkan sedekah. Hal–hal tersebut dijelaskan dalam surah Al-baqarah ayat 264, ”wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaaan penerima)”.

4.    Memberikan sedekah dengan ikhlas semata-mata mengharap pahala dan keridaan Allah. bersedekah  karena pamer dan ingin mendapat pujian dari orang lain akan menjadikan sedekah itu sia-sia dan tidak berpahal

5.    Harta yang disedekahkan hendaknya berupa barang-barang yang tidak mudah rusak dan dapat terus bermanfaat untuk waktu yang lama. Hal yang demikian disebut sadaqah jariyyah (sedekah yang pahalanya mengalir terus). Artinya, selama benda tersebut masih memberikan manfaat kepada orang lain, selama itu pula orang yang bersedekah akan terus mendapatkan pahala.[10]

 

BAB III

PENUTUP

 

A. KESIMPULAN

Kesimpulan dari atas dapat kita tarik :

1.Waqaf

Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syara’, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuanIslam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.

2. Hibah

Hibah ialah pemberian harta dari seseorang kepada orang lain dengan alih pemilikan untuk dimanfaatkan sesuai kegunaannya dan langsung pindah pemilikannya saat akad hibah dinyatakan

3. Wasiat

Kata wasiat berasal dari bahasa Arab, yaitu wasiat yang berarti “suatu ucapan atau pernyataan dimulainya suatu perbuatan”. Biasanya perbuatan itu dimulai setelah  orang yang mengucapkan atau menyatakan itu meninggal dunia.

4.  Infaq

Secara lughawi (etimologis) infaq berasal dari akar kata n-f-q نفض yang berarti membelanjankan harta. Dalam istilah fiqih infaq (infak) adalah mengeluarkan atau membelanjakan harta yang baik untuk perkara ibadah (mendapat pahala) atau perkara yang dibolehkan. Dari pengertian di atas, maka menafkahi anak istri termasuk daripada infaq. 

5.  Sadaqah

shadaqah adalah memberikan sesuatu tanpa ada tukarannya karena mengharapkan pahala dari Allah Swt.

                                                          

B. SARAN

Sebagai penulis kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dalam pembuatannya. Untuk itu kami memohon maaf apabila ada kesalahan dan kami sangat mengharap kritik yang membangun dari pembaca agar kemudian pembuatan makalah kami semakin lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya, dan bagi kita semua pada khususnya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Rozali643. 2014.  Makalah, shodaqoh, indfaq, dan hadiah. (Online), (http://rozali643.blogspot.co.id/2014/04/makalah-shodaqoh-indfaq-hadiah-ku.html,

Wardahcheche. 2014. Hibah. (Online), (http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/hibah.html,

Sri Ramadan. 2014. Makalah zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf. (Online), (http://sriramadan.blogspot.co.id/2014/12/makalah-zakat-infaq-sedekah-dan-wakaf.html

Zakiah.Dardjad Ilmu Fiqh jilid 3. 1995 . Yogyakarta.

Rahman. Penjelasan Lengkap Hukun-hukum ALLAH(Syariah).  2002. Jakarta Utara.



[1][8] Sri Ramadan. 2014. Makalah zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf. (Online), (http://sriramadan.blogspot.co.id/2014/12/makalah-zakat-infaq-sedekah-dan-wakaf.html,

 

[2][5] Wardahcheche. 2014. Hibah. (Online), (http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/hibah.html

[3][6] Wardahcheche. 2014. Hibah. (Online), (http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/11/hibah.html,).

 

[4][9] Dardjad Zakiah. Ilmu Fiqh jilid 3. 1995 . Yogyakarta. Hlm: 168-174.

[5][10] A. Rahman. Penjelasan Lengkap Hukun-hukum ALLAH(Syariah).  2002. Jakarta Utara. Hlm: 419.

[6][11] Ibid. Hlm: 175.

[7][7] Sri Ramadan. 2014. Makalah zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf. (Online), (http://sriramadan.blogspot.co.id/2014/12/makalah-zakat-infaq-sedekah-dan-wakaf.html

[8][1] Rozali643. 2014.  Makalah, shodaqoh, indfaq, dan hadiah. (Online), (http://rozali643.blogspot.co.id/2014/04/makalah-shodaqoh-indfaq-hadiah-ku.html,.

[9][2] Rozali643. 2014.  Makalah, shodaqoh, indfaq, dan hadiah. (Online), (http://rozali643.blogspot.co.id/2014/04/makalah-shodaqoh-indfaq-hadiah-ku.html,

[10][3] Rozali643. 2014.  Makalah, shodaqoh, indfaq, dan hadiah. (Online), (http://rozali643.blogspot.co.id/2014/04/makalah-shodaqoh-indfaq-hadiah-ku.html,