HIKAYAT SRI RAMA
Pada suatu hari, Sri Rama dan
Laksamana pergi mencari Sita Dewi. Mereka berjalan menelusuri hutan rimba
belantara namun tak juga mendapat kabar keberadaan Sita Dewi.
Saat Sri Rama dan Laksamana berjalan
di dalam hutan, mereka bertemu dengan seekor burung jantan dan empat ekor
burung betina. Lalu Sri Rama bertanya pada burung jantan tentang keberadaan
Sita Dewi yang diculik orang. Burung jantan mengatakan bahwa Sri Rama tak bisa
menjaga istrinya dengan baik, tak seperti dia yang memiliki empat istri namun
bisa menjaganya. Tersinggunglah Sri Rama mendengar perkataan burung itu.
Kemudian, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya agar memgutuk burung itu
menjadi buta hingga tak dapat melihat istri-istrinya lagi. Seketika burung itu
buta atas takdir Dewata Mulia Raya.
Malam tlah berganti siang. Di tengah
perjalanan, mereka bertemu dengan seekor bangau yang sedang minum di tepi
danau. Bertanyalah Sri Rama pada bangau itu. Bangau mengatakan bahwa ia melihat
bayang-bayang seorang wanita dibawa oleh Maharaja Rawana. Sri Rama merasa
senang karena mendapat petunjuk dari cerita bangau itu. Sebagai balas budi, Sri
Rama memohon pada Dewata Mulia Raya untuk membuat leher bangau menjadi lebih
panjang sesuai dengan keinginan bangau. Namun, Sri Rama khawatir jika leher
bangau terlalu panjang maka dapat dijerat orang.
Setelah Sri Rama memohon doa, ia
kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian datanglah seorang anak yang
hendak mengail. Tetapi, anak itu melihat bangau yang sedang minum kemudian
menjerat lehernya untuk dijual ke pasar. Sri Rama dan Laksamana bertemu dengan
anak itu dan membebaskan bangau dengan memberi anak itu sebuah cincin.
Ketika dalam perjalanan, Sri Rama
merasa haus dan menyuruh Laksamana untuk mencarikannya air. Sri Rama menyuruh
Laksamana untuk mengikuti jatunya anak panah agar dapat menemukan sumber air.
Setelah berhasil mendapatkan air itu, Laksamana membawanya pada Sri Rama. Saat
Sri Rama meminum air itu, ternyata air itu busuk. Sri Rama meminta Laksamana
untuk mengantarnya ke tempat sumber air dimana Laksamana memperolehnya.
Sesampai di tempat itu, dilihatnya air itu berlinang-linang. Sri Rama
mengatakan bahwa dulu pernah ada binatang besar yang mati di hulu sungai itu.
Kemudian, Sri Rama dan Laksamana memutuskan untuk mengikuti jalan ke hulu
sungai itu.
Mereka bertemu dengan seekor burung
besar bernama Jentayu yang tertambat sayapnya dan yang sebelah rebah. Sri Rama
bertanya padanya mengapa sampai Jentayu seperti itu. Jentayu menceritakan
semuanya pada Sri Rama tentang pertarungannya melawan Maharaja Rawana. Setelah
Jentayu selesai bercerita, ia lalu memberikan cincin yang dilontarkan Sita Dewi
saat Jentayu gugur ke bumi saat berperang dengan Maharaja Rawana. Kemudian,
cincin itu diambil oleh Sri Rama. Bahagialah Sri Rama melihat cincin itu memang
benar cincin istrinya, Sita Dewi.
Jentayu berpesan pada Sri Rama jika
akan pergi menyeberang ke negeri Langka Puri, Sri Rama tidak boleh singgah ke
tepi laut karena di sana terdapat gunung bernama Gendara Wanam. Di dalam bukit
tersebut ada saudara Jentayu yang bernama Dasampani sedang bertapa. Jentayu tak
ingin saudaranya itu mengetahui bahwa dirinya akan segera mati. Setelah Jentayu
selesai berpesan, ia pun mati.
Sri Rama menyuruh Laksamana
mencari tempat yang tidak terdapat manusia dengan memberinya sebuah tongkat.
Tetapi, Laksamana tidak berhasil menemukan tempat itu. Lalu ia kembali pada Sri
Rama. Laksamana mengatakan pada Sri Rama bahwa ia tidak dapat menemukan tempat
sesuai perintah Sri Rama. Kemudian, Sri Rama menyuruh Laksamana untuk
menghimpun semua kayu api dan meletakkannya di tanagn Sri Rama. Lalu
diletakkannya bangkai Jentayu di atas kayu api itu dan di bakar oleh Laksamana.
Beberapa lama kemudian, api itu padam. Laksamana heran melihat kesaktian Sri
Rama yang tangannya tidak terluka bakar sedikitpun. Kemudian, mereka
melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu.
Unsur-unsur
intrinsik Hikayat Sri Rama:
Tema: Kesetiaan dan pengorbanan
- bukti: Para patik Sri Rama berani berkorban nyawa demi
membantu Sri Rama yang sedang kesulitan mencari Sita Dewi. Mereka bakti
akan perintah Sri Rama dengan menunujukkan kesetiaan mereka pada Sri Rama.
Alur: Maju
- bukti: Sri Rama mencari Sita Dewi yang dibawa lari oleh
Maharaja Rawana. Dia berhasil menemukan petunjuk tentang keberadaan Sita
Dewi saat bertemu dengan Jentayu. Namun, Jentayu mati setelah menceritakan
tentang pertarungannya melawan Maharaja rawana. Mayat Jentayu dibakar di
atas tangan Sri Rama.
- Penokohan:
diceritakan secara dramatik (tidak langsung)
- Tokoh:
- Tokoh utama: Sri Rama
- Tokoh tambahan: Laksamana, Sita Dewi, Maharaja Rawana,
Jentayu, Dasampani, burung jantan, dan bangau.
- Setting/latar cerita
- Latar waktu: siang hari
bukti: pada paragraf enam kalimat
pertama pada hikayat
- Latar tempat: di hutan rimba belantara
bukti: pada paragraf pertama kalimat
kedua
- Latar suasana: bahagia, mengaharukan
bukti: Sri Rama terharu melihat
kesetiaan Jentayu atas pengabdiannya menolong Sita Dewi.
- Sudut pandang:
menggunakan orang ketiga sebagai pelaku utama
- Amanat:
hargailah pengorbanan seseorang yang telah rela mati demi menbantu kita.
PENGEMBARA YANG LAPAR
Tersebutlah kisah tiga orang sahabat, Kendi, Buyung
dan Awang yang sedang mengembara. Mereka membawa bekalan makanan seperti beras,
daging, susu dan buah-buahan. Apabila penat berjalan mereka berhenti dan
memasak makanan. Jika bertemu kampung, mereka akan singgah membeli makanan
untuk dibuat bekal dalam perjalanan.
Pada suatu hari, mereka tiba di kawasan hutan tebal.
Di kawasan itu mereka tidak bertemu dusun atau kampung. Mereka berhenti dan
berehat di bawah sebatang pokok ara yang rendang. Bekalan makanan pula telah
habis. Ketiga-tiga sahabat ini berasa sangat lapar,
“Hai, kalau ada nasi sekawah, aku akan habiskan
seorang,” tiba-tiba Kendi mengeluh. Dia mengurut-ngurut perutnya yang lapar.
Badannya disandarkan ke perdu pokok ara.
“Kalau lapar begini, ayam panggang sepuluh ekor pun
sanggup aku habiskan,” kata Buyung pula.
“Janganlah kamu berdua tamak sangat dan bercakap besar
pula. Aku pun lapar juga. Bagi aku, kalau ada nasi sepinggan sudah cukup,”
Awang bersuara.
Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata Awang.
“Dengan nasi sepinggan, mana boleh kenyang? Perut kita
tersangatlah lapar!” ejek Kendi. Buyung mengangguk tanda bersetuju dengan
pendapat Kendi.
Perbualan mereka didengar oleh pokok ara. Pokok itu
bersimpati apabila mendengar keluhan ketiga-tiga pengembara tersebut lalu
menggugurkan tiga helai daun.
Bubb! Kendi, Buyung dan Awang terdengar bunyi seperti
benda terjatuh. Mereka segera mencari benda tersebut dicelah-celah semak.
Masing-masing menuju ke arah yang berlainan.
“Eh,ada nasi sekawah!” Kendi menjerit kehairanan. Dia
menghadap sekawah nasi yang masih berwap. Tanpa berfikir panjang lalu dia
menyuap nasi itu dengan lahapnya.
“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya!” tiba-tiba
Buyung pula melaung dari arah timur. Serta-merta meleleh air liurnya. Seleranya
terbuka. Dengan pantas dia mengambil ayam yang paling besar lalu makan dengan
gelojoh.
Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat makanan,
Awang semakin pantas meredah semak. Ketika Awang menyelak daun kelembak, dia ternampak
sepinggan nasi berlauk yang terhidang. Awang tersenyum dan mengucapkan syukur
kerana mendapat rezeki. Dia makan dengan tenang.
Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat semula di
bawah pokok ara sambil memerhatikan Kendi dan Buyung yang sedang meratah
makanannya.
“Urgh!” Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang. Nasi di
dalam kawah masih banyak. Dia tidak mampu menghabiskan nasi itu. “Kenapa kamu
tidak habiskan kami?” tiba-tiba nasi di dalam kawah itu bertanya kepada Kendi.
“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
“Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan kami
sekawah?” Tanya nasi itu lagi.
“Tapi perut aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah
itu menyerkup kepala Kendi dan nasi-nasi itu menggigit tubuh Kendi. Kendi
menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat menghabiskan
seekor ayam sahaja. Sembilan ekor ayam lagi terbiar di tempat pemanggang. Oleh
kerana terlalu banyak makan, tekaknya berasa loya. Melihat baki ayam-ayam
panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah. Buyung segera mencampakkan
ayam-ayam itu ke dalam semak.
“Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba tanya
ayam-ayam panggang itu.
“Aku sudah kenyang,” kata Buyung. “Makan sekor pun
perut aku sudah muak,” katanya lagi.
Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari
celah-celah semak di kawasan itu. Mereka meluru ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh Buyung.
Buyung melompat-lompat sambil meminta tolong.
Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat rakan-rakannya.
Kendi terpekik dan terlolong. Buyung pula melompat-lompat dan berguling-guling
di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat apa-apa. Dia seperti terpukau melihat
kejadian itu.
Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang
seorang diri. Dia meneruskan semula perjalanannya.
Sebelum berangkat, Awang mengambil pinggan nasi yang
telah bersih. Sebutir nasi pun tidak berbaki di dalam pinggan itu.
“Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya jangan
sombong dan tamak. Makan biarlah berpada-pada dan tidak membazir,” kata Awang
lalu beredar meninggalkan tempat itu.
***
Terjemahan (Penceritaan Ulang) :
Diceritakan kisah tiga orang sahabat yaitu Kendi,
Buyung, dan Awang yang sedang mengembara. Mereka membawa bekalan makanan
seperti beras, daging, susu, dan buah-buahan. Biasanya, apabila mereka
kelelahan, mereka berhenti untuk sekedar beristirahat atau hanya menggenyangkan
perut. Jika dalam perjalanan mereka bertemu sebuah desa, biasanya mereka akan
singgah membeli makanan untuk bekal perjalanan.
Pada suatu hari, mereka tiba dikawasan hutan
belantara. Di kawasan tersebut, mereka tidak menemukan desa atau kampung dalam
perjalanan. Mereka berhenti dan beristirahat di bawah sebatang pohon tua yang
yang sangat besar dan sangat rindang. Perbekalan makanan mereka sudah habis tak
menyisa. Dan ketiga sahabat itu mulai kelaparan.
“Hei, jika ada nasi yang sebanyak kawah pun, aku akan
menghabiskannya seorang diri,” tiba-tiba Kendi mengeluh. Dia memegangi perutnya
yang sedari tadi belum diisinya. Dan badannya ia sandarkan pada pohon tua yang
sangat besar itu.
“Jika aku kelaparan seperti ini, ayam panggang sepuluh
ekor pun akan aku habiskan,” kata Buyung pula.
“Kalian tidak boleh berlaku tamak dan membual seperti
itu. Aku pun juga kelaparan. Bagiku, nasi sepingan pun sudah cukup untuk
mengatasi kelaparanku ini, “ Kata Awang.
Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata yang
diucapkan Awang barusan.
“Hanya dengan nasi sepinggan saja, bagaimana bisa
perutmu itu bisa kenyang? Padahal kau juga merasakan kelaparan yang sama
seperti yang kami derita!”
Dari kejauhan ternyata perbualan mereka tadi didengar
oleh pohon tua besar itu. Setelah mendengar keluhan ketiga pengembara tersebut,
pohon yang merasa kasihan terhadap mereka itu lalu menggugurkan tiga helai daun
miliknya.
Bubb! Terdengar bunyi seperti benda yang terjatuh
ditelinga Kendi, Awang, dan Buyung. Mereka langsung mencari-cari asal suara
tersebut di dicelah-celah semak. Mereka mencari-cari suara tersebut dari arah
yang berlawan-lawanan.
“Wah, ada nasi sekawah!” kata Kendi heran dan menjerit
karena ia kaget melihatnya. Dia menghampiri nasi sekawah yang masih beruwap
itu. Tanpa berfikir lebih lama, ia memakan nasi tersebut dengan lahapnya.
“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, enaknya!” teriak
Buyung dari arah timur. Tiba-tiba air liurnya menetes. Selera makannya muncul
seketika. Dengan pasti ia mngambil ayam yang paling besar lalu memakannya
dengan lahap.
Melihat Kendi dan Buyung yang telah mendapatkan
makanan, Awang berjalan semakin dalam ke arah semak-semak tersebut. Ketika
Awang melewati daun kelembak, tampak olehnya sepinggan nasi berlauk terhidang
di hadapannya. Awang tersenyum, dan mengucap syukur karena telah mendapat
rezeki. Ia memakan nasi sepingan itu dengan tenang.
Selepas makan, Awang merasa kenyang. Ia beristirahat
ditempat semula, di bawah pohon tua besar sambil memperhatikan Kendi dan Buyung
yang sedang makan dengan lahapnya.
“Urgh!” Kendi bersendawa. Perutnya sangatlah kenyang.
Nasi di dalam kawah itu masih tersisa banyak. Ia tidak mampu lagi menghabiskan
semua nasi tersebut. “kenapa kamu tidak menghabiskan kami?” tiba-tiba nasi di
dalam kawah itu bertanya pada Kendi.
“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi
“Bukankah kamu berjanji akan menghabiskan kami
sekawah?” tanya nasi itu lagi.
“Tapi perutku sudah kenyang,” jawab Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah
itu menyekap kepala Kendi dan nasi-nasi itu menggerogoti tubuh Kendi. Kendi
menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Ia hanya dapat menghabiskan
seekor ayam saja. Sembilan ekor ayam lagi tersisa di tempat pemanggang. Kerena
terlalu banyak makan, perutnya berasa mual. Melihat baki ayam-ayam panggang itu
saja, ia meresa muak dan hendak muntah. Buyung segera pergi meninggalkan
ayam-ayam itu ke dalam semak.
“Kenapa kamu tidak menghabiskan kami?” tiba tiba ayam
panggang itu berbicara.
“Aku sundah nenyang.” Kata Buyung. “makan seekorpun
aku sudah muak,” katanya lagi
Tiba-tiba muncul Sembilan ekor ayam jantan dari
celah-celah semak di tempat itu. Mereka berlari ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan mengoyak tubuh Buyung.
Buyung melompat-lompat sambil meminta tolong.
Awang bagaikan bermimpi melihat teman-temannya. Kendi
terpekik dan terlolong. Buyung melompat-lompat dan berguling-guling di atas
tanah. Awang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia seperti terpukau melihat kejadian
itu.
Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang
seorang diri. Ia meneruskan semua perjalanannya.
Sebelum berangkat, Awang mengambil sepinggan nasi yang
telah habis. Sebutir pun tidak menyisa di dalam pinggan itu.
“Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya tidak
berlaku sombong dan tamak. Makan itu secukupnya jangan berlebihan agar tidak
mubazir,” kata Awang lalu ia pergi meninggalkan tempat tersebut.
***
Sinopsis
:
Hiduplah 3 orang sahabat yang selalu berkelana. Mereka
adalah Kendi, Buyung, dan Awang. Suatu ketika mereka beristirahat di bawah
pohon besar untuk melepas peluh dan penat perjalanan. Keadaan mereka sangat
payah, kelapar dan kehausan. Buyng dan Kendi yang tidak menerima keadaan
tersebut berkeluh kesah, dengan tamaknya mereka berhayal tentang makanan dan
berjaji dengan sombongnya akan menghabiskan seluruh makanan tersebut. Awang
melerai dan menasihati mereka untuk tidak sombong dan tamak namun mereka
menghiraukan nasihat Awang dan malah memaki Awang.
Ternyata sedari tadi pohon yang mereka singgahi
mendengarnya. Dengan belas kasihan pohon tua tersebut mengabulkan khayalan
mereka. Buyung diberi 10 ayam yang sangat besar, Kendi diberi sekawah nasi,
sedangkan Awang diberi sepingan nasi. Mereka memakannya dengan lahap, namun
Awang memakannya dengan tenang. Awang menghabiskan seluruh makanannya tanpa
sisa, namun Kendi dan Buyung tidak sanggup untuk menghabiskan seluruh
makananya. Buyung dan Kendi yang tidak menghabiskan makanananya dikeroyok oleh
makanan yang tidak mereka habiskan hingga mereka mati. Buyung dan Kendi
mendapat buah pahit akibat perbuatannya mereka yang tamak, somong, dan
memubazir makanan. Mengetahui kedaan teman-temannya yang sudah tewas, akhirnya
Awang melanjutkan perjalanannya.
Unsur Intrinsik
Tema
: Balasan atas Perilaku Buruk
Tokoh dan Penokohan
:
- Buyung
(Antagonis) : Berprilaku sombong, berkhayal tinggi, tamak, ingkar janji,
tidak
mensyukuri takdir dan pemberian dari tuhan, suka
mengeluh
- Kendi
(Antagonis) : Berprilaku sombong,
berkhayal tinggi, tamak, ingkar janji,
tidak
mensyukuri takdir dan pemberian dari tuhan, suka
mengeluh.
- Awang
(Protagonis) : Berprilaku baik, tidak sombong, menepati janji, mensyukuri
takdir dan
pemberian dari tuhan, bersifat baik.
- Pohon tua
(Tirtagonis) : Suka berbelas kasih pada semua makhluk, bersifat baik.
Latar
(Setting) :
- Tempat : Di hutan.
- Waktu : -
- Suasana : Kelaparan
Alur (Plot)
: Maju.
-
Perkenalan : Paragraf 1
-
Penanjakan : Paragraf 2 - 7
- Klimaks : Paragraf 8 - 13
- Puncak
klimaks : Paragraf 14 - 23
- Anti
klimaks : Paragraf 24 - 27
Sudut Pandang (POV)
: Orang ketiga diluar cerita/orang ketiga serba tau.
Amanat
:
Janganlah
membuat janji yang tidak dapat kau tepati apalagi dengan sombongnya kau
lontarkan janji tersebut seolah-olah kau dapat menepatinya namun kenyataannya
kau tidak dapat menepatinya.
Pesan Moral
:
Setiap
kata-kata yang terucap harus dapat dikontrol, kita juga tidak di benarkan untuk
berkata sombong apalagi berjanji denagn janji yang tidak mungkin dapat kau
tepati. Janganlah juga kau menjadi orang yang tamak, karena suatu saat nanti
pasti akan ada balasan bagi orang-orang yang memiliki sifat yang buruk.
Unsur Ekstrinsik
Nilai Budaya
: Terlihat bahwa dari jaman dulu kita diharuskan dan diajarkan
untuk memiliki
sifat dan berprilaku baik.
Nilai Sosial
: Terlihat pada sikap Awang yang sedang menasehati teman-
temannya agar
tidak berprilaku tamak dan sombong . Berikut
kutipannya :
“Janganlah kamu berdua tamak sangat dan
bercakap besar
pula. Aku pun lapar juga. Bagi aku, kalau ada
nasi sepinggan
sudah cukup,” bagian terjemahan : “Kalian tidak
boleh berlaku
tamak dan membual seperti itu. Aku pun juga
kelaparan.
Bagiku, nasi sepingan pun sudah cukup untuk
mengatasi
kelaparanku ini, “
HIKAYAT PANJI SEMIRANG
Alkisah pada zaman dahulu hiduplah
seorang raja di Tanah Jawa yang merupakan empat bersaudara. Yang tua menjadi
raja di Kuripan, yang muda menjadi raja di Daha, yang tengah menjadi raja di
Gegelang, dan yang bungsu menjadi rajadi Singasari. Empat orang bersaudara itu
sangat menyayangi satu sama lain. Negeri tempat mereka tinggal sangat ramai dan
termasyur. Banyak pedagang asing yang masuk untuk berniaga di dalam negeri itu.
Bermula dari seseorang yang bernama
Nata Kuripan dengan selirnya yang bernama Paduka Mahadewi. Mereka memiliki anak
laki-laki yang sangat tampan rupanya. Dari wajahnya sudah terlihat jejak-jejak
keagungan dari ayahnya. Maka, diberinyalah inang pengasuh serta tanah di Karang
Banjar Ketapang. Orang-orang menyebut anak tersebut dengan sebutan Raden Banjar
Ketapang.
Permaisuri Kuripan yang mengetahui
itu, juga ingin mempunyai anak laki-laki yang baik parasnya. Ia pun
mendiskusikannya dengan suaminya. Setelah beberapa lama, mereka memutuskan
untuk menyembah segala dewa-dewa selama 40 hari 40 malam agar keinginannya
dikabulkan.
Unsur-Unsur Intrinsik
Tema Silsilah Panji Semirang
Latar Suasana
Bahagia ( Terlalu amat
berkasih-kasihan empat bersaudara,…)
Latar Waktu
Zaman
dahulu ( Sebermula pada zaman dahulu kala ada raja di Tanah Jawa empat
bersaudara…)
Latar Tempat
-Tanah Jawa ( Sebermula pada zaman
dahulu kala ada raja di Tanah Jawa
empat bersaudra,……)
-Kuripan ( Yang tua menjadi ratu di
Kuripan)
-Daha ( yang tengah menjadi ratu di
Daha)
-Gegelang ( yang bungsu menjadi ratu
di Gegelang)
-Karang Banjar Ketapang ( …, maka
dipungutkan inang pengasuh dengan
sepertinya dan diberi pekarangan
oleh Baginda di Karang Banjar Ketapang.)
Watak Tokoh
Raja: periang ( …..pada segenap
tahun utus-mengutus, empat buah negeri itu terlalu amat baik perintahnya dan
periksanya akan segala rakyatnya,…..Dan termasyurlah pada segala negeri di
Tanah Jawa akan raja empat buah negeri itu, terlalu baik perintahnya,…..)
Nata Kuripan: agung ( ….dan sikapnya
dan jejak keagung-agungan), mau menerima pendapat ( Setelah sang nata mendengar
kata Permaisuri demikian maka dipikirkan sang Nata, benarlah seperti kata
Permaisuri.), tekun (Maka sang Nata dan Permaisuri pun memujalah dua laki istri
kepada segala macam Dewa-Dewa siang dan malam empat puluh hari empat puluh
malam.)
Permaisuri: tekun (Maka sang Nata
dan Permaisuri pun memujalah dua laki istri kepada segala macam Dewa-Dewa siang
dan malam empat puluh hari empat puluh malam.), berkeinginan kuat (ingin
rasanya ia hendak berputera laki-laki yang baikparasnya.)
Sudut Pandang
Orang ketiga tunggal ( Karena tidak
melibatkan sang pencerita di dalamnya)
Gaya bahasa
-Menggunakan majas repetisi
(terdapat dalam kata “maka”)
-Menggunakan majas hiperbola (…..dan
mendam kula dan menghabiskan segala rerawitan isi laut dan darat.)
Nilai-Nilai (Unsur Ekstrinsik)
•Religi ( terdapat dalam pemujaan
dewa)
•Kesabaran dan ketekunan (ketika
sang Nata dan Permaisuri menyembah
dewa selama 40 hari 40 malam)
•Kerukunan ( terdapat dalam empat
bersaudara yang berkasih-kasihan)
•Pengharapan ( terdapat dalam
keinginan Nata dan Permaisuri dalam
mendapatkan anak).
HIKAYAT
MALIM DEMAN”
Malim deman adalah putra raja dari bandan muar yang
sangat bijaksana, lagi sangat elok rupanya. Setelah besar, malim deman bermimpi
seorang wali Allah menyuruhnya pergi kerumah nenek kebayan untuk mendapatkan
puteri bungsu dari kayangan sebagai istrinya. Dengan pengiring yang banyak,
pergilah malim Deman ke rumah nenek kebayan. Dengan bantuan nenek kebayan juga,
ia berhasil mencuri baju layang putri bungsu, sehingga puteri
Bungsu tidak dapat kembali ke kayangan. Nenek kebayan lalu mengawinkan mereka.
Maka berapa lama, mereka pun kembali ke Bandar Muar. Jamuan makanan
besar-besaran lalu di adakan. Malim Deman juga ditabalkan menjadi raja. Tidak lama kemudian Malin
Deman gering, lalu mangkat. Sejak kematian ayahhanda, Malim Deman lali
memerintah negeri. Setiap hari ia asyik menyambung ayam saja. Dalam keadaan
yang demikian, Puteri Bungsu pun melahirkan seorang anak yang diberi nama Malim
Dewana. Akhirnya Malim Dewana besarlah, tetapi Malim Deman tetap tidak mau
kembali ke istana melihat puteranya. Putri Bungsu sangat masyghul hatinya.
Kebetulan pula ia menemukan kembali baju layangnya. Maka ia pun terbang kembali
kekayangan dengan anaknya Malim Dewana.
Sepeninggal Puteri Bungsu, barulah Malim Deman
menyesal. Tujuh hari tujuh malam ia tidak beradu, tidak santap, leka dengan
menangis saja. Akhirnya ia berazam pergi mendapatkan istri dan anaknya kembali.
Dengan susah payah, sampailah ia ke rumah nenek kebayan dan bertanya dimana
diperoleh burung borak yang dapat membawanya kekayangan. Dengan bantuan
nenek kebayan, tahulah ia bahwa Puteri Terus Mata ada menyimpan burung borak.
Raja jin bersedia meminjamkan burung borak kepada Malim Deman dengan syarat
bahwa Malim Deman harus kawin dengan anaknya yaitu Puteri Terus Mata. Malim
Deman menyanggupi hal ini.
Sesampainya di kayangan didapatinya Puteri Bungsu akan
dikawinkan dengan Mambang Molek. Malim Deman mengalahkan Mambang Molek dalam
menyambung ayam. Maka timbullah pertikaman antara keduanya. Mambang Molek
terbunuh. Sekali lagi Malim Deman sekeluarga pun turun kembali ke dunia semula.
Perkawinan dengan Puteri Terus Mata lalu diadakan.
Hatta Malim Deman pun menjadi seorang raja yang sangat
bijaksana lagi gagah berani. Dan baginda katiga laki istri juga sangat sayang
kepada Puteranya
B). UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK
HIKAYAT
Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema yang diambil dalam hikayat “Malim Deman” adalah tentangKehidupan
seorang raja.
2. Penokohan
Malim Deman :
Bijaksana.
Bukti :
“Malim Deman adalah putera raja dari Bandar Muar
yang sangat bijaksana, lagi sangat elok rupanya”
Nenek Kebayan :
Penolong.
Bukti :
Dengan bantuan nenek kebayan juga, ia berasil mencuri selendang putri
bungsu.
Putri Bungsu :
Mudah
tersinggung atau mudah marah.
Bukti :
“Puteri Bungsu sangat masyghul hatinya”
Raja Jin :
Licik.
Bukti :
“Raja jin
bersedia meminjamkan burung borak kepada Malin Deman dengan
syarat . . .”
Malim Dewana :
Penurut.
Bukti :
“Maka ia pun terbang kembali kekayangan dengan anaknya Malim
Dewana”.
3. Latar/Setting
Latar Tempat :
Bandar Muar
“selang
berapa lama, mereka pun kembali ke Bandar Muar”
Rumah Nenek Kebayan
“akhirnya,
sampailah ia kerumah nenek Kebayan”
Kayangan
“sesampainya di kayangan didapatinya Puteri Bungsu . . .”
Latar Suasana :
Suasana Menegangkan :
“Malim Deman mengalahkan mambang molek denganmenyambung ayam, maka
timbullah pertikaman
antara keduanya”
Suasana
Senang:
“Sekali
lagi Malim Deman sekeluarga pun turun kembali ke dunia semula”
4. Alur
Maju
- Ekposisi (Tahap perkenalan):
“Malim deman adalah
putera raja dari Bandar Muar yang sangat bijaksana, lagi sangat elok rupanya”
- Penampilan Permasalahan:
“setelah besar, Malim
Deman bermimpi seorang wali Allah menyuruhnya pergi kerumah nenek kebayan
untuk mendapatkan puteri bungsu dari kayangan sebagai istrinya”
- Komplikasi (Tahap Permasalah) :
“puteri bungsu sangat
masyghul hatinya. Kebetulan pula ia menemukan kembali baju kayangan. Maka
ia
pun terbang kembali kekayangan dengan anaknya Malin Dewana”
- Tahap Klimaks :
“sesampainya di
kayangan didapatinya Puteri Bungsu akan dikawinkan dengan Mambang Molek.
Malim
Deman mengalahkan Mambang dalam menyambung ayam. Maka timbullah pertikaman
antara keduanya”
- Tahap Ketegangan Menurun:
“sekali lagi Malim
Deman sekeluarga pun turun ke dunia semula”.
5. Sudut Pandang
“Akhirnya, sampailah ia kerumah nenek kebayan “
Dari data di atas
digambarkan bahwa penulis menggunakan Sudut pandang orang ketiga
serba tahu.
6. Gaya Bahasa
Penggunaan
bahasanya sulit di mengerti.
Menggunakan
bahasa melayu kuno.
Menggunakan kata penghubung maka
dalam awal kalimat, contoh:
“Maka berapa lama, mereka pun kembali ke
Bandar Muar”.
7. Amanat
Keluarga itu
sangat penting dalam kehidupan kita, jadi jangan kita sia-siakan
keluarga kita tersebut.
Saling tolong-menolonglah terhadap sesama,
tetapi jangan tolong-menolong dalam berbuat kejahatan.
Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.
Unsur Ekstrinsik
Nilai
Pendidikan
- Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan
pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
Nilai Moral
- Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita pada
orang lain. Kita harus bersikap bijaksana dalam
menghadapi segala hal di dalam hidup kita.
Nilai Budaya
- Kita harus saling menghormati terhadap sesama.
Hikayat Seorang Kakek dan
Seekor Ular (Balas
Budi)
Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang
cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran,
beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan
membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga
terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya
tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari
menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya
memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba
seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu
sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang
menyusulnya) membawa tongkat.
“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan
terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh
oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu
berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut
lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah
kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.”
“Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya,
setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu
balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai
saya.”
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan
melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka
mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat
di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek
mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular
itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi.
Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara
kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi
sekarang.”
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu
berujar: “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa
membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan
mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa
membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.”
“Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu,
padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan.
Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan
hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.”
Kontan ular itu mengancam.
“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim
[tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung]
(ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula
yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup
bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku,
shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya
berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun
kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu
benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana
ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh
dari keluargaku.”
Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya,
orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat
mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.”
Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju,
ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu.
Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.”
Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu
tertuju padanya:
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai
orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah
menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara
untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya
beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.”
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga
ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan
selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu
girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar
sehingga saya dapat selamat?”
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi
setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu
dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah)
saya datang menyelamatkanmu.”
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan
yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat
untuknya.”
Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena
sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan
pernah menang karena prilakunya yang jahat.”
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada
istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya
Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari
sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga
menjadi kaya-raya.
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai
berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan
pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan
maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka
menghambur-hamburkan uang.
Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri
melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber
pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung
memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk
membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku
menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari
hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun
marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke
penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan
berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta
kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar
segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada
isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik
dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh
pertimbangan.
Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya.
Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang
pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia
pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang
disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia,
selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.
Unsur intrinsik
1. Tema : Balas Budi
2. Perwatakan tokoh :
a) Si Kakek : Baik hati, pandai,
taat, terlalu mudah percaya pada siapapun, suka
menolong dan pasrah.
-
Baik Hati : Dia rela menolong ular yang
bahkan bisa membahayakan nyawanya sendiri.
-
Pandai : Selain dikenal alim dan taat,
ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer.
-
Taat : Ia dikenal takut kepada
Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat
lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang.
-
Terlalu mudah
percaya pada siapapun : Dia terlalu percaya bahkan pada hal yang dia endiripun
tahu jika itu dapat membunuhnya.
-
Suka menolong : bukankah aku telah
menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh?
-
Pasrah : Terserah kepada Allah Yang
Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik .
b) Ular : Licik, jahat,
suka berbohong, dan tidak tahu balas budi.
-
Licik : Buktinya kamu biarkan saja
musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu
setiap ada kesempatan.
-
Jahat : Sekarang kuberi kamu dua
pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan
jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.
-
Suka berbohong :
Pada awalnya dia berjanji hanya akan bersembunyi, tetapi ternyata dia juga
mengancam untuk memakan hati atau jantung si kakek.
-
Tidak tahu balas
budi : Setelah diberi pertolongan oleh kakek, bukannya berterima kasih, ular
itu malah mau membunuh kakek.
c) Suara penolong : Baik hati, suka menolong.
-
Baik hati : Dia ada disaat yang tepat.
Saat kakaek akan dibunuh oleh ular itu.
-
Suka menolong : Tuhan yang telah memberi
pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.
Unsur
Ekstrinsik
1.
Nilai Moral : Kita dapat belajar bahwa menolong orang itu memang baik,
namun kita juga harus memikirkan pula tentang akibat dari pertolongan kita itu.
2.
Nilai Pendidikan : Kita dapat belajar bahwa perbuatan baik juga akan
mendapatkan balasan yang baik pula.
3.
Nilai Religius: Allah akan selalu melindungi hamba-Nya yang taat kepada-Nya.
4.
Nilai Sosial : Menolong sesama yang membutuhkan adalah hal yang baik,
apalagi bila memang sedang membutuhkan pertolongan.
5.
Nilai Budaya: Budaya
tolong-menolong antara kiat memang harus selalu diterapkan dimanapun dan
kapanpun.
6.
Nilai Estetika: Hubungan antar umat manusia yang saling tolong-menolong dan pertolongan
Allah yang terkadang tak terduga.
HIKAYAT JAYA LENGKARA
Tersebut cerita seorang raja yang terlalu
besar kerajaannya, Saeful Muluk namanya, Ajam Saukat nama kerajaanya. Adapun
raja ini telah berkawin dengan Putri Sukanda Rum. Tetapi oleh karena
permaisurinya tidak beranak, ia berkawin dengan Putri Sukanda baying-bayang.
Hatta berapa lamanya, Puteri Sukanda bayang-bayangpun beranak anak kembar yang
diberi nama Makdam dan Makdim. Permaisuri takut kehilangan kasih sayang raja
sama sekali, lalu berdoa meminta anak. Doanya dikabulkan. Hatta berapa lamanya,
ia pun beranaklah seorang anak laki-laki yang terlalu baik rupanya. Anak itu
ialah Jaya Lengkara. Adapun semasa Jaya Langkara jadi itu, negeri pun terlalu
makmur, makanan murah dan banyak pedagang yang datang pergi. Segala ahli nujum,
hulubalang dan rakyat sekalian juga mengucap syukur kepada Alloh.
Kemudian raja menyuruh anaknya yang lain ,Makdam dan Makdim pergi bertanyakan
nasib Jaya Langkara pada seorang kadi. Kadi itu meramalkan bahwa Jaya Langkara
akan menjadi raja besar yang terlalu banyak sakti dan segala raja-raja besar
tiada yang dapat melawannya dan segala margastua juga tunduk kepadanya dengan
khidmat. Mendengar ramalan yang demikian, Makdam dan Makdim menjadi sakit
hatinya. Mereka berdusta kepada ayahanda mereka dengan mengatakan, jikalau Jaya
Langkara ada dalam negeri, negeri akan binasa, beras padi juga akan menjadi
mahal. Raja termakan fitnah ini dan membuang Jaya Langkara dengan bundayanya
dari negeri.
Naga guna menyelamatkan Jaya Langkara. Bersama-sama mereka akan pergi ke negeri
Peringgi. Jaya Langkara menewaskan seorang ajar-ajar dan memaksanya masuk
islam. Dengan bantuan raja jin yang sudah masuk islam, ia membebaskan Makdam
dan Makdim dari penjara. Ratna Kasina dan Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdam.Bunga Kumkuma putih juga sudah
diperolehnya.
Mangkubumi mesir coba mengambil bunga itu dari jaya langkara dan ditewaskan.
Jaya Langkara mengampuni dia, bila mendengar sebab-sebab ia ingin mendapat kan
bunga itu. Jaya Langkara pergi ke Mesir dan memohon supaya puteri Ratna Dewi dikawinkan
dengan Makdim. Permaohonan nya diterima dengan baik oleh raja Mesir. Bersama
–sama dengan Ratna Kasina, Jaya Langkara berangkat ke negeri Ajam Saukat dan
menyembuhkan penyakit raja yang tak lain adalah ayahnya. Selang berapa lamanya,
Jaya Langkara kembali ke hutan untuk mencari bundanya.Ratna
Kasina menyusul tidak lama kemudian, karena tidak tahan di ganggu oleh Makdam
dan Makdim yang sudah ke negeri Ajam Saukat. Karena berahi mereka akan putri
Ratna Kasina, Makdam dan Makdim coba membunuh Jaya Langkara. Naga guna
menyelamatkan dan membawanya bersama-sama dengan Puteri Ratna Kasina ke negeri
Madinah. Raja Madinah sangat bergembira. Jaya Langkara dikawinkan dengan puteri
Ratna Kasina. Raja Madinah sendiri juga berkawin dengan bunda jaya langkara. Hatta
berapa lamanya. Jaya Langkara pun menjadi raja, negeri Madinah pun terlalu
makmur dan besar kerajaannya. Segala raja besar pun menghantar upeti ke madinah
setiap tahun.
Unsur Intrisik Hikayat Melayu “ Jaya Lengkara”
1. Tema: perebutan tahta dan kedengkian
saudara Jaya lengkara di kerajaan Ajam Saukat.
2. Penokohan:
• Saeful Muluk→ mudah terpengaruh ( mempercayai
fitnah Makdam dan makdim terhadap Jaya Lengkara. )
• Putri Sukanda Rum.
• Putri Sukanda bayang-bayang.
• Makdam dan Makdim→pemfitnah,
irihati ( memfitnah Jaya lengkara karena iri hati. )
• Jaya
Lengkara→suka menolong, pemaaf ( walaupun telah difitnah oleh Makdam dan
Makdim tapi Jaya Lengkar tetap memaafkannya). Bijaksana ( memimpin kerajaan
dengan bijaksana). Tabah, sabar (Jaya Lengkara tetap tabah menerima segala
cobaan yang menimpanya)
• Ratna Dewi.
• Ratna Kasina.
• Naga→ penolong (menolong Jaya
Lengkara yang tengah kesusahan).
• Mangkubumi Mesir→jahat (
mencoba merampas bunga Kumkuma Putih).
• Raja Madinah→ baik hati
(menerima kedatangan Jaya Lengkara dan menikahkannya dengan Ratna Kasina).
3. Latar:
• Tempat:
Ajam Saukat (…..di Kerajaan Ajam Saukat).
Negeri Peringgi (…..mereka kenNegeri Peringgi).
Mesir ( Jaya Lengkara pergi ke Mesir).
Hutan (….pergi ke hutan untuk mencari
bundanya).
Madinah (….bersama dengan Ratna Kasina pergi ke
Madinah).
• Suasana:
Menyedihkan (raja mengusir jaya lengkara dan
Ibunya).
Bahagia (Raja Madinah sangat bahagia).
• Alat :
Bunga Kumkuma Putih (bunga Kumkuma Putih juga
sudah diperolehnya).
Upeti (Segala raja besar pun menghantet upeti
ke Madinah setiap tahun).
4. Sudut Pandang : orang ketiga
serba tahu.
5. Alur : maju
Tahapan :
• Pengenalan: raja mendapatkan anak
dari kedua istrinya yaitu Makdam dan Makdim, Jaya Lengkara.
• Konflik : raja menyuruh Makdam
dam Makdim ke seorang Kadi untuk menanyakan nasib jaya Lengkara.
• Penanjakan: Makdam dan Makdim
berdusta kepada ayahnya dan memfinah Jaya Lengkara. Hingga akirnya Jaya lenkara
dan ibunya diusir dari kerajaan.
• Klimaks: ketika bunga Kumkuma
telah didapatkan oleh jaya Lengkara, magkubumi Mesir mencoba untuk merbut dri
tangan Jaya Lengkara.
• Anti klimaks: Jaya Lengkar pergi
ke hutan untuk mencari ibunya, kemudian Ratna Kasina meenyusul karena tidak
tahan diganggu oleh Makdam dan Makdim. Makdam dan Makdim yang marah kepada jaya
Lengkara mencoba untuk membunuhnya.
• Ending: jaya Lengkar diselamatkan
oleh naga dan dibawa ke Madinah. Dan dikawinkan dengan Ratna Kasina serta
dijadikan raja. Negeri Madinah pun makmur dan besar.
6. Amanat:
• Iri hati dan dengki akan mengkalahkan dan mencelakakan
diri sendiri.
• Meneggakan keadilan dan kebenaran harus dilakukan
untuk mensejahterakan rakyat.
• Memaafkan kesalahan orang lain adalah salah satu
bentuk menciptakan kedaimaan.
7. Nilai:
• Agama:
Jangan suka memfitnah orang lain.
Jangan iri kepada orang lain.
Berdo’alah dengan sungguh-sungguh.
Jangan mudah percaya dengan ramalan.
• Sosial:
Tolong-menolonglah dengan sesama.
• Moral:
Jangan menjadi seorang pendendam.
Jangan iri kepada orang lain.
Ringkasan karya sastra melayu Hikayat
Inderaputra
Maharaja
Bikrama Puspa memilikiseorang putra bernama Inderaputra.ia sangat
arif,bijaksana,perkasa dan sakti.tetapi nasibnya kurang beruntung.waktu
kecil,ia pernah diterbangkan oleh merak emas.lalu ia jatuh ditaman dan pelihara
oleh nenek Kabayan.dan ia diangkat menjadi anak perdana menteri.
Pada suatu hari,Raja Syahsan pergi
berburu dan melihat seokor kijang menangisi ibunya yang telah mati.baginda pun
terharu dan ingin mempunyai anak.kemudian baginda mendengar kabar di sebuah
gunung yang jauh,ada seorang maharesi pertapa yang sakti,namanya Berma
Sakti.karena tempatnya sangat jauh,tiada seorang pun sanggup kesana.akan tetapi
Inderaputra pun menawarkan diri untuk pergi ke gunung itu.
Maka
pergilah Inderaputra mencari obat itu.Ia pun melewati rintangan-rintangan yang
sulit dan berbahaya.Akhirnya ia pun sampai di tempat pertapaan Berma sakti dan
ia diberi sebuah obat.
Raja
syasian pun sangat gembira.setelah permaisuri memakan obat yang dibawa
indraputera,permaisuri pun hamil dan melahirkan seorang anak yang cantik yang
diberi nama tuan putri indra seri bulan.suatu hari indraputera dituduh berbuat
jahat dengan dayang.akhirnya ia pun dibuang disebuah negeri.dan raja dinegeri
tersebut pun menawarkan indraputera dan memberikan sehalai kain yang dapat
menyembuhkan segala macam penyakit.
Tuan puteri seri bulan pun telah
beranjak dewasa dan tak lama kemudian,tuan puteri sakit dan tak ada seorang
tabib pun yang dapat menyembuhkannya. Indraputera pun muncul dan menyembuhkan
tuan puteri.meskipun banyak masalah yang menerjang akhirnya indera putra dapat
meminang tuan putri indara seri bulan.
Unsur-unsur yang
terdapat di Hikayat Indraputera,yaitu
A.Tema:
kebaikan yang tulus membawa kebahagian
B.Penokohan:
-indraputera:arif,bijaksana,perkasa,sakti
dan baik
-raja syasian: baik dan bijaksana
-nenek kabayan:penolong dan perduli
-berma sakti:sakti,baik dan penolong
-tuan puteri indra seri bulan: cantik
C.alur:
alur maju
Karena ceritanya menceritakan mulai
ia dibuang oleh merak emas disuatu taman
Sampai ia dapat meminang tuan putri
D.setting:
-waktu:beberapa lama,suatu
hari,tidak lama kemudian,pada suatu ketika dan
akhirnya
-tempat:digunung,ditaman,dikebun
nenek, dan disebuah negeri
-suasana:
menegangkan dan mengembirakan
E.Sudut pandang:
Sudut pandang orang ke-3
F.Gaya bahasa:
susah dimengerti,bahasa nya tidak
baku.
G.Amanat:
lakukanlah kebaikan dengan setulus
hati dan tanpa pamrih
Hikayat Gunung Tidar Dan
Tombak Kiai Panjang
Syahdan, dahulu
kala Tanah Jawa ini masih berupa hutan belantara yang tiada seorangpun berani
tinggal di sana. Sebagian besar wilayah Jawa ini dahulu masih dikuasai berbagai
makhluk halus. Konon Tanah Jawa yang dikelilingi laut ini bak perahu yang mudah
oleng oleh ombak laut yang besar. Maka melihat itu para dewata segera mencari
cara untuk mengatasinya.
Maka berkumpullah
para dewa untuk membahas persoalan Tanah Jawa yang tidak pernah tenang oleh
hantaman ombak itu. Diutuslah sejumlah dewa untuk tugas menenangkan pulau ini.
Mereka membawa sejumlah bala tentara menuju Pulau Jawa sebelah barat. Namun,
tiba-tiba Pulau Jawa kembali oleng dan berat sebelah karena para dewa dan bala
tentara hanya menempati wilayah barat. Agar seimbang, sebagian dikirim ke timur.
Namun usaha ini tetap gagal.
Melihat kenyataan
itu maka para dewa sibuk mencari jalan pemecahan. Setelah beberapa waktu
berembug, maka didapatkanlah sebuah ide cemerlang. Mau tak mau para dewa harus
menciptakan sebuah paku raksasa, dan paku itu akan ditancapkan di pusat Tanah
Jawa, yaitu titik tengah yang dapat menjadikan Pulau Jawa seimbang. Paku
raksasa yang ditancapkan itu konon dipercaya sebagian masyarakat sebagai Gunung
Tidar. Dan setelah paku raksasa itu ditancapkan, Pulau Jawa menjadi tenang dari
hantaman ombak.Menurut kepercayaan sebagian masyarakat, Gunung Tidar pada
mulanya hanya ditinggali oleh para jin dan setan yang konon dipimpin oleh salah
satu jin bernama Kiai Semar. Kiai Semar tidak sama dengan tokoh Semar dalam
dunia pewayangan. Kiai Semar yang menguasai Gunung Tidar ini konon jin sakti
yang terkenal seram. Setiap ada manusia yang mencoba untuk tinggal di sekitar
Gunung Tidar, maka tak segan Kiai Semar mengutus anak buahnya yang berupa
raksasa-raksasa dan genderuwo untuk memangsanya.
Alkisah,
datanglah seorang manusia yang terkenal berani untuk mencoba membuka wilayah
Tidar untuk ditinggali. Ksatria berani ini berasal dari tanah jauh. Konon ia
berasal dari negeri Turki, bernama Syekh Bakir dan ditemani Syekh Jangkung.
Kedua syekh ini disertai juga oleh tujuh pasang manusia, dengan harapan dapat
mengembangkan masyarakat yang kelek mendiami wilayah itu.
Mendengar kabar
itu, Kiai Semar murka. Diseranglah mereka oleh anak buah Kiai Semar, dan tiada
seorangpun yang selamat kecuali Syekh Bakir yang sakti, soleh, dan sabar.
Setelah bertapa selama 40 hari 40 malam, ia bertemu dengan Kiai Semar.
“Hei, Ki Sanak,
berani benar kau berada di wilayah kekuasaanku tanpa permisi. Siapakah engkau
dan apa maumu berada di wilayah ini,” kata Kiai Semar.
“Duh penguasa
wilayah Tidar, ketahuilah olehmu bahwa namaku Syekh Bakir, asalku dari negeri
Turki nun jauh di sana. Adapun kedatanganku kemari untuk membuka tempat dan aku
akan tinggal di sini bersama saudara dan sahabatku,” jawab Syekh Bakir dengan
tenang.
“Adakah kau tahu
bahwa daerah ini adalah daerah kekuasaanku? Siapapun tak boleh tinggal di sini.
Jika tiada peduli, maka akau akan mnegutus anak buahku untuk menumpas kalian
tanpa sisa.”
“Hai engkau yang
mengaku sebagai penguasa Gunung Tidar, tidakkah kau tahu bahwa tiada yang dapat
melebihi kekuasaan Allah? Allah menciptakan manusia untuk menjaga dan
memelihara alam semesta ini, bukan untuk menguasainya secara semena-mena,” kata
Syekh Bakir.
“Hei manusia,
sebelum kemarahanku memuncak, tinggalkan tempat ini! Ketahuilah bahwa tempat
ini sudah menjadi milikku, dan jangan mencoba merampasnya.” Syekh Bakir
terdiam.
Mendengar ancaman
Kiai Semar, ia lalu mengalah. Tetapi bukan berarti ia menyerah kalah. Tetapi
sebaliknya Syekh Bakir hendak menyiapkan diri lebih baik untuk mengalahkan Kiai
Semar dan bala tentaranya.
Sesampai di
negeri Turki, ia mengambil sebuah tombak sakti yang bernama Kiai Panjang.
Selain itu, iapun menyiapkan lebih banyak lagi manusia yang akan diajak serta
untuk membuka tempat tinggal baru di Tidar.
Sesampai kembali
di Tidar, berpasang-pasang manusia yang diajak serta oleh Syekh Bakir tinggal
lebih dulu di daerah sebelah timur Gunung Tidar yang sekarang dikenal dengan
nama desa Trunan. Konon desa itu berasal dari makna “turunan”. Ada yang mengatakan
arti dari turunan itu adalah keturunan, tetapi ada yang menganggapnya sebagai
daerah pertama kali sahabat-sahabat Syekh Bakir diturunkan dan tinggal di
tempat itu untuk sementara waktu.
Setelah itu Syekh
Bakir berangkat sendiri ke puncak Gunung Tidar untuk bersemadi. Tombak pusaka
sakti Syekh Bakir ditancapkan tepat di puncak Tidar sebagai penolak bala. Dan
benar, tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang bukan main bagi Kiai Semar
dan wadyabalanya.Merekapun lari tunggang langgang meninggalkan Gunung Tidar.
Dengan adanya tombak sakti itu, maka amanlah Gunung Tidar dari kekuasaan para
jin dan makhluk halus. Syekh Bakirpun akhirnya memboyong sahabat-sahabatnya
untuk membuka tempat tinggal baru di Gunung Tidar dan sekitarnya.
Unsur-unsur intrinsiknya :
1. Tema :
Gunung Tidar Dan Tombak Kiai Pajang.
2.
Seting
a. Tempat : Gunung Tidar, hutan.
b. Waktu : 40 hari, siang dan malam hari.
c.Suasana : Menegangkan,
Menakutkan.
3.Alur :
Maju.
4.Penokohan
a.Protagonis : Syekh Bakir ,Syekh Jangkung.
b.Antagonis : Kiai Semar.
c.Tritagonis : 7 pasang Manusia.
d.Figuran : Masyarakat, jin,
mahluk halus, sahabat Syekh Bakir.
5.Amanat :
Janganlah menjadi Orang yang serakah.
6.Sudut pandang : Orang ke tiga.
7.Gaya bahasa : Majas, peribahasa.
Usur-unsur ekstrinsiknya : Bernilai pendidikan,
nilai sosial, nilai keagamaan.
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah
berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang
sangat miskin. Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari
pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah
abad itu sangat rajin beribadah.
“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya
apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga
dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak
pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak
ada beras untuk tanak.”
“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu
beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan
harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita karena kita
miskin?” keluh sang istri.
Malam itu,. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan
sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat
dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa
suaminya.
Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan
sakit diperutnya.
Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si
istri merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat. Ternyata istrinya
melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan
tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru saja
lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.
Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar.
Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil,
seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah
di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal
makanan yang akan mereka nikmati bersama.
Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama
kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah
duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya
menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe
rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe
Cabai rawit
mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun
akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar
tanpa bekal apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan,
melintaslah seorang pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras
nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit
pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini.
Ibuku pasti menangis nanti,” kata suara itu.
Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia
melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya seorang manusia pun. Sementara
suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut berulang-ulang,
akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk
halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak
kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.Sepeninggalan pedagang beras,
cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah ditinggalkan oleh
pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu bertanya. “Tadi, di jalan aku
bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu
saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa
pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab
cabe rawit.
Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi pada
pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara yang
menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka
pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah.
Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak
pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau pertengahan jalan, dia
berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin dan jarang
makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan
berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian
meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu.
Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin menjadi hidup
bergelimang harta.
Orang-orang kampung pun mulai curiga
Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari
seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi
tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang
pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar
cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para
penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya.
Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar
sehingga membuat orang-orang takut.
Unsur-unsur intrinsiknya:
1. Tema : Cabe
rawit.
2.
Seting
a. Tempat : Pasar, jalan
b. Waktu : Malam hari, Pagi hari.
c.Suasana : Tegang,Menyedihkan
3.Alur :
Maju.
4.Penokohan
a.Protagonis : Sahdan(ibu cabe rawit), Ayah cabe
rawit.
b.Antagonis : Cabe rawit.
c.Tritagonis : Pedagang.
d.Figuran : Penduduk, Hatta.
5.Amanat : -Bersabarlah meski mendapat
cobaan seberat apapun, dan slalu
berusaha dan berdo’a.
-Jangan mengambil sesuatuyang bukan menjadi
hak kita.
6.Sudut pandang : Orang ke tiga.
7.Gaya bahasa : Peribahasa, Majas.
Usur-unsur ekstrinsiknya : Bernilai pendidikan,
nilai sosial.
Hikayat
Burung Cenderawasih
Sahibul
hikayat telah diriwayatkan dalam Kitab Tajul Muluk, mengisahkan seekor
burung yang bergelar burung cenderawasih. Adapun asal usulnya bermula
dari kayangan. Menurut kebanyakan orang lama yang arif mengatakan ianya
berasal dari syurga dan selalu berdamping dengan para wali. Memiliki
kepala seperti kuning keemasan. Dengan empat sayap yang tiada taranya. Akan
kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya. Sesuatu yang sangat
nyata perbezaannya adalah dua antena atau ekor ‘areil‘ yang panjang di
ekor belakang. Barangsiapa yang melihatnya pastilah terpegun dan takjub akan
keindahan dan kepelikan burung cenderawasih.
Amatlah
jarang sekali orang memiliki burung cenderawasih. Ini kerana burung ini
bukanlah berasal dari bumi ini. Umum mengetahui bahawa burung Cenderawasih ini
hanya dimiliki oleh kaum kerabat istana saja. Hatta mengikut sejarah,
kebanyakan kerabat-kerabat istana Melayu mempunyai burung cenderawasih.
Mayoritas para peniaga yang ditemui mengatakan ia membawa tuah yang hebat.
Syahdan dinyatakan
lagi dalam beberapa kitab Melayu lama, sekiranya burung cenderawasih turun ke
bumi nescaya akan berakhirlah hayatnya. Dalam kata lain burung cenderawasih akan
mati sekiranya menjejak kaki ke bumi. Namun yang pelik lagi ajaibnya, burung
cenderawasih ini tidak lenyap seperti bangkai binatang yang lain. Ini kerana ia
dikatakan hanya makan embun syurga sebagai makanannya. Malahan ia mengeluarkan
bau atau wangian yang sukar untuk diperkatakan. Burung cenderawasih mati dalam
pelbagai keadaan. Ada yang mati dalam keadaan terbang, ada yang mati dalam
keadaan istirahat dan ada yang mati dalam keadaan tidur.
Walau
bagaimanapun, Melayu Antique telah menjalankan kajian secara rapi
untuk menerima hakikat sebenar mengenai BURUNG CENDERAWASIH ini. Mengikut
kajian ilmu pengetahuan yang dijalankan, burung ini lebih terkenal di kalangan
penduduk nusantara dengan panggilan Burung Cenderawasih. Bagi kalangan
masyarakat China pula, burung ini dipanggil sebagai Burung Phoenix yang
banyak dikaitkan dengan kalangan kerabat istana Maharaja China. Bagi kalangan
penduduk Eropah, burung ini lebih terkenal dengan panggilan ‘Bird of
Paradise‘.
Secara
faktanya, asal usul burung ini gagal ditemui atau didapathingga sekarang. Tiada
bukti yang menunjukkan ianya berasal dari alam nyata ini. Namun satu lagi fakta
yang perlu diterima, burung cenderawasih turun ke bumi hanya di IRIAN JAYA (Papua
sekarang), Indonesia saja. Tetapi yang pelik namun satu kebenaran burung
ini hanya turun seekor saja dalam waktu tujuh tahun. Dan ia turun untuk mati.
Sesiapa yang menjumpainya adalah satu tuah. Oleh itu, kebanyakan burung
cenderawasih yang anda saksikan mungkin berumur lebih dari 10 tahun, 100 tahun
atau sebagainya. Kebanyakkannya sudah beberapa generasi yang mewarisi burung
ini.
Telah
dinyatakan dalam kitab Tajul Muluk bahawa burung cenderawasih mempunyai
pelbagai kelebihan. Seluruh badannya daripada dalam isi perut sehinggalah
bulunya mempunyai khasiat yang misteri. Kebanyakannya digunakan untuk
perubatan. Namun ramai yang memburunya kerana ‘tuahnya’. Burung cenderawasih
digunakan sebagai ‘pelaris’. Baik untuk pelaris diri atau perniagaan. Sekiranya
seseorang memiliki bulu burung cenderawasih sahaja pun sudah cukup untuk
dijadikan sebagai pelaris. Mengikut ramai orang yang ditemui memakainya sebagai
pelaris menyatakan, bulu burung cenderawasih ini merupakan pelaris yang paling
besar. Hanya orang yang memilikinya yang tahu akan kelebihannya ini. Namun yang
pasti burung cenderawasih bukannya calang-calang burung. Penuh dengan keunikan,
misteri, ajaib, tuah. [Phoenix/infokito].
Unsur intrinsik pada Hikayat 1 :
1. Tema : Hikayat
Burung Cendrawasih.
2. Seting
a.
Tempat : Papua di
Indonesia .
b.
Waktu : Siang hari.
c.Suasana : Menakjubkan.
3.Alur : Mundur.
4.Penokohan
a.Protagonis : Burung Cendrawasih.
b.Tritagonis : Para wali.
c.Figuran : Kaum Kewrabat Istana.
5.Amanat : Burung Cendrawasih
sangat bermanfaat sebagai pelaris.
6.Sudut
pandang : Serba tahu.
7.Gaya
bahasa : Majas.
Unsur Ekstrinsik : Bernilai pendidikan,nilai
sosial,nilai keagamaan,nilai budaya.
“HIK AYAT BUNGA KEMUNING”
Dahulu
kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik.
Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan
kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri
sang raja sudah meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga
anak sang raja diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan
nakal. Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak
mau membantu ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi diantara mereka.
Kesepuluh puteri itu dinamai
dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri Jambon. Adik-adiknya
dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu, Puteri Oranye,
Puteri Merah Merona, Puteri Kuning dan 2 puteri lainnya. Baju yang mereka pun
berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat
mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu
Puteri Kuning sedikit berbeda, Ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia
selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka bebergian
dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.
Pada
suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya.
"Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian
inginkan?" tanya raja. "Aku ingin perhiasan yang mahal," kata
Puteri Jambon. "Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau," kata Puteri
Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka.
Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang
lengan ayahnya. "Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,"
katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya. "Anakku, sungguh baik
perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah
indah buatmu," kata sang raja. Tak lama kemudian, raja pun pergi.
Selama
sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering membentak
inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena sibuk menuruti
permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat membersihkan taman
istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman adalah tempat
kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan mulai
membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar
dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang
pengasuh melarangnya, namun Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya.
Kakak-kakak
Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. "Lihat
tampaknya kita punya pelayan baru,"kata seorang diantaranya. "Hai
pelayan! Masih ada kotoran nih!" ujar seorang yang lain sambil melemparkan
sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam
saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang
sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para
pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.
"Kalian
ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk
kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!" Kata Puteri Kuning dengan marah.
"Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!" ajak Puteri Nila.
Mereka meninggalkan Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap
hari, sampai ayah mereka pulang. Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan
puteri nya masih bermain di danau, sementara Puteri Kuning sedang merangkai
bunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih. "Anakku
yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung batu
hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!" kata sang raja.
Raja
memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda
itu tak pernah ditemukannya. "Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun
cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna kuning," kata
Puteri Kuning dengan lemah lembut. "Yang penting, ayah sudah kembali. Akan
kubuatkan teh hangat untuk ayah," ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning sedang
membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling
memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan
hadiahnya. Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung
barunya. "Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu
menjadi milikku, karena aku adalah Puteri Hijau!" katanya dengan perasaan
iri.
Ayah
memberikannya padaku, bukan kepadamu," sahut Puteri Kuning. Mendengarnya,
Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut
mereka. "Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita
harus mengajarnya berbuat baik!" kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat
untuk merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya
menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan
Puteri Kuning meninggal. "Astaga! Kita harus menguburnya!" seru
Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya
di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu hijau, karena ia tak
menginginkannya lagi.
Sewaktu
raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi.
Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. "Hai para
pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!" teriaknya. Tentu saja tak
ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak
ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. "Aku ini ayah yang
buruk," katanya." Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk
belajar dan mengasah budi pekerti!" Maka ia pun mengirimkan
puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja sendiri sering
termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri Kuning yang hilang
tak berbekas.
Suatu
hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran
melihatnya. "Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya
bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat
wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia
Kemuning.!" kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning
mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk
mengharumkan rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah,
sedangkan kulit kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri
Kuning masih memberikan kebaikan.
UNSUR INTRINSIK
Alur/plot : Alur Maju
Bukti : karna dalam cerita ini tidak
menceritakan tentang masa lalu.
Tema : Kekeluargaan, Kerajaan dan Kasih
sayang tulus seorang anak kepada ayahnya.
Latar/setting :
1. Latar tempat :
Kerajaan (bukti: hikayat ini mengisahkan tentang kerajaan
jaman dahulu.)
Taman (bukti : tanpa ragu, putri kuning mengambil sapu dan
mulai membersihkan taman itu.)
Danau (bukti : ketika sang raja tiba di istana kesembilan
putrinya masih bermain di danau.)
Teras istana (bukti : sementara putri kuning sedang merangkai
bunga di teras istana.)
2. Latar waktu :
Pada zaman dahulu kala
3. Latar suasana :
Sedih (bukti: berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang
berhasil menemukan Putri Kemuning. Raja sangat sedih. "Aku ini ayah yang
buruk," katanya.)
Tokoh:
1.
Protagonis : Raja dan Putri Kuning
2.
Antagonis : Putri Jingga, Putri Nila,
Putri Hijau, Putri Kelabu, Putri Oranye, Putri Merah Merona, Putri Kuning dan 2
putri lainnya.
Karaker tokoh-tokoh
1. Raja :
Bijaksana (bukti: sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana)
Penyayang (bukti: sang raja sangat menyayangi anak-anaknya)
2. Putri kuning :
Baik hati (bukti: karna para inang sibuk untuk menuruti permintaan
kakak-kakaknya, taman menjadi tidak ada yang membersihkan. Tapi dengan senang
hati putri kuning mau membantu membersihkan taman.)
Penyabar (bukti: “Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang
lain sambil melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali
acak-acakan. Putri kuning diam saja dan menyapu sampah sampah itu.)
Ramah (bukti: Sebaliknya ia selalu riang dan tersenyum ramah kepada
siapa pun.)
3. Puteri
Hijau : Jahat, mudah iri (bukti: Puteri
Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. "Wahai adikku, bagus
benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah Puteri
Hijau!" katanya dengan perasaan iri)
4. Kakak-kakak putri kuning : Nakal,
manja, jahat. (bukti: sering membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan
agar menuruti mereka, merampas kalung putri kuning, menangkap dan memukul
kepala putri kuning sampai putri kuning meninggal dan menguburnya tanpa memberitahu
ayahnya (raja).
Sudut Pandang :
Orang Pertama dan orang ketiga.
Amanat :
-Berlaku baiklah kepada sesama saudara kita
-Berfikirlah terlebih dahulu ketika kita akan bertindak
UNSUR EKSTRINSIK
Nilai
Sosial
Mencoba untuk lebih baik
Nilai
Agama
Berbuat baik walaupun dibalas kejahatan
(Bukti agama islam)
Nilai Moral
Keburukan akan terbongkar dengan sendirinya walaupun ditutupi.
Nilai
Budaya
Sopan dan santun kepada orang tua,
Pada jaman dahulu tentang pemberian nama putri atau putra.
Gaya
Bahasa :
Majas metafora : Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya
bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat
wangi!
Majas ironi : "Wahai adikku, bagus benar kalungmu!
Seharusnya kalung itu menjadi milikku”
Majas Paradoks : Meskipun kecantikan
mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, Ia tak terlihat
manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada
siapapun. Ia lebih suka bebergian dengan inang pengasuh daripada dengan
kakak-kakaknya.
HIKAYAT : BUAYA PEROMPAK
Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap
nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk
yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak
manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.
Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang
gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi
sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan
menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa
meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi.
Warga pun berhenti melakukan pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah
mati dimakan buaya.
Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis
tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.
“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua
orangtuanya.
Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya
ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih
mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh
harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun
pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang
menempel di dinding-dinding gua.
“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?”
tanya Aminah dalam hati.
Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah
suara lelaki menggema.
“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”
Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat
samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.
“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti
manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.
“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah
manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama
tiba.,” kata Buaya itu.
“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.
“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku
dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas
harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku
kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.
“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?”
tanya Aminah.
“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di
tepi Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun
yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku
telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua
ini dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.
Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat
kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah
menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar
suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.
“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.
“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang
Bawang,” jawab Aminah.
“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah
“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.
“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah
heran.
“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu,
karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah
lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.
Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam
dan termenung.
“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti
akan mencariku,” jawab Aminah menolak.
Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya
hadiah perhiasan.
“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta
benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan
memangsamu,” ancam Buaya itu.
Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak
membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa
selamat dari terkaman Buaya itu.
“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab
Aminah setuju.
Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari
acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa
melarikan diri dari gua itu.
Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua.
Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang
molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya
dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.
Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas
dan meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah
pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam
hati.
Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya
itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa
di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil
berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda
milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.
Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan
yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak
jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan.
Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan.
Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali
menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan
membututinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya
sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman
Buaya Perompak itu.
“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,”
Aminah berucap syukur.
Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah
beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang
mencari rotan.
“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang
diri?” tanya penduduk desa itu.
“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.
Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya
hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun
mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun
memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya
sebagai ucapan terima kasih.
Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh
penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua
kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di
kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci
di tepi Sungai Tulang Bawang.
Demikian cerita Buaya Perompak dari darah Tulang Bawang, Lampung,
Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada
dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat
tidak mudah putus asa dan keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain.
Pertama, keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan
oleh sikap dan perilaku Aminah yang tidak mudah putus asa menghadapi ancaman
Buaya Perompak. Dengan kecerdikannya, ia pun berhasil mengelabui Buaya Perompak
itu dan berhasil menyelamatkan diri. Dari hal ini dapat dipetik sebuah
pelajaran bahwa sifat tidak mudah putus asa dapat melahirkan pikiran-pikiran
yang jernih.
Kedua, keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain. Sifat ini
ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Somad (perompak) yang senantiasa merampas
harta benda setiap penduduk yang melewati Sungai Tulang Bawang. Akibat
perbuatan jahatnya tersebut, ia pun terkena kutukan menjadi seekor buaya.
Unsur-unsur intrinsiknya:
1. Tema :
Buaya perompak
2. Seting
a. Tempat : Sungai, gua
b. Waktu : Berhari
c.Suasana :
Mengagumkan, tegang.
3.Alur :
Mundur.
4.Penokohan
a.Protagonis : Aminah,
b.Antagonis : Buaya ( Somad)
c.Tritagonis : Orang yang mencari rotan
dihutan
d.Figuran : Warga
5.Amanat :
-Tetaplah berusaha meski belum membuahkan hasil.
-Jangan suka merampas hak milik Orang lain
6.Sudut pandang :
Serba tau
7.Gaya bahasa :
Peribahasa.
Unsur-unsur ekstrinsiknya: Bernilai
sosial, nilai pendidikan, nilai keagamaan.
HIKAYAT
ABU NAWAS: PESAN BAGI HAKIM
Bapaknya Abu Nawas
adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu
Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.
Abu Nawas dipanggil
ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu
sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada
bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tata cara memandikan jenazah hingga
mengkafani, menyalati dan men-do’akannya. Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu
Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.
Namun..,demi
mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu
tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.
Usai upacara
pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan
diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil
berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi
terheran-heran dibuatnya.
Pada hari yang lain
ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam
bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana
dan bersuka cita.
Kini semua orang
semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah
menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.
Pada suatu hari ada
beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.
“Hai Abu Nawas kau
dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” kata wazir utusan Sultan.
“Buat apa sultan memanggilku,
aku tidak ada keperluan dengannya.” jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti
tanpa beban.
“Hai Abu Nawas kau
tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”
“Hai wazir, kau
jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya
bersih dan segar.” kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang
dijadikan kuda-kudaan.
Si wazir hanya
geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. “Abu Nawas kau mau apa tidak
menghadap Sultan?” kata wazir.
“Katakan kepada
rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” kata
Abu Nawas.
“Apa maksudnya Abu
Nawas?” tanya wazir dengan rasa penasaran.
“Sudah pergi sana,
bilang saja begitu kepada rajamu.” sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan
dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.
Si wazir segera
menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang
seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.
Dengan geram Sultan
berkata,”Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak
becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela
ataupun terpaksa.”
Si wazir segera
mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di
hadapan raja.
Namun lagi-lagi di
depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkah-nya ugal-ugalan tak
selayaknya berada di hadapan seorang raja.
“Abu Nawas
bersikaplah sopan!” tegur Baginda. “Ya Baginda, tahukah Anda……?”
‘Apa Abu Nawas…?”
“Baginda…terasi itu
asalnya dari udang !”
“Kurang ajar kau
menghinaku Nawas !”
“Tidak Baginda! Siapa
bilang udang berasal dari terasi?”
Baginda merasa
dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya.
“Hajar dia ! Pukuli
dia sebanyak dua puluh lima kali.”
Wah-wah! Abu Nawas
yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh
kekar.
Usai dipukuli Abu
Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat
oleh penjaga.
“Hai Abu Nawas! Tempo
hari ketika kau hendak masuk kekota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak
kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau
berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana
bagianku itu?”
“Hai penjaga pintu
gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan
kepadaku tadi?”
“lya, tentu itu kan
sudah merupakan perjanjian kita?”
“Balk, aku berikan
semuanya, bukan hanya satu bagian!”
“Wah ternyata kau
baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima
hadiah dari Baginda.”
Tanpa banyak cakap
lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu
dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit
kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.
Setelah penunggu
gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus
melangkah pulang ke rumahnya.
Sementara itu si
penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.
“Ya, Tuanku Syah
Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang telah
memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom
keadilan dari Tuanku Baginda.”
Baginda segera
memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di
hadapan Baginda ia ditanya.”Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu
pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?”
Berkata Abu Nawas,
“Ampun Tuanku, sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu
“Apa maksudmu? Coba
kau jelaskan seb orang itu?” tanya Baginda.
“Tuanku,”kata Abu
Nawas.”Hamba dan p. mengadakan perjanjian bahwa jika’hamba diberi hadiah
tersebut akan dibagi dua. Satu bagian saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadial
maka saya berikan pula hadiah dua puluh limi kali.
“Hai penunggu pintu
gerbang, benarkah kau berjanji seperti itu dengan Abu Nawas?” tanya Baginda.
“Benar Tuanku,”jawab
penunggu pintu gerbang mengira jika Baginda memberikan hadiah pada abunawas.
“Hahahahaha…….!Dasar
tukang peras,
sahut Baginda.”Abu
Nawas tiada bersalah bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad suka memeras
orang! Kalau kau tidak berubah aku akan memecat dan menghukum kamu!”
“Ampun Tuanku,”sahut
penjaga pintu gerbang.
Abu Nawas
berkata,”Tuanku, hamba sue tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, pai Hamba
mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu karena panggilan Tuanku. Padahal besok r
untuk keluarga hamba.”
Sejenak Baginda
melengak, terkejut ate tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak,” Hahahah
Baginda kemudian
memerintahkan bem sekantong uang perak kepada Abu Nawas. A hati gembira.
Tetapi sesampai di rumahnya
Abu Naw bahkan semakin nyentrik seperti orang gila J
Pada suatu hari Raja
Harun Al Rasyid rm menterinya.
“Apa pendapat kalian
mengenai Abu N. sebagai kadi?”3
Wazir atau perdana
meneteri berkata,”Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka
sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi.”
Menteri-menteri yang
lain juga mengutarakan pendapat yang sama. “Tuanku, Abu Nawas telah menjadi
gila karena itu dia tak layak menjadi kadi.”
“Baiklah, kita tunggu
dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak
sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja.”
Setelah lewat satu
bulan Abu Nawas masih dinggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat
orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.
Konon dalam seuatu
pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi
Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia
diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada
Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.
Begitu mendengar
Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan.
“Alhamdulillah….. aku telah terlepas dari balak yang mengerikan.Tapi….sayang
sekali kenapa hams Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja.”
Mengapa Abu Nawas
bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini: Pada suatu hari ketika ayahnya
sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk menghadap.
Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.
Berkata bapaknya,
“Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga
kiriku.”
Abu Nawas segera
menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata
berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.
“Bagamaina anakku?
Sudah kau cium?” “Benar Bapak!”
“Ceritakan dengan
sejujurnya, baunya kedua telingaku ini.” “Aduh Pak, sungguh mengherankan,
telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi… yang sebelah kiri
kok baunya amat busuk?”
“Hai anakku Abu
Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?” “Wahai bapakku, cobalah
ceritakan kepada anakmu ini.’;
Berkata Syeikh
Maulana.Tada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang
seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka
maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jika
kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun Jika
kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak
dipilih sebagai Kadi o!eh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan
Harun AI.Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.”
Nah, itulah sebabnya
Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak
diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya
seperti hakim yang memutus suatu perkara. Waiaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi
namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara.
Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab
pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.
Unsur
Intrinsik :
Tema : keadilan
Alur : Menggunakan alur maju mundur.
Karena penulis menceritakan cerita tidak berurutan dari awal hingga akhir.
Setting/ Latar :
-Setting Tempat :
Negeri Antah Berantah, kerajaan raja Bahgdad, rumah Abunawas.
Setting Suasana :
ramai, menegangkan, dan bahagia.
Sudut Pandang
Pengarang : orang ketiga serba tahu.
Amanat :
-kita harus
banyak-banyak bersyukur.
Jangan selalu melihat
ke atas, sekali-kali lihatlah kebawah, karena masih banyak orang yang hidupnya
lebih menderita dari kita.
– Hadapilah semua
rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah hati.
-Jangan memandang
seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.
-Hendaknya kita dapat
menolong sesama yang mengalami kesukaran.
-Janganlah kita mudah
menyerah dalam menghadapi suatu hal.
-Hidup dan kematian,
bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia hanya dapat
menjalani takdir yang telah ditentukan.
-kita harus selalu
bersikap adil
Unsur
Ekstrinsik :
1. Nilai Moral
Kita harus bersikap
bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.
Jangan kita terlalu
memaksakan kehendak kita kalau sebenarnya tidak mampu.
2. Nilai Budaya
Sebagai seorang raja
kita harus memberikan contoh yang baik kepada rakyat.
3. Nilai Sosial
Kita harus saling tolong-menolong
terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
Hendaknya kita mau
berbagi untuk meringankan beban orang lain.
4. Nilai Religius
Jangan mempercayai
ramalan yang belum tentu kebenarannya.
Percayalah pada Tuhan
bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.
5. Nilai Pendidikan
Kita harus saling tolong-menolong
terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
HIKAYAT ABU NAWAS DAN LELAKI KIKIR
Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya sifat
kikir (pelit).ia mempunyai sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia
tinggal bersama seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa
rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan keluarganya.namun,untuk
memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang untuk mengeluarkan uang.ia putar
otak bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan
banyak.akhirnya,ia mendatangi abunawas,seorang cerdik dikampungnya.pergilah ia
menuju rumah abu nawas.
si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat
sejahtera.”
abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa
gerangan kamu mendatangi kediamanku yang reot ini ?”
si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas
mendengar dengan seksama.setelah si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak
tepekur sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :
“hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih
luas,belilah sepasang ayam,jantan dan betina,lalu buatkan kandang didalam
rumahmu.3 hari lagi kau lapor padaku bagaimana keadaan rumahmu.”
si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas
rumah,tapi ia tak membantah.sepulang dari rumah abunawas,ia membeli sepasang
ayam,lalu membuatkan kandang untuk ayamnya didalam rumah.
3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah
berkerut.
abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah
kediamanmu?”
si lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak
salah?rumahku tambah kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat
keributan dan kotorannya berbau tak sedap.”
abu nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan
sepasang bebek dan buatkan kandang didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”
silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya
rumahnya peternakan?.atau sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun
seperti pertama kali,ia tak berani membantah,karena ingat reputasi abunawas
yang selalu berhasil memecahkan berbagai masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya
sepasang bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam rumahnya.
setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.
abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa
luas atau belum ?”
si lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat
ini adalah saat paling parah selama aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang
sangat mirip pasar unggas,sempit,padat,dan baunya bukan main.”
abunawas : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing
lagi.buatkan ia kandang didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”
si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan
sekarang kambing.apa tidak ada cara lain yang lebih normal?”
abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”
lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide
adalah abunawas,sicerdik pandai yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke
pasar dan membeli seekor kambing,lalu ia membuatkan kandang didalam rumahnya.
3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas
abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu
?”
si lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi
neraka.istriku mengomel sepanjang hari,anak2 menangis, semua hewan2 berkotek
dan mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya abu.tolong aku abu,jangan suruh
aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak sanggup ya abu.”
abu nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu
juallah kambingmu kepasar,besok kau kembali untuk menceritakan keadaan
rumahmu.”
si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin
disuruh beli,sekarang disuruh jual,apa maunya si abunawas.namun,ia tetap
menjual kambingnya kepasar.keesokan harinya ia kembali kerumah abunawas.
abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”
si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari
kambing dan suara embikannya yang berisik sudah tak kudengar lagi.”
abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok
kau kembali kemari”
si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya
kepasar.esok harinya ia kembali kerumah abunawas
abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”
si lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2
itu,rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak terlalu sumpek dan bau
lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis.”
abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali
besok ”
si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan
harinya ia kembali dengan wajah yang berseri2 kerumah abunawas
abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana
kondisi rumahmu saat ini?”
si lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku
sangat lega karena ayam dan kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak
marah2 lagi,anak2ku juga sudah tidak rewel.”
abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat
kan,sekarang rumahmu sudah menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan
apapun atau memperluas tanah banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup
luas,hanya hatimu sempit sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.mulai
sekarang kau harus lebih banyak bersyukur karena masih banyak orang yang
rumahnya lebih sempit darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah
tanggamu,dan banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan
jangan banyak mengeluh.”
silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia
terpana akan kecendikiaan sang tokoh dan mengucap terima kasih pada abunawas…
Unsur Intrinsiknya :
Tema : bersyukur dengan apa yang telah kita miliki
Alur : Menggunakan alur maju, karena penulis menceritakan
peristiwa tersebut dari awal permasalahan sampai akhir permasalahan.
Setting/ Latar :
-Setting Tempat : Negeri Antah Berantah, pasar, rumah lelaki
kikir, rumah Abunawas.
Setting Suasana : ramai, menegangkan, dan bahagia.
Sudut Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.
Amanat :
-kita harus banyak-banyak bersyukur.
Jangan selalu melihat ke atas, sekali-kali lihatlah kebawah,
karena masih banyak orang yang hidupnya lebih menderita dari kita.
– Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan
sabar dan rendah hati.
-Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi
lihatlah ke dalam hatinya.
-Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami
kesukaran.
-Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.
Unsur Ekstrinsiknya :
1. Nilai Moral
Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di
dalam hidup kita.
Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita kalau
sebenarnya tidak mampu.
2. Nilai Budaya
Sebagai seorang ayah sebaiknya memberikan contoh yang baik
kepada anak dan istri.
3. Nilai Sosial
Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada
orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang
lain.
4. Nilai Religius
Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.
Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib
manusia.
5. Nilai Pendidikan
Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada
orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.
HIKAYAT KALILA DAN DAMINA
A.
SINOPSIS “
HIKAYAT KALILA DAN DAMINA”
Ada seekor lembu benama Sjatrabah yang mengikuti tuannya membawa
barang dagangan untuk berniaga, saat sampai di sebuah hutan,
Sjatrabah terperosok kesebuah lubang lumpur. Tuannya mencoba untuk membantunya,
tapi ia gagal. Tuannya pun meninggalkan Sjatrabah dengan seorang hambanya,
hambanya itu juga berusaha mengeluarkannya dari lubang tersebut, tapi ia juga
gagal seperti tuannya tadi. Hamba tadi juga mengikuti tuannya meninggalkan
Sjatrabah. Akhirnya Sjatrabah sendiri yang berusaha mengeluarkan dirinya
sendiri dari lubang lumpur tersebut, dengan berbagai cara
yang dilaluinya akhirnya ia bisa mengeluarkan dirinya sendiri dari lubang
lumpur tersebut.
Sjatrabah bingung, karena ia tidak tahu bagaimana cara
menemukan tuannya yang meninggalkannya tadi. Karena hari sudah mulai
gelap, ia memutuskan untuk sementara menetap dihutan tadi. Ia memilih
untuk lebih masuk kedalam hutan tadi dan memakan rerumputan yang
ada di sana. Suara remasan rumput dimulutnya itu terdengar hingga ke telinga
Raja Singa, Raja Singa pun khawatir mendengar suara tersebut,
karena di hutan itu juga banyak hewan buas. Diantaranya
adalah Kalila dan Damina yakni dua serigala yang bijak, pandai dan
bertugas mencari makan untuk Raja Singa, namun akhir - akhir
ini Kalila menjadi jengkel karena Raja Singa jarang
mengunjungi rakyatnya, Kalila pun menceritakan hal
itu kepada sahabatnya Damina.
Setelah mendengar cerita tersebut Damina menghadap ke Raja Singa dan
menjelaskan perihal masalah tersebut, Damina memberi sebuah solusi. Setelah
beberapa lama, datanglah Damina bersama Sjatrabah, Sjatrabah pun
menceritakan apa saja yang terjadi, ia pun diperbolehkan Raja Singa untuk
tinggal menjadi rakyat. Raja Singa sudah mulai percaya
terhadap Sjatrabah, karena ia mulia, baik dan ikhlas dalam
berkawan. Ternyata kedekatan Sjatrabah dengan Raja Singa tidak segani
oleh Damina. Damina merasa posisi sudah diambil alih oleh Sjatrabah. Damina
sudah mempersiapkan rencana untuk menghancurkan Sjatrabah, ia menyebarkan
fitnah untuk Sjatrabah.
Akhirnya Raja Singa percaya dan menyuruh Sjatrabah untuk
dibunuh, sebenarnya dalam hati, Raja Singa sangat berduka atas kematian
sahabatnya itu. Kejahatan tidak akan selamanya tertutupi, ternyata fitnah
yang dilakukan Damina mulai diketahui oleh Ibu Raja Singa. Lalu, beliau menemui
Raja Singa dan mengatakan kepadanya bahwa kematian
Sjatrabah karena fitnahan dari Damina. Mendengar hal itu Raja Singa
pun memerintahkan para ajudannya untuk menangkap Damina dan memenjarakannya.
Kalila, sahabat Damina sangat rindu kepadanya, sampai terlalu lama menuggunya
ia hingga mati. Akhirnya, Damina dijatuhi hukuman mati. Ia
menerimanya karena ia sudah tidak sanggup lagi sebas sudah kehilangan
sahbatnya Kalila.
B.
UNSUR INTRINSIK “
HIKAYAT KALILA DAN DAMINA”
Tema : Kesyirikan
Latar :
1. Tempat
: Hutan,
Kerajaan,
2.
Waktu
: Jaman dahulu, Malam hari
3. Suasana
: Menegangkan,
Alur : Maju
Tahap
Alur :
1. Perkenalan
: Paragraf 1 dan Paragraf 2 kalimat 1 dan 2
2. Pemunculan
Masalah
: Paragraf 2 kalimat 3 sampai terakhir
3. Klimaks
: Paragraf 3
4. Ketegangan
menurun
: Paragraf 4
5. Penyelesaian
: Paragraf 4 kalimat terakhir
Bahasa : Dominan bahasa Indonesia dan
ada sebagian bahasa klise ( bahasa melayu)
Tokoh dan Perwatakan :
1. Perkembangan
Tokohnya :
a) Statis
: Kalila, Ibu Raja Singa, Tuan Sjatrabah, Hamba Tuan dari
Sjatrabah
b) Dinamis
: Damina, Raja Singa
2. Peran :
a) Protagonis
: Sjatrabah
b) Antagonis
: Damina
c) Tritagonis
: Kalila
3. Tokoh dalam
Cerita :
a) Tokoh
Utama
: Sjatrabah, Damina, Raja Singa
b) Tokoh Bawahan
: Kalila, Ibu Raja Singa, Tuan Sjatrabah, Hamba Tuan dari
Sjatrabah,
4. Perwatakan
:
a) Fisik
:
b) Batin :
Damina
: Licik,
Kalila
: Bijak, pandai ,
Hamba Tuan dari Sjatrabah : Apatis
Ibu Raja
Singa
: Peduli, Tegas,
Raja
Singa
: Tegas
Sjatrabah
: mulia, baik dan ikhlas dalam berkawan
Tuan
Sjatrabah
: Apatis
Sudut Pandang : Orang ke tiga serba Tahu
Amanat : Kajahatan (fitnah) tidak akan selamanya
tertutupi, karena kebenaran pasti akan terbukti.
C.
UNSUR EKSTRINSIK
“ HIKAYAT KALILA DAN DAMINA”
Biografi Pengarang :
Baidaba, seorang filsuf India yang hidup pada abad 3
Masehi. Menulis buku Hikayat Kalilah & Dimmah untuk Dabsyalim, Raja India.
Karyanya mengandung kisah-kisah alegoris atau kiasan dalam bahasa binatang
(fabel) yang dimaksudkan sebagai kritik dan nasihat kepada seorang raja yang
lalim. Melalui fabel-fabelnya , Baidaba bermaksud meluruskan berbagai
penyimpangan yang dilakukan sang Raja dalam sgenap sepak-terjang politik
kekuasaan dan perjalanan hidupnya. Karena kandungan kearifannya sangat berbobot
dan dituturkan dalam bahasa yang mudah dipahami, sehingga karyanya mampu
bertahan hingga sekarang.
Dalam hikayat ini disebut bahwa
pengarangnya bernama Baidapa. Konon nama ini merupakan sebuah bentuk yang sudah
rusak dari nama Sanskerta Widyapati yang bisa diartikan sebagai
"Raja Ilmu Pengetahuan". Sedangkan judul hikayat Kalila dan Daminah
konon merupakan sebuah bentuk rusak dari Karn
Keadaan
Budaya :
Hikayat Kalila dan Daminah adalah sebuah
hikayat dalam bahasa Melayu yang merupakan sebuah terjemahan daribahasa Arab.
Tetapi karya sastra ini bukanlah sebuah karangan asli dalam bahasa Arab pula,
melainkan sebuah terjemahan daribahsa Persia kuna. Karangan dalam bahasa Persia
Kuna ini pada gilirannya merupakan terjemahan daribahsa Samsekerta. Dalam
bahasa Sanskerta karya sastra ini disebut Panca Tatra.
D.
NILAI
- NILAI DALAM “ HIKAYAT KALILA DAN DAMINA”
Nilai
Moral
: Semua bentuk Kejahatan pasti akan musnah jika dilawan dengan kebaikan
Nilai
Religius
: Agama mengajarkan bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, hal itu
terbukti dalam hikayat ini.
Nilai
Pendidikan
: Memberikan sebuah pelajaran berharga bahwa sekecil apapun yang kita
lakukan pasti ada balasannya.
Nilai Sosial Budaya
: Menddidik kita untuk senantiasa berhati mulia, baik dan
ikhlas dalam berkawan
HIKAYAT “IBNU HASAN”
Syahdan,
zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak harta
banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat
tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang paling
ramai saat itu.
Syekh
Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan,
menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu
yang baik, walaupun harus mengeluarkan
biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.
Syekh
Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat
tampan, pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan
namanya.
Ibnu
Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya,
namun demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya
dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek,
karena itulah kedua orang tuanya sangat menyayanginya.
Ayahnya
berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan,
bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak
dapat mendidik anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”
Dipanggilnya
putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil
dinasihati, bahwa Ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku,
sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju
keutamaan.”
Ibnu
Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan
kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak
akan ku tolak, siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”
Singkat
cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua
orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak,
harus berpisah dengan putranya, yang masih sangat kecil, belum cukup usia.
“Kelak,
apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri,
karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala,
angkuh dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang
kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan
senangkaena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka
tidak akan diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan
kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.”
Ibnu
Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan
kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh
jalan yang salah, pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”
Singkat
cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin
dan Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan
pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas
Mairun.
Perasaan
sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu
berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan
selamat berkat do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang
alim ulama, terus berguru padanya.
Pada
suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang
bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang
dari mana?”
Saleh
menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,” Sekolah
itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?”
“sekolah
itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar
tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan
terhadap sesama, harus sesuai dengan aturan.”
Begitu
Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di segera pulang, menghadap kyai dan meminta izinya,
untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang
sebenarnya kamu harapkan.”
Kyai
berkata demikian, tujuan untuk menguji
muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu atau hanya alasan supaya
mendapat pujian.
Ibnu
Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba
besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.
Memang
sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang,
ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.
Namun,
pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah
tiada, sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi,
ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan
bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.
Bukan
bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah
pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat
anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus sama
dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin,
ibaratnya anak seorang patih.”
Maka,
yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.
UNSUR INSTRINSIK
Ø
Tema : Bakti seorang anak terhadap orang tuanya
Ø
Tokoh :
o Ibnu Hasan
o Syekh Hasan
o Ibu Ibnu Hasan
o Mairin
o Mairun
o Saleh
o Kyai guru
Ø Penokohan :
o Ibnu Hasan = Baik,
tidak sombong, kalem, pendiam, penurut
o Syekh Hasan = Baik,
Bijaksan, Penyayang
o Ibu Ibnu Hasan =
Baik, Penyayang
o Mairin dan Mairum =
Setia
o Saleh = Sopan
o Kyai guru = Baik
Ø Plot/Alur : Alur Maju
Ø Latar :
o Latar tempat = Negeri
Bagdad, Mesir, Pesantren
o Latar waktu = Zaman
dahulu kala, Saat ba’da Dzuhur
o Latar suasan =
Mengahrukan, sedih, Prihatin
Ø Sudut pandang : Orang ketiga tunggal
Ø Amanat : Patuhlah kepda kedua
orangtuamu, berbuat baiklah kesesama manusia dan janganlah sekali-kali engkau
menyombongkan diri.
UNSUR INSTRINSIK
Ø Agama : Menganut
agama Islam
Ø Pendidikan : Ibnu
Hasan baru saja ingin menuntut ilmu pada kyai guru
Ø Adat istiadat :
Sopan, mengasihi yg kekurangan, dll
Ø Status ekonomi :
Syekh Hasan sangat kaya raya.
UNSUR
EKSTRINSIK
1) NILAI AGAMA
(“……..dengan selamat
berkat do’a ayah dan ibunda selanjutnya, segera ia menemui seorang alim ulama,
terus berguru padanya.”) Dan (“Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir
miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit,
mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus
mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.”)
Nilai agama yang
terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah berkat doa orang tua kepada
anaknya maka selamatlah anaknya sampai tujuan serta sebagai umat yang beragama
kita selalu berdoa kepada Tuhan Yang maha Esa agar selalu diberikan keselamatan
dan juga kita selalu menyanyangi orang yang tidak mampu.
2) NILAI SOSIAL
“Singkat cerita Ibnu
Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan Mairun.
Mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian,
sementara Mairin mengikuti dari belakang sesekali menggantikan tugas Mairun.”
Nilai sosial yang
terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita sesame manusia harus
saling tolong menolong dan saling melindungi satu sama lain.
3) NILAI BUDAYA
“Dipanggilnya
putranya, anak itu segera mendatanginya diusap-usapnya putranya sambil
dinasihati bahwa ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya
aku kuatir tapi pergilah ke Mesir carilah jalan menuju keutamaan. ”Ibnu Hasan
menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan
kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak
akan ku tolak, siang malam hanya perintah ayah ibu yang hamba nantikan.”
Nilai budaya yang
terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita sebagai seorang anak
akan selalu mematuhi perkataan orang tua kita namun perintah yang positif.
4) NILAI ADAT ISTIADAT/ETIKA
“Kelak, apabila
anaknda sudah sampai ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri karena
jauh dari orang tua harus tahu ilmunya hidup jangan keras kepala, angkuh dan
menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu
menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senang karena
dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan
diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan,
hati-hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.” Ibnu Hasan
menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan kucatat
dalam hati, doakanlah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan
yang salah, pesan ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”
Nilai etika dari
penggalan hikayat tersebut adalah jangan merasa sombong dan saling tolong
menolonglah terhadap sesama karena setiap orang akan saling membutuhkan (
makhluk sosial ).
5) NILAI EKONOMI
Syahdan, zaman dahulu
kala, ada seorang kaya hartawan bernama Syekh Hasan, banyak harta banyak uang
terkenal kesetiap negeri merupakan orang terkaya bertempat tinggal di Negeri
Bagdad yang terkenal kemana-mana sebagai kota yang paling ramai saat itu.
Nilai ekonomi yang
terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa orang tersebut merupakan
orang yang banyak harta dan uang serta terkenal kemana-mana.
6) NILAI PENDIDIKAN
Pada suatu hari,
saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang bernama Saleh,
yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”
Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,”
Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda
belum tahu?” “sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar
tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan
terhadap sesama, harus sesuai dengan aturan.”
Begitu Ibnu Hasan
mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, dia segera pulang,
menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu.
Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.” Kyai berkata
demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu
atau hanya alasan supaya mendapat pujian. Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak
malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba besusah payah tanpa mengenal lelah,
mencari ilmu. Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak
kekurangan uang, ternaknya pun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak
akan kekurangan. Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan
seandainya ayah sudah tiada, sudah meninggal dunia, semua hartanya jatuh
ketangan hamba. Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya
harta itu habis, bukan bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini
bodoh. Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh.
Begitulah pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihi orang tua, paling tidak
harus sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih
miskin, ibaratnya anak seorang patih.” Maka, yakinlah kyai itu akan bauk
muridnya.
Nilai pendidikan yang
terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita menuntut ilmu bukan
untuk mendapat pujian melainkan untuk mendapatkan imu yang bermanfaat untuk
masa depan yang lebih baik.
HIKAYAT “SI MISKIN”
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta
permaisurinya bibuang dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah
sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah
anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di
bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan
diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan sehingga
bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah
si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di
hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan
makan mangga yang ada di taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk
menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin menjadi-jadi
menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar
Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada
tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan
makanan-makanan yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang
sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam.
Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut
dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang
pertama laki-laki bernama Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya
dengan penuh kasih sayang.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak
sebagai tempat tinggal, didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang
tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir
Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya.
Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan
isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari.
Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila
Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga
memasyurkan kerajaan Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera
Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan
putra-putrinya, dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli
nujum itu dikatakan bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan
mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja
Indera Angkasa. Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi
selama-lamanya putra-putrinya itu.
Tidak
lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah
terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma
berlindung di bawah pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan.
Waktu mencari api ke kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli
orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu oleh Raja
Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya
menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan
akhirnya terdampar di pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja
Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan–jalan di
tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan
tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari
dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal
itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang
seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam
Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian
terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk
dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang
kehidupannya berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga.
Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi
sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.
Karena
cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang
puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah
bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang
jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah
jatuh miskin kembali. Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa
Sari dengan segala perlengkapannya seperti dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian
dirajai oleh Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya,
Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu
Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi
raja di Palinggam Cahaya.
Unsur Intrinsik dalam hikayat Si
Miskin
1.
Tema : Kunci kesuksesan adalah kesabaran. Perjalanan
hidup seseorang yang mengalami banyak rintangan dan cobaan.
2.
Alur : Menggunakan alur maju, karena penulis menceritakan
peristiwa tersebut dari awal permasalahan sampai akhir permasalahan.
3. Setting/
Latar :
·
Setting Tempat : Negeri Antah
Berantah, hutan, pasar, Negeri Puspa Sari, Lautan, Tepi Pantai Pulau Raksasa,
Kapal, Negeri Palinggam Cahaya.
·
Setting Suasana : tegang, mencekam
dan Ketakutan, bahagia, menyedihkan
4. Sudut
Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.
5. Amanat
:
·
Seorang
pemimpin yang baik adalah seorang yang adil dan pemurah.
·
Janganlah
mudah terpengaruh dengan kata-kata oran lain.
·
Hadapilah
semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah hati.
·
Jangan
memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.
·
Hendaknya
kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.
·
Janganlah
kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.
·
Hidup
dan kematian, bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia hanya
dapat menjalani takdir yang telah ditentukan.
Unsur Ekstrinsik dalam Hikayat Si
Miskin
1. Nilai
Moral
Kita harus bersikap bijaksana dalam
menghadapi segala hal di dalam hidup kita.
Jangan kita terlalu memaksakan kehendak
kita pada orang lain.
2. Nilai
Budaya
Sebagai seorang anak kita harus menghormati
orangtua.
Hendaknya seorang anak dapat berbakti pada
orang tua.
3. Nilai
Sosial
Kita harus saling tolong-menolong terhadap
sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
Hendaknya kita mau berbagi untuk
meringankan beban orang lain.
4. Nilai
Religius
Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu
kebenarannya.
Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang
menentukan nasib manusia.
5. Nilai
Pendidikan
Kita harus saling tolong-menolong terhadap
sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu
kebenarannya.
HIKAYAT
PATANI
Inilah suatu kisah
yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri Patani
Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana.
Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai
anakanda baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub
Mahajana pun matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan
ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa
kerajaan itu sentiasa ia pergi berburu.
Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta
kerajaannya dihadap oleh segala menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian.
Arkian maka titah baginda: "Aku dengar khabarnya perburuan sebelah tepi
laut itu terlalu banyak konon." Maka sembah segala menteri: "Daulat
Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar pun
demikian juga." Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jikalau demikian
kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari kita hendak pergi berburu ke tepi laut
itu." Maka sembah segala menteri hulubalangnya: "Daulat Tuanku, mana
titah Duli Yang Mahamulia patik junjung." Arkian setelah datanglah pada
keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala menteri
hulubalangnya diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat
berburu itu, maka sekalian rakyat pun berhentilah dan kemah pun didirikan
oranglah. Maka baginda pun turunlah dari atas gajahnya semayam didalam kemah
dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian. Maka baginda pun
menitahkan orang pergi melihat bekas rusa itu. Hatta setelah orang itu datang
menghadap baginda maka sembahnya: "Daulat Tuanku, pada hutan sebelah tepi
laut ini terlalu banyak bekasnya." Maka titah baginda: "Baiklah esok
pagi-pagi kita berburu"
Maka setelah
keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka segala rakyat
pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari
pagi-pagi hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh.
Maka baginda pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing
perburuan baginda sendiri itu. Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta
ada sekira-kira dua jam lamanya maka berbunyilah suara anjing itu menyalak.
Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing itu. Setelah baginda datang
kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah dengan segala orang
yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh anjing
itu?" Maka sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan
ampun dan karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna
tubuhnya gilang gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk
itu pun lenyaplah pada pantai ini."
Setelah baginda
mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan kepada tempat
itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini duduk
merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu,
dari mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya. Maka hamba
raja itu pun menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah
orang tua itu: "Daulat Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada kebawah
Duli Yang Mahamulia, karena asal patik ini duduk di Kota Maligai. Maka pada
masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke Ayutia, maka patik pun
dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu. Setelah
Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka
patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini." Maka titah baginda:
"Apa nama engkau?". Maka sembah orang tua itu: "Nama patik Encik
Tani." Setelah sudah baginda mendengar sembah orang tua itu, maka baginda
pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu baginda pun berbicara dengan segala
menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada tempat pelanduk putih
itu.
Setelah keesokan
harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik ke Kota Maligai
dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu. Setelah
sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing dengan
ketumbukannya, maka baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai. Hatta antara
dua bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir
duduk pada negeri yang diperbuat itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani
Darussalam (negeri yang sejahtera). Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk
putih lenyap itu (dan pangkalannya itu) pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi,
(itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik turun merawa dan menjerat
itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu mengikut nama orang yang
merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut sembah orang
mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.
Hikayat Mashdulhak
Hatta
maka beberapa lamanya Mashdulhak pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah
cerdik dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri
berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka di carinya perahu hendak
menyeberang,tiada dapat perahu itu. Maka dinantinya kalau-kalau ada orang lalu
berperahu. Itupun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhenti di
tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu
baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tia, lagi bungkuk
belakangnya. Maka kata orang itu,”hai tuan hamba,sebeerangkan apalah kiranya
hamba kedua ini,karena hamba tiada dapat berenang,sungai ini tiada hamba tahu
dalam dangkalnya.” Setelah di dengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk serta
dilahatnya perempuan itu baik rupanya,maka orang Bedawi itu sukalah,dan berkata
dalam hatinya,”Untunglah sekali ini.”
Maka ada pula seorang Bedawi
duduk di seberang sana sungai itu merendahkan dirinya,hingga lehernya juga ia
berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki istri itu. Maka kata orang tua itu
,”Tuan hamba seberangkan apalah hamba kedua ini.” Maka kata Bedawi
itu,”Sebagaimana hamba hendak bawa kedua ini,melainkan seorang juga dahulu maka
boleh,karena air ini dalam.”
Maka kata orang tua itu kepada
istrinya,”Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka turunlah perempuan itu
kedalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu,”Berilah
barang-barang bekal tuan hamba dahulu,hamba seberangkan.”
Maka diberi oleh perempuan itu
segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu
diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air
itu,supaya dikata oleh si Bungkuk air itru dalam. Maka sampailah pada
pertengahan sungai itu,maka kata Bedawi itu,”Akan tuan ini terlalu elok
rupanyadengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakukan orang tua bungkuk
itu,agar supaya tuan hamba,hamba ambil,saya jadikan istri hamba.” Maka
berbagai-bagailah kata akan perempuan itu.
Maka perempuan itu
kepadanya,”Baiklah,hamba turutlah maka tuan hamba itu.” Maka apabila sampai ia
keseberang sungai itu,maka keduanyapun mandilah,setelah sudah maka mkanlah ia
keduanya segala perbekalan itu. Maka segala perlakuan itu semua dilihat oleh
orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.
Kelakian maka heranlah orang
tua itu. Setelah sudah ia makan,maka ia pun berjalan keduanya. Setelah dilihat
oleh orang tua itu aka Bedawi dengan istrinya,maka iapun berkata-kata dalam
hatinya,”Daripada hidup melihat hal yang demikian ini,baiklah aku mati.”
Setelah itu maka terjunlah ia
kedalam sungai. Maka heranlah ia,karena dilihatnya sungai sampai itu airnya
tiada dalam,maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikuti Bedawi itu dengan hal
yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Mashdulhak itu. Maka
orang tua itupun datanglah mengadu kepada Mashadulhak. Satelah itu disuruh oleh
Mashdulhak panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan
itu kata Mashudulhak,”Istri siapa perempuan ini.”
Maka Bedawi itu,”Istri hamba
perempuan ini.Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan benar dinikahkan dengan
hamba.”
Maka kata orang tua itu,”Istri
hamba,dari kecil nikah dengan hamba.”
Maka dengan demikian jadi
bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orangpun berhimpun,datang
melihat hal mereka itu bertiga. Maka bertanyalah Mashudulhak kepa perempuan itu,”Berkata
benarlah kau,siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?” maka kata perempuan
celaka itu,”Si panjang inilah suami hamba.”
Maka pikirlah,Mashudulhak,”baik
kepada seorang seorang aku bertanya,supaya berketahuan siapa,salah dan siapa
benar di dalam tiga orang mereka itu.”
Maka diperjauhkannyalah
laki-laki,itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh Mashudulhak. Maka kata
perempuan itu,”Si panjang itulah suami hamba.”
Maka
kata Mashudulhak,”Jika sungguh-sungguh ia suamimu siapa mertuamu laki-laki dan
siapa mertuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?”
Maka tiada terjawab oleh
perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Mashudulhak perjauhkan. Setelah itu
maka dibawa pula si panjang itu. Maka kata si Mashudulhak,”Berkata benarlah
engkau ini. Sungguh perempuan itu istrimu.”
Maka Bedawi itu,”Bahwa
perempuan itu nyatalah istri hamba,lagi pula perempuan itu sendiri sudah
berikrar,mengatakan hamba ini tentulah suaminya.”
“Syahdan maka mertuamu
laki-laki dam mertuamu perempuan,dan dimana kampong tempat ia duduk?”
Maka tadalah terjawab oleh
laki-laki itu. Maka disuruh oleh Mashudulhak jauhkan laki-laki Besawi itu.
Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Mashudulhak,”Hai
orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benarnya”
Maka orang tua itu daripada
mula awalnya. Kemudian maka dikatakannya siapa mertuanya laki-laki dan
perempuan dan dimana tempat duduknya.
Maka Mashudulhak dengan sekalian orang
banyak itupun taulah akan salah Besawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka
hendaklah disakiti oleh Mashudulhsk ada Besawi itu. Maka Bedawi itu pun
mengakulah salah. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh
Mashudulhak akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.
Maka kemudian disuruh tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan
demikai itu.
Maka bertambah-tambah arif
bijaksana Mashudukhak itu.
Unsur Intrinsik dan ekstrinsik HIKAYAT
Judul : Hikayat Mashudulhakk (perkara si
bungkuk dan si panjang)
Unsur
intrinsik :
• Tema : Kesetiaan dan Pengkhianatan
dalam Cinta
• Tokoh :
Masyhudulhakk
: arif, bijaksana, suka menolong, cerdik, baik hati.
Si
Panjang / Bedawi : licik, egois.
Istri
Si Bungkuk : mudah dirayu, tidak setia, suka berbohong, egois.
• Setting :
·
tempat :
·
tepi
sungai : Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya.
·
Sungai
: turunlah perempuanitu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu
·
Suasana
:
·
menegangkan:
Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.
·
Mengecewakan: "Daripada hidup melihat hal yang
demikian ini, baiklah aku mati.Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai
itu.
·
Membingungkan:
Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah.
·
Waktu
: tidak diketahui
• Alur : Alur maju
Eksposisi :
Mashudulhakk
arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun
besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada
suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu
sungai.
Complication :
….serta dilihatnyaperempuan itu baik
rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah
sekali ini!
Rising action :
Maka
sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan
itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan
hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang
bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri
hamba."
Turning point :
Maka
orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka
disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah
dengan perempuan itu. Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku
bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang
mereka itu.
Ending :
Masyhudulhakk
dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan
kebenaran orang tua itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga
perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta
dengan perempuan celaka itu seratus kali.
•
Poin of View :
orang ke-3 :
Maka
bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
• Amanat :
Jangan berbohong karena berbohong itu tidak
baik, merupakan dosa, dan hanya akan menimbulkan kerugian pada diri kita
sendiri
Bantulah dengan ikhlas orang yang membutuhkan
bantuan
Syukurilah jodoh yang telah diberikan Tuhan,
yakini bahwa jodoh itu baik untuk kita
Jangan mengambil keputusan sesaat yang belum
dipikirkan dampaknya
Jadilah orang yang bijaksana dalam mengatasi
suatu masalah
Unsur ekstrinsik :
• Nilai religiusitas : kita harus selalu
bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah. Jangan pernah merasa iri
dengan apa yang tidak kita miliki karena apa yang te;ah diberikan Allah kepada
kita adalah sesuatu yang memang terbaik untuk kita. Janagn seperti yang ada
pada hikayat mashudulhakk.
•
Nilai moral :
Janganlah sekali-kali
kita memutar balikkan fakta, mengatakan bahwa yang salah itu benar
dansebaliknya, karena bagaimanapun juga kebenaran akan mengalahkan ketidak
benaran.
•
Nilai social budaya :
Sebuah
kesalahan pastilah akan mendapat sebuah balasan, pada hikayat ini diterangkan
bahwa seorang yang melakukan keslahan seperti berbohong maka akan did era
sebanyak seratus kali. (Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta
dengan perempuan celaka itu seratus kali.)
•
Kepengarangan :
Hikayat
mashudulhakk ini dari salah satu naskah lama (Collectie v.d. Wall) dengan
diubah di sana-sini setelah dibandingkan dengan buku yang diterbitkan oleh A.F.
v.d. Wall (menurut naskah yang lain dalam kumpulan yang tersebut).Dalam
Volksalmanak Melayu 1931 (Balai Pustaka) isi naskah yang dipakai v.d. Wall itu
diringkaskan dan sambungannya dimuat pula, dengan alamat
"Masyudhak".. Dinantinya.