BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak
aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari
timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut
berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga
bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika
dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam
itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran.
Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan
bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun
dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga
yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat,
khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah
teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah.
Banyak
yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan aliran sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar
dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap Mu’tazilah
sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya,
sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran
ini untuk kembali bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta
lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong kontroversial.
Agar
tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu
dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian
perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Karena itu penulis mencoba
menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Mu’tazilah dalam makalah ini
tentang apa, siapa, dan bagaimana kaum Mu’tazilah itu?
B. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan penulis akan membatasi
pembahasan materi yaitu:
1.
Dari mana Asal Usul
Mu’tazilah?
2.
Apa saja
Ajaran-ajaran Dasar Mu’tazilah?
3.
Siapa Tokoh-tokoh
Mu’tazilah?
4.
Bagaimana Pemikiran
Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui Asal Usul
Mu’tazilah dan Latar Belakang Munculnya
2.
Mengetahui
Ajaran-ajaran Dasar Mu’tazilah
3.
Mengetahui Tokoh-tokoh
Mu’tazilah
4.
Mengetahui Pemikiran
Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2
Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada
tahun 131 H.
Kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari
Washil Bin Atha` atas pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang muslim
yang melakukan kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan disiksa lebih
dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke jannah sebagai rahmat
Allah atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat tersebut. Sebaliknya dia
mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut tidak lagi mukmin
dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di neraka dan tidak pula di
surga. namun dia berada dalam satu posisi antara iman dan kufur. Antara surga
dan neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid
(seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam
suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah[1].
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang
dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para tokoh mereka mendalami
buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak
saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang
berorientasi pada akal dan mengabaikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah)[2].
Oleh karena itu, tidak aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi:
“Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’dan
akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan
dengan akal, menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus
dibuang atau ditakwil[3].
Secara etimologis, kata “Mu’tazilah” berarti golongan yang mengasingkan
atau memisahkan diri. Dalam lembaran sejarah Islam, golongan ini pernah terjadi
di kala pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pada saat itu terdapat beberapa orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan
terlibat dalam pertikaian tersebut. Mereka tidak ikut membaiat Ali, namun
mereka memilih bersikap netral. Beberapa tokoh yang memiliki sikap semacam ini
adalah: Sa’d bin Abi Waqqasy, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid. Orang‑orang
itu disebut kelompok Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari keterlibatan
dalam pertikaian politik yang tengah terjadi antara Ali dan Mu’awiyah[4].
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran‑aliran
teologi, maka Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa
persoalan‑persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis
dari pada persoalan‑persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang
dalam pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini sering disebut
kaum rasionalis Islam[5].
Sebenarnya nama Mu’tazilah bukanlah produk dari orang‑orang
Mu’tazilah sendiri, melainkan gelar yang diberikan oleh pihak lain untuknya,
ketika Hasan al- Basri mendengar kebid`ahan Washil Ibn Atha`, maka dia
mengusirnya dari majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri kemudian
diikuti oleh para sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada saat itulah
orang-orang menyebut mereka telah memisahkan diri dari pendapat umat. Sejak
itulah pengikut mereka berdua disebut Mu`tazilah.
B. Ajararan-Ajaran Dasar Mu’tazilah
Ajaran-ajaran
dasar golonga Mu’tazilah berasal dair Ibn Atha, pokok-pokok pikiran itu dirumuskan
dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau Lima ajaran dasar
yaitu :
1.
Al-Tauhid
2.
Al-‘adl
3.
Al-wa’d wa al-wa’id
4.
Al-manzilah bain al-manzilatain
5.
Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar
1.
At-Tauhid
(Ke Maha Esaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan
milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan
mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka
dengan ahl al-tauhid.
Mu’tazilah
berpendapat bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru),
Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta
tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja – bagi mereka – cukup
untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti
ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah
SWT.
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain
al-dzat) . Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada
diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud
al-qudama’)[6], yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan
Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan
dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab
itulah sebagian besar mereka mengatakan:
الله عالم
بذاته لا
بعلمه, و قادر
بذاته لا بقدرته
و مريد بذاته
لا بارادته
“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan
Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan dengan
Kehendak-Nya”.
b. Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Mu’tazilah
mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah
(Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur
dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah
sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang
tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai
Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu.
Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka mengatakan
bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat
qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah sesuatu
yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.
Namun timbul
banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba menjawab “bagaimana Allah
menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat dilihat ketika mereka
berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:
وكللم
الله موسى
تكليما
[النساء:١٦٤]
“dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”
Mu’tazilah mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT
menciptakan Kalam pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar dari pohon
tersebut, lalu Musa as. mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah menciptakan
kemampuan bagi pohon untuk mengeluarkan kalam yang akan disampaikan-Nya kepada
Musa, lalu Musa as. mendengar Kalamullah melalui perantaraan pohon itu.
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar
mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim
seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur
dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
c.
Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan
mata telanjang di akhirat, membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan
Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut
mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang
melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah
itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti
berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian,
oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan
dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang
memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang
dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah
bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh
(jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an
yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan
mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain
sebagainya.
e. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan
Tuhan dengan manusia.
Demikian
juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki
anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah
dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan
Nikmat Allah dan lain sebagainya.
2. Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Kalau
dengan al-tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan dari persamaan dengan
makhluk, maka dengan al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan
perbuatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak
dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat dzalim, dan tidak
dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri mereka dengan ahl
al-tauhid wa al-‘adl.
Dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah yang mengatakan bahwa
manusia dalam semua perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak dari
ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang, dengan
demikian Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban seperti memberikan rizqi bagi
manusia, mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, untuk
membantu manusia dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Tujuan diciptakannya
manusia untuk beribadah kepada Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, maka harus
diutus Rasul[9]
3.
Al-wa’d
wa al-wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar
ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah
yakni bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi orang yang
berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat
pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan. Janji Tuhan
untuk memberi pahala masuk syurga bagi yang berbuat baik (al Muthi’) dan
mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al ‘ashi)pasti terjadi,
begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang bertaubat nasuha
pasti benar adanya[10]
4. Al-Manzilah bain
al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan
yagn timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah. Yaitu
persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang
tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu posisi diantara
dua posisi.
Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang tersebut menjadi kafir dan akan kekal
di neraka. Golongan Murjiah berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin,
tidak kekal di neraka dan mengharapkan rahmat dan ampunan dari Allah. Dan
golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut tidak mukmin dan tidak
kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan dari
orang kafir. Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij dan
pendapat Murjiah.
5. Al-amr bi al-ma’ruf wa
al-nahi ‘an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik dan larangan berbuat jahat).
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja,
tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan
ajaran tersebut menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau
dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan
penjelasan saja.
Ajaran
dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat kaitannya dengan
usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang untuk berbuat
baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi bukti bahwa
Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai bukti konsep
Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran)
di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
Bagi
Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin dengan
seluruh daya upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang sekalipun,
sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya.
Perbedaan
paham mu’tazilah dengan yang lainnya mengenai ajaran kelima ini terletak pada
tatana pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan , kekerasan
dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut[11].
C. Tokoh- Tokoh Mu’tazilah
1.
Wasil bin
Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran
Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah
bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan,
dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari
tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah
bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran
tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik
dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang,
tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah
yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang
bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy
as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan
Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan
karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar
digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula
menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar
dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal.
Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat;
kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan
sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok,
yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah
‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang
dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4.
An-Nazzam
Pendapat An Nazzam yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan
itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat
lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan
mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal
itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk
berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang
yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat
al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan
balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah
SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat
didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
[1]
5.
Al- Jahiz
Al-
jahiz dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham
naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut
Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia
tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh
hukum alam.
6.
Mu’ammar
bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya
tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat
al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi.
Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu
adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam
air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau
kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mu’tamir
Ajaran Bisyr al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan
manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya
di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian
bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda,
meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena
pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh
kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat
bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi,
belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya
menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki
surga dan neraka.
D. Pemikiran Mu’tazilah tentang Akal dan Wahyu
Dalam
teologi Islam masalah pokok yang dibahas adalah masalah ke-Tuhanan dan
kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Akal yanga da pada manusia dan wahyu
dari Tuhan merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang kedua masalah
tersebut. Akal, dengan daya yang ada pada manusia berusaha untuk sampai kepada
Tuhan, dan dengan rahmat dan kasih sayang Tuhan, wahyu diturunkan melalui para
Rasul untuk menolong manusia dari kelemahan dan kekurangannya. Konsepsi ini
dapat digambarkan sebagi Tuhan Maha Tinggi di puncak alam wujud, dan manusia
yang lemah berada di bawah.
Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang dapat diterapkan pada aliran-aliran
teologi yang berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada Tuhan. Tetapi
yang menjadi persoalan, sampai dimana kemampuan manusia dapat mengetahui Tuhan
dan kewajiban-kewajiban manusia etrhadap Tuhan. Dan sampai seberapa jauh
persoalan wahyu dalam kedua tersebut di atas.
Sou’yb, Joesoef ( 1997: 52 ) berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah itu
bertitik-tolak pada kemestian memahamkannya secara logis dan rasional. Cara
aliran Mu’tazilah memahamkannya itu merupakan kekuatan yang tertahankan.
Persoalan-persoalan yang dipermasalahkan Mu’tazilah dapat dirumuskan sebagai
berikut :
a.
Masalah mengetahui Tuhan;
b. Masalah kewajiban berterima kasih kepada Tuhan;
c. Masalah mengetahui baik dan jahat;
d. Masalah kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Aliran
Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai
melalui akal, meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna; tetapi
secara garis besar akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci
diperlukan wahyu yang dibawa oleh para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan
dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya bersifat menguatkan apa yang telah
diketahui oleh akal, dan memberikan perincian terhadap pengetahuan yang telah
dicapai oleh akal. Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui kewajiban
manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara
berterima kasih kepada Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan shalat,
haji dan sebagainya. Dalam hal inilah peranan wahyu sangat diperlukan.
Sehubungan dengan besar kecilnya peranan akal dalam masalah mengetahui Tuhan,
kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan
yang baik dan menjauhi yang buruk seperti tersebut di atas, bahkan menurut
Mu’tazilah keempat masalah tersebut dapat dicapai dengan akal, maka timbullah
pertanyaan apakah fungsi wahyu?
Sudah barang tentu bagi aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai
peranan yang sangat besar, fungsi wahyu sangat kecil, sebaliknya aliran yang
berpendapat peranan akal sangat kecil, fungsi wahyu menjadi sangat besar.
Bagi
kaum Mu’tazilah semua pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan
kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam[12].
Menurut
Mu’tazilah, karena keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai dengan akal,
maka fungsi wahyu menjadi sangat kecil. Untuk mengetahui Tuhan dan
sifat-sifat-Nya, wahyu dalam pendapat Mu’tazilah tidak mempunyai fungsi
apa-apa; tetapi untuk mengetahui bagaiman cara melaksanakan ibadah kepada Tuhan
dalam hal ini wahyu diperlukan, karena akal tidak sanggup mengetahui bagaimana
cara ibadah tersebut.
M. Afif ( 2004: 107) berpendapat bahwa sikap Mu’tazilah yang memberi porsi
sangat besar kepada akal dalam memahami agama terlihat dari pandangannya yang
mengatakan bahwa akal dapat mengetahui yang baik dan buruk, serta dapat pula
mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Menurut Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya
saja, adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki
kesanggupan untuk itu, karena itu wahyu diperlukan.
Demikian pula menurut Mu’tazilah manusia tidak dapat mengetahui semua hal yang
baik dan yang buruk, melainkan hanya mengetahui sebagian saja. Oleh karena itu,
untuk menyempurnakan pengetahuan tentang baik dan buruk diperlukan wahyu.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti
berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada
abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M)
berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin
Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang
berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran
Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi
Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin.
Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain
(posisi di antara dua posisi).
2.
Mu’tazilah adalah aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti
cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah
teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran
Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
3. Mu’tazilah merupakan aliran
teologis dalam Islam yang bercorak rasional, dan berpandangan bahwa nash
(wahyu) sejalan dengan rasio akal manusia. Namun dalam perjalanan sejarahnya,
mereka banyak terpengaruh dengan metode-metode filsafat asing, sehingga hampir
saja membawa mereka kepada sikap “ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap
“nyaris ekstrim” ini yang berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka,
dan sampai pada titik klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan
sejarah umat Islam, yang diistilahkan Mihnah.
4. Mu’tazilah muncul dengan
latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan
oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir
dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum
bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang
kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi
lain dalam perkembangannya mereka juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan
Qadariyah dan Jabariyah tentang hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan
takdir Tuhan.
5.
Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul
banyak perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide
teologis mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan
al-Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id
(Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua
Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang Makruf
dan Melarang Kemunkaran)
6.
Dengan memahami lima hal pokok tersebut, penulis nilai kita tidak bisa
menghukum kafir kaum Mu’tazilah. Dan memang kita tidak bisa menggeneralisasi
hukum terhadap Mu’tazilah, tapi harus dilihat di setiap permasalahan yang
diangkatkannya, sehingga kita pun tidak terjebak ke dalam sikap “nyaris
ekstrim” ketika menghukum sebuah kelompok, yang penulis yakini akan membawa
dampak negatif.
7.
Dengan kekayaan pembahasan logikanya, Mu’tazilah telah memberikan banyak
masukan terhadap kekayaan khazanah keislaman. Artinya kita tidak bisa menutup
mata rapat-rapat terhadap kontribusi mereka itu, tapi juga bukan berarti
menghilangkan nalar kritis terhadap ide-ide pemikirannya. Sebagaimana yang
dilakukan Imam Syatibi dalam metode Maqashid Syari’ah, atau Muhammad Abduh
dalam ide-ide pembaharuannya, dan tokoh-tokoh lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li
al-Malayin, 1983.
Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah
wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Awladih.
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra,
1995.
Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa
al-Tauzi’, 1974.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi
al-’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi al-Firaq al-Islamiyah, Kairo:
Maktabah Madbuli, 1993
Abd. Al Jabbarbin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, Maktab wahbab,
Kairo,1965
Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al Firaq Al
Islamiyah, Dar Al Mannar, Kairo, 1991
[1]
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah,hal. 46-48
[3]Kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi
‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65
[5]
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
[6] Abd. Al Jabbar bin Ahmad, Syarh al Ushul
al khamsah, Maktab wahbab, Kairo,1965, hal. 196
[7] Abd. Al Jabbar bin Ahmad, Syarh al
Ushul al khamsah, Maktab wahbab, Kairo,1965, hal. 227
[8] Abd. Al Jabbar bin Ahmad, Syarh al Ushul
al khamsah, Maktab wahbab, Kairo,1965
[9]
Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, Dar Al Mannar, Kairo,
1991, hal.130-131
[11]Nasution,
Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, hal. 56
[12] Nasution, Harun, Teologi
Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit