Friday, 4 November 2016

19 HIKAYAT BESERTA UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK


HIKAYAT SRI RAMA

 

Pada suatu hari, Sri Rama dan Laksamana pergi mencari Sita Dewi. Mereka berjalan menelusuri hutan rimba belantara namun tak juga mendapat kabar keberadaan Sita Dewi.

Saat Sri Rama dan Laksamana berjalan di dalam hutan, mereka bertemu dengan seekor burung jantan dan empat ekor burung betina. Lalu Sri Rama bertanya pada burung jantan tentang keberadaan Sita Dewi yang diculik orang. Burung jantan mengatakan bahwa Sri Rama tak bisa menjaga istrinya dengan baik, tak seperti dia yang memiliki empat istri namun bisa menjaganya. Tersinggunglah Sri Rama mendengar perkataan burung itu. Kemudian, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya agar memgutuk burung itu menjadi buta hingga tak dapat melihat istri-istrinya lagi. Seketika burung itu buta atas takdir Dewata Mulia Raya.

Malam tlah berganti siang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seekor bangau yang sedang minum di tepi danau. Bertanyalah Sri Rama pada bangau itu. Bangau mengatakan bahwa ia melihat bayang-bayang seorang wanita dibawa oleh Maharaja Rawana. Sri Rama merasa senang karena mendapat petunjuk dari cerita bangau itu. Sebagai balas budi, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya untuk membuat leher bangau menjadi lebih panjang sesuai dengan keinginan bangau. Namun, Sri Rama khawatir jika leher bangau terlalu panjang maka dapat dijerat orang.

Setelah Sri Rama memohon doa, ia kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian datanglah seorang anak yang hendak mengail. Tetapi, anak itu melihat bangau yang sedang minum kemudian menjerat lehernya untuk dijual ke pasar. Sri Rama dan Laksamana bertemu dengan anak itu dan membebaskan bangau dengan memberi anak itu sebuah cincin.

Ketika dalam perjalanan, Sri Rama merasa haus dan menyuruh Laksamana untuk mencarikannya air. Sri Rama menyuruh Laksamana untuk mengikuti jatunya anak panah agar dapat menemukan sumber air. Setelah berhasil mendapatkan air itu, Laksamana membawanya pada Sri Rama. Saat Sri Rama meminum air itu, ternyata air itu busuk. Sri Rama meminta Laksamana untuk mengantarnya ke tempat sumber air dimana Laksamana memperolehnya. Sesampai di tempat itu, dilihatnya air itu berlinang-linang. Sri Rama mengatakan bahwa dulu pernah ada binatang besar yang mati di hulu sungai itu. Kemudian, Sri Rama dan Laksamana memutuskan untuk mengikuti jalan ke hulu sungai itu.

Mereka bertemu dengan seekor burung besar bernama Jentayu yang tertambat sayapnya dan yang sebelah rebah. Sri Rama bertanya padanya mengapa sampai Jentayu seperti itu. Jentayu menceritakan semuanya pada Sri Rama tentang pertarungannya melawan Maharaja Rawana. Setelah Jentayu selesai bercerita, ia lalu memberikan cincin yang dilontarkan Sita Dewi saat Jentayu gugur ke bumi saat berperang dengan Maharaja Rawana. Kemudian, cincin itu diambil oleh Sri Rama. Bahagialah Sri Rama melihat cincin itu memang benar cincin istrinya, Sita Dewi.

Jentayu berpesan pada Sri Rama jika akan pergi menyeberang ke negeri Langka Puri, Sri Rama tidak boleh singgah ke tepi laut karena di sana terdapat gunung bernama Gendara Wanam. Di dalam bukit tersebut ada saudara Jentayu yang bernama Dasampani sedang bertapa. Jentayu tak ingin saudaranya itu mengetahui bahwa dirinya akan segera mati. Setelah Jentayu selesai berpesan, ia pun mati.

Sri Rama menyuruh Laksamana  mencari tempat yang tidak terdapat manusia dengan memberinya sebuah tongkat. Tetapi, Laksamana tidak berhasil menemukan tempat itu. Lalu ia kembali pada Sri Rama. Laksamana mengatakan pada Sri Rama bahwa ia tidak dapat menemukan tempat sesuai perintah Sri Rama. Kemudian, Sri Rama menyuruh Laksamana untuk menghimpun semua kayu api dan meletakkannya di tanagn Sri Rama. Lalu diletakkannya bangkai Jentayu di atas kayu api itu dan di bakar oleh Laksamana. Beberapa lama kemudian, api itu padam. Laksamana heran melihat kesaktian Sri Rama yang tangannya tidak terluka bakar sedikitpun. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu.

 

Unsur-unsur intrinsik Hikayat Sri Rama:

Tema: Kesetiaan dan pengorbanan

  • bukti: Para patik Sri Rama berani berkorban nyawa demi membantu Sri Rama yang sedang kesulitan mencari Sita Dewi. Mereka bakti akan perintah Sri Rama dengan menunujukkan kesetiaan mereka pada Sri Rama.

Alur: Maju

  • bukti: Sri Rama mencari Sita Dewi yang dibawa lari oleh Maharaja Rawana. Dia berhasil menemukan petunjuk tentang keberadaan Sita Dewi saat bertemu dengan Jentayu. Namun, Jentayu mati setelah menceritakan tentang pertarungannya melawan Maharaja rawana. Mayat Jentayu dibakar di atas tangan Sri Rama.
  1. Penokohan: diceritakan secara dramatik (tidak langsung)
  2. Tokoh:
    1. Tokoh utama: Sri Rama
    2. Tokoh tambahan: Laksamana, Sita Dewi, Maharaja Rawana, Jentayu, Dasampani, burung jantan, dan bangau.
  3. Setting/latar cerita
    1. Latar waktu: siang hari

bukti: pada paragraf enam kalimat pertama pada hikayat

  1. Latar tempat: di hutan rimba belantara

bukti: pada paragraf pertama kalimat kedua

  1. Latar suasana: bahagia, mengaharukan

bukti: Sri Rama terharu melihat kesetiaan Jentayu atas pengabdiannya menolong Sita Dewi.

  1. Sudut pandang: menggunakan orang ketiga sebagai pelaku utama
  2. Amanat: hargailah pengorbanan seseorang yang telah rela mati demi menbantu kita.

PENGEMBARA YANG LAPAR

 

Tersebutlah kisah tiga orang sahabat, Kendi, Buyung dan Awang yang sedang mengembara. Mereka membawa bekalan makanan seperti beras, daging, susu dan buah-buahan. Apabila penat berjalan mereka berhenti dan memasak makanan. Jika bertemu kampung, mereka akan singgah membeli makanan untuk dibuat bekal dalam perjalanan.

Pada suatu hari, mereka tiba di kawasan hutan tebal. Di kawasan itu mereka tidak bertemu dusun atau kampung. Mereka berhenti dan berehat di bawah sebatang pokok ara yang rendang. Bekalan makanan pula telah habis. Ketiga-tiga sahabat ini berasa sangat lapar,

“Hai, kalau ada nasi sekawah, aku akan habiskan seorang,” tiba-tiba Kendi mengeluh. Dia mengurut-ngurut perutnya yang lapar. Badannya disandarkan ke perdu pokok ara.

“Kalau lapar begini, ayam panggang sepuluh ekor pun sanggup aku habiskan,” kata Buyung pula.

“Janganlah kamu berdua tamak sangat dan bercakap besar pula. Aku pun lapar juga. Bagi aku, kalau ada nasi sepinggan sudah cukup,” Awang bersuara.

Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata Awang.

“Dengan nasi sepinggan, mana boleh kenyang? Perut kita tersangatlah lapar!” ejek Kendi. Buyung mengangguk tanda bersetuju dengan pendapat Kendi.

Perbualan mereka didengar oleh pokok ara. Pokok itu bersimpati apabila mendengar keluhan ketiga-tiga pengembara tersebut lalu menggugurkan tiga helai daun.

Bubb! Kendi, Buyung dan Awang terdengar bunyi seperti benda terjatuh. Mereka segera mencari benda tersebut dicelah-celah semak. Masing-masing menuju ke arah yang berlainan.

“Eh,ada nasi sekawah!” Kendi menjerit kehairanan. Dia menghadap sekawah nasi yang masih berwap. Tanpa berfikir panjang lalu dia menyuap nasi itu dengan lahapnya.

“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya!” tiba-tiba Buyung pula melaung dari arah timur. Serta-merta meleleh air liurnya. Seleranya terbuka. Dengan pantas dia mengambil ayam yang paling besar lalu makan dengan gelojoh.

Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat makanan, Awang semakin pantas meredah semak. Ketika Awang menyelak daun kelembak, dia ternampak sepinggan nasi berlauk yang terhidang. Awang tersenyum dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki. Dia makan dengan tenang.

Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat semula di bawah pokok ara sambil memerhatikan Kendi dan Buyung yang sedang meratah makanannya.

 

“Urgh!” Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang. Nasi di dalam kawah masih banyak. Dia tidak mampu menghabiskan nasi itu. “Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba nasi di dalam kawah itu bertanya kepada Kendi.

 

“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi.

“Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan kami sekawah?” Tanya nasi itu lagi.

“Tapi perut aku sudah kenyang,” jawab Kendi.

Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah itu menyerkup kepala Kendi dan nasi-nasi itu menggigit tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.

Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan ekor ayam lagi terbiar di tempat pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya berasa loya. Melihat baki ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah. Buyung segera mencampakkan ayam-ayam itu ke dalam semak.

“Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba tanya ayam-ayam panggang itu.

“Aku sudah kenyang,” kata Buyung. “Makan sekor pun perut aku sudah muak,” katanya lagi.

Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari celah-celah semak di kawasan itu. Mereka meluru ke arah Buyung.

Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat sambil meminta tolong.

Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat rakan-rakannya. Kendi terpekik dan terlolong. Buyung pula melompat-lompat dan berguling-guling di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat apa-apa. Dia seperti terpukau melihat kejadian itu.

Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang seorang diri. Dia meneruskan semula perjalanannya.

Sebelum berangkat, Awang mengambil pinggan nasi yang telah bersih. Sebutir nasi pun tidak berbaki di dalam pinggan itu.

 

“Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya jangan sombong dan tamak. Makan biarlah berpada-pada dan tidak membazir,” kata Awang lalu beredar meninggalkan tempat itu.

 

***

 

Terjemahan (Penceritaan Ulang)   :

 

Diceritakan kisah tiga orang sahabat yaitu Kendi, Buyung, dan Awang yang sedang mengembara. Mereka membawa bekalan makanan seperti beras, daging, susu, dan buah-buahan. Biasanya, apabila mereka kelelahan, mereka berhenti untuk sekedar beristirahat atau hanya menggenyangkan perut. Jika dalam perjalanan mereka bertemu sebuah desa, biasanya mereka akan singgah membeli makanan untuk bekal perjalanan.

 

Pada suatu hari, mereka tiba dikawasan hutan belantara. Di kawasan tersebut, mereka tidak menemukan desa atau kampung dalam perjalanan. Mereka berhenti dan beristirahat di bawah sebatang pohon tua yang yang sangat besar dan sangat rindang. Perbekalan makanan mereka sudah habis tak menyisa. Dan ketiga sahabat itu mulai kelaparan.

 

“Hei, jika ada nasi yang sebanyak kawah pun, aku akan menghabiskannya seorang diri,” tiba-tiba Kendi mengeluh. Dia memegangi perutnya yang sedari tadi belum diisinya. Dan badannya ia sandarkan pada pohon tua yang sangat besar itu.

 

“Jika aku kelaparan seperti ini, ayam panggang sepuluh ekor pun akan aku habiskan,” kata Buyung pula.

 

“Kalian tidak boleh berlaku tamak dan membual seperti itu. Aku pun juga kelaparan. Bagiku, nasi sepingan pun sudah cukup untuk mengatasi kelaparanku ini, “ Kata Awang.

 

Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata yang diucapkan Awang barusan.

 

“Hanya dengan nasi sepinggan saja, bagaimana bisa perutmu itu bisa kenyang? Padahal kau juga merasakan kelaparan yang sama seperti yang kami derita!”

 

Dari kejauhan ternyata perbualan mereka tadi didengar oleh pohon tua besar itu. Setelah mendengar keluhan ketiga pengembara tersebut, pohon yang merasa kasihan terhadap mereka itu lalu menggugurkan tiga helai daun miliknya.

 

Bubb! Terdengar bunyi seperti benda yang terjatuh ditelinga Kendi, Awang, dan Buyung. Mereka langsung mencari-cari asal suara tersebut di dicelah-celah semak. Mereka mencari-cari suara tersebut dari arah yang berlawan-lawanan.

 

“Wah, ada nasi sekawah!” kata Kendi heran dan menjerit karena ia kaget melihatnya. Dia menghampiri nasi sekawah yang masih beruwap itu. Tanpa berfikir lebih lama, ia memakan nasi tersebut dengan lahapnya.

 

“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, enaknya!” teriak Buyung dari arah timur. Tiba-tiba air liurnya menetes. Selera makannya muncul seketika. Dengan pasti ia mngambil ayam yang paling besar lalu memakannya dengan lahap.

 

Melihat Kendi dan Buyung yang telah mendapatkan makanan, Awang berjalan semakin dalam ke arah semak-semak tersebut. Ketika Awang melewati daun kelembak, tampak olehnya sepinggan nasi berlauk terhidang di hadapannya. Awang tersenyum, dan mengucap syukur karena telah mendapat rezeki. Ia memakan nasi sepingan itu dengan tenang.

 

Selepas makan, Awang merasa kenyang. Ia beristirahat ditempat semula, di bawah pohon tua besar sambil memperhatikan Kendi dan Buyung yang sedang makan dengan lahapnya.

 

“Urgh!” Kendi bersendawa. Perutnya sangatlah kenyang. Nasi di dalam kawah itu masih tersisa banyak. Ia tidak mampu lagi menghabiskan semua nasi tersebut. “kenapa kamu tidak menghabiskan kami?” tiba-tiba nasi di dalam kawah itu bertanya pada Kendi.

 

“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi

 

“Bukankah kamu berjanji akan menghabiskan kami sekawah?” tanya nasi itu lagi.

 

“Tapi perutku sudah kenyang,” jawab Kendi.

 

Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah itu menyekap kepala Kendi dan nasi-nasi itu menggerogoti tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.

 

Buyung juga kekenyangan. Ia hanya dapat menghabiskan seekor ayam saja. Sembilan ekor ayam lagi tersisa di tempat pemanggang. Kerena terlalu banyak makan, perutnya berasa mual. Melihat baki ayam-ayam panggang itu saja, ia meresa muak dan hendak muntah. Buyung segera pergi meninggalkan ayam-ayam itu ke dalam semak.

 

“Kenapa kamu tidak menghabiskan kami?” tiba tiba ayam panggang itu berbicara.

 

“Aku sundah nenyang.” Kata Buyung. “makan seekorpun aku sudah muak,” katanya lagi

 

Tiba-tiba muncul Sembilan ekor ayam jantan dari celah-celah semak di tempat itu. Mereka berlari ke arah Buyung.

 

Ayam-ayam itu mematuk dan mengoyak tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat sambil meminta tolong.

 

Awang bagaikan bermimpi melihat teman-temannya. Kendi terpekik dan terlolong. Buyung melompat-lompat dan berguling-guling di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia seperti terpukau melihat kejadian itu.

 

Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang seorang diri. Ia meneruskan semua perjalanannya.

 

Sebelum berangkat, Awang mengambil sepinggan nasi yang telah habis. Sebutir pun tidak menyisa di dalam pinggan itu.

 

“Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya tidak berlaku sombong dan tamak. Makan itu secukupnya jangan berlebihan agar tidak mubazir,” kata Awang lalu ia pergi meninggalkan tempat tersebut.

 

***

 

 

Sinopsis         :

 

Hiduplah 3 orang sahabat yang selalu berkelana. Mereka adalah Kendi, Buyung, dan Awang. Suatu ketika mereka beristirahat di bawah pohon besar untuk melepas peluh dan penat perjalanan. Keadaan mereka sangat payah, kelapar dan kehausan. Buyng dan Kendi yang tidak menerima keadaan tersebut berkeluh kesah, dengan tamaknya mereka berhayal tentang makanan dan berjaji dengan sombongnya akan menghabiskan seluruh makanan tersebut. Awang melerai dan menasihati mereka untuk tidak sombong dan tamak namun mereka menghiraukan nasihat Awang dan malah memaki Awang.

 

Ternyata sedari tadi pohon yang mereka singgahi mendengarnya. Dengan belas kasihan pohon tua tersebut mengabulkan khayalan mereka. Buyung diberi 10 ayam yang sangat besar, Kendi diberi sekawah nasi, sedangkan Awang diberi sepingan nasi. Mereka memakannya dengan lahap, namun Awang memakannya dengan tenang. Awang menghabiskan seluruh makanannya tanpa sisa, namun Kendi dan Buyung tidak sanggup untuk menghabiskan seluruh makananya. Buyung dan Kendi yang tidak menghabiskan makanananya dikeroyok oleh makanan yang tidak mereka habiskan hingga mereka mati. Buyung dan Kendi mendapat buah pahit akibat perbuatannya mereka yang tamak, somong, dan memubazir makanan. Mengetahui kedaan teman-temannya yang sudah tewas, akhirnya Awang melanjutkan perjalanannya.

 

Unsur Intrinsik

 

Tema             : Balasan atas Perilaku Buruk

 

Tokoh dan Penokohan   :

 

-  Buyung (Antagonis) : Berprilaku sombong, berkhayal tinggi, tamak, ingkar janji,

 tidak mensyukuri takdir dan pemberian dari tuhan, suka

 mengeluh

-  Kendi (Antagonis)  : Berprilaku sombong, berkhayal tinggi, tamak, ingkar janji,

 tidak mensyukuri takdir dan pemberian dari tuhan, suka

 mengeluh.

-  Awang (Protagonis) : Berprilaku baik, tidak sombong, menepati janji, mensyukuri

 takdir dan pemberian dari tuhan, bersifat baik.

-  Pohon tua (Tirtagonis) : Suka berbelas kasih pada semua makhluk, bersifat baik.

 

Latar    (Setting)        :

 

-  Tempat             : Di hutan.

-  Waktu         : -

-  Suasana            : Kelaparan

 

Alur (Plot)          : Maju.

 

-  Perkenalan         : Paragraf  1

-  Penanjakan         : Paragraf  2 - 7

-  Klimaks            : Paragraf  8 - 13

-  Puncak klimaks     : Paragraf  14 - 23

-  Anti klimaks       : Paragraf  24 - 27

 

Sudut Pandang (POV)   : Orang ketiga diluar cerita/orang ketiga serba tau.

 

Amanat           :

  

    Janganlah membuat janji yang tidak dapat kau tepati apalagi dengan sombongnya kau lontarkan janji tersebut seolah-olah kau dapat menepatinya namun kenyataannya kau tidak dapat menepatinya.

 

Pesan Moral     :

 

    Setiap kata-kata yang terucap harus dapat dikontrol, kita juga tidak di benarkan untuk berkata sombong apalagi berjanji denagn janji yang tidak mungkin dapat kau tepati. Janganlah juga kau menjadi orang yang tamak, karena suatu saat nanti pasti akan ada balasan bagi orang-orang yang memiliki sifat yang buruk.

 

Unsur Ekstrinsik

 

Nilai Budaya     : Terlihat bahwa dari jaman dulu kita diharuskan dan diajarkan

 untuk memiliki sifat dan berprilaku baik.

Nilai Sosial          : Terlihat pada sikap Awang yang sedang menasehati teman-

 temannya agar tidak berprilaku tamak dan sombong . Berikut

 kutipannya : “Janganlah kamu berdua tamak sangat dan

 bercakap besar pula. Aku pun lapar juga. Bagi aku, kalau ada

 nasi sepinggan sudah cukup,” bagian terjemahan : “Kalian tidak

 boleh berlaku tamak dan membual seperti itu. Aku pun juga

 kelaparan. Bagiku, nasi sepingan pun sudah cukup untuk

 mengatasi kelaparanku ini, “

 

 

 

HIKAYAT PANJI SEMIRANG

 

Alkisah pada zaman dahulu hiduplah seorang raja di Tanah Jawa yang merupakan empat bersaudara. Yang tua menjadi raja di Kuripan, yang muda menjadi raja di Daha, yang tengah menjadi raja di Gegelang, dan yang bungsu menjadi rajadi Singasari. Empat orang bersaudara itu sangat menyayangi satu sama lain. Negeri tempat mereka tinggal sangat ramai dan termasyur. Banyak pedagang asing yang masuk untuk berniaga di dalam negeri itu.

Bermula dari seseorang yang bernama Nata Kuripan dengan selirnya yang bernama Paduka Mahadewi. Mereka memiliki anak laki-laki yang sangat tampan rupanya. Dari wajahnya sudah terlihat jejak-jejak keagungan dari ayahnya. Maka, diberinyalah inang pengasuh serta tanah di Karang Banjar Ketapang. Orang-orang menyebut anak tersebut dengan sebutan Raden Banjar Ketapang.

Permaisuri Kuripan yang mengetahui itu, juga ingin mempunyai anak laki-laki yang baik parasnya. Ia pun mendiskusikannya dengan suaminya. Setelah beberapa lama, mereka memutuskan untuk menyembah segala dewa-dewa selama 40 hari 40 malam agar keinginannya dikabulkan.

Unsur-Unsur Intrinsik

Tema Silsilah Panji Semirang

Latar Suasana

Bahagia ( Terlalu amat berkasih-kasihan empat bersaudara,…)

Latar Waktu

Zaman dahulu ( Sebermula pada zaman dahulu kala ada raja di Tanah Jawa empat bersaudara…)

Latar Tempat

-Tanah Jawa ( Sebermula pada zaman dahulu kala ada raja di Tanah Jawa

empat bersaudra,……)

-Kuripan ( Yang tua menjadi ratu di Kuripan)

-Daha ( yang tengah menjadi ratu di Daha)

-Gegelang ( yang bungsu menjadi ratu di Gegelang)

-Karang Banjar Ketapang ( …, maka dipungutkan inang pengasuh dengan

sepertinya dan diberi pekarangan oleh Baginda di Karang Banjar Ketapang.)

 

Watak Tokoh

Raja: periang ( …..pada segenap tahun utus-mengutus, empat buah negeri itu terlalu amat baik perintahnya dan periksanya akan segala rakyatnya,…..Dan termasyurlah pada segala negeri di Tanah Jawa akan raja empat buah negeri itu, terlalu baik perintahnya,…..)

Nata Kuripan: agung ( ….dan sikapnya dan jejak keagung-agungan), mau menerima pendapat ( Setelah sang nata mendengar kata Permaisuri demikian maka dipikirkan sang Nata, benarlah seperti kata Permaisuri.), tekun (Maka sang Nata dan Permaisuri pun memujalah dua laki istri kepada segala macam Dewa-Dewa siang dan malam empat puluh hari empat puluh malam.)

Permaisuri: tekun (Maka sang Nata dan Permaisuri pun memujalah dua laki istri kepada segala macam Dewa-Dewa siang dan malam empat puluh hari empat puluh malam.), berkeinginan kuat (ingin rasanya ia hendak berputera laki-laki yang baikparasnya.)

Sudut Pandang

Orang ketiga tunggal ( Karena tidak melibatkan sang pencerita di dalamnya)

Gaya bahasa

-Menggunakan majas repetisi (terdapat dalam kata “maka”)

-Menggunakan majas hiperbola (…..dan mendam kula dan menghabiskan segala rerawitan isi laut dan darat.)

Nilai-Nilai (Unsur Ekstrinsik)

•Religi ( terdapat dalam pemujaan dewa)

•Kesabaran dan ketekunan (ketika sang Nata dan Permaisuri menyembah

dewa selama 40 hari 40 malam)

•Kerukunan ( terdapat dalam empat bersaudara yang berkasih-kasihan)

•Pengharapan ( terdapat dalam keinginan Nata dan Permaisuri dalam

mendapatkan anak).

 

HIKAYAT MALIM DEMAN”

 

Malim deman adalah putra raja dari bandan muar yang sangat bijaksana, lagi sangat elok rupanya. Setelah besar, malim deman bermimpi seorang wali Allah menyuruhnya pergi kerumah nenek kebayan untuk mendapatkan puteri bungsu dari kayangan sebagai istrinya. Dengan pengiring yang banyak, pergilah malim Deman ke rumah nenek kebayan. Dengan bantuan nenek kebayan juga, ia berhasil mencuri baju layang putri bungsu, sehingga puteri Bungsu tidak dapat kembali ke kayangan. Nenek kebayan lalu mengawinkan mereka.

Maka berapa lama, mereka pun kembali ke Bandar Muar. Jamuan makanan besar-besaran lalu di adakan. Malim Deman juga ditabalkan menjadi raja. Tidak lama kemudian Malin Deman gering, lalu mangkat. Sejak kematian ayahhanda, Malim Deman lali memerintah negeri. Setiap hari ia asyik menyambung ayam saja. Dalam keadaan yang demikian, Puteri Bungsu pun melahirkan seorang anak yang diberi nama Malim Dewana. Akhirnya Malim Dewana besarlah, tetapi Malim Deman tetap tidak mau kembali ke istana melihat puteranya. Putri Bungsu sangat masyghul hatinya. Kebetulan pula ia menemukan kembali baju layangnya. Maka ia pun terbang kembali kekayangan dengan anaknya Malim Dewana.

Sepeninggal Puteri Bungsu,  barulah Malim Deman menyesal. Tujuh hari tujuh malam  ia tidak beradu, tidak santap, leka dengan menangis saja. Akhirnya ia berazam pergi mendapatkan istri dan anaknya kembali. Dengan susah payah, sampailah ia ke rumah nenek kebayan dan bertanya dimana diperoleh burung borak yang dapat membawanya kekayangan. Dengan bantuan nenek kebayan, tahulah ia bahwa Puteri Terus Mata ada menyimpan burung borak. Raja jin bersedia meminjamkan burung borak kepada Malim Deman dengan syarat bahwa Malim Deman harus kawin dengan anaknya yaitu Puteri Terus Mata. Malim Deman menyanggupi hal ini.

Sesampainya di kayangan didapatinya Puteri Bungsu akan dikawinkan dengan Mambang Molek. Malim Deman mengalahkan Mambang Molek dalam menyambung ayam. Maka timbullah pertikaman antara keduanya. Mambang Molek terbunuh. Sekali lagi Malim Deman sekeluarga pun turun kembali ke dunia semula. Perkawinan dengan Puteri Terus Mata lalu diadakan.

Hatta Malim Deman pun menjadi seorang raja yang sangat bijaksana lagi gagah berani. Dan baginda katiga laki istri juga sangat sayang kepada Puteranya

B). UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK HIKAYAT

Unsur Intrinsik

1. Tema

    Tema yang diambil dalam  hikayat “Malim Deman” adalah tentangKehidupan seorang raja.

2. Penokohan

    Malim Deman : 
      Bijaksana.

    Bukti :
      “Malim Deman adalah putera raja dari Bandar Muar yang  sangat bijaksana, lagi sangat elok rupanya”

    Nenek Kebayan :
      Penolong.

    Bukti :
      Dengan bantuan nenek kebayan juga, ia berasil mencuri selendang putri bungsu.

    Putri Bungsu : 
      Mudah tersinggung atau mudah marah.

    Bukti :  
      “Puteri Bungsu sangat masyghul hatinya”

    Raja Jin : 
       Licik.

    Bukti : 
      “Raja jin bersedia meminjamkan burung borak kepada   Malin Deman dengan syarat . . .”

    Malim Dewana :
      Penurut.

   Bukti :
      “Maka ia pun terbang kembali kekayangan dengan anaknya Malim Dewana”.

 

3. Latar/Setting

 Latar Tempat   
     Bandar Muar

     “selang berapa lama, mereka pun kembali ke Bandar Muar”

                  Rumah  Nenek Kebayan

     “akhirnya, sampailah ia kerumah nenek Kebayan”

             Kayangan

     “sesampainya di kayangan didapatinya Puteri Bungsu . . .”

 

Latar Suasana :

     Suasana Menegangkan :

     “Malim Deman mengalahkan mambang molek denganmenyambung ayam, maka timbullah  pertikaman 
     antara keduanya”

     Suasana Senang:

     “Sekali lagi Malim Deman sekeluarga pun turun kembali ke dunia semula”

4.  Alur

    Maju

- Ekposisi (Tahap perkenalan):

   “Malim deman adalah putera raja dari Bandar Muar yang sangat bijaksana, lagi sangat elok rupanya”

- Penampilan Permasalahan:

   “setelah besar, Malim Deman bermimpi seorang wali Allah menyuruhnya pergi kerumah nenek kebayan 
   untuk mendapatkan puteri bungsu dari kayangan sebagai istrinya”

- Komplikasi (Tahap Permasalah) :

   “puteri bungsu sangat masyghul hatinya. Kebetulan pula ia menemukan kembali baju kayangan. Maka ia 
   pun terbang kembali kekayangan dengan anaknya Malin Dewana”

- Tahap Klimaks :

   “sesampainya di kayangan didapatinya Puteri Bungsu akan dikawinkan dengan Mambang Molek. Malim 
   Deman mengalahkan Mambang dalam menyambung ayam. Maka timbullah pertikaman antara keduanya”

- Tahap Ketegangan Menurun:

   “sekali lagi Malim Deman sekeluarga pun turun ke dunia semula”.

5. Sudut Pandang

    “Akhirnya, sampailah ia kerumah nenek kebayan “

    Dari data di atas digambarkan bahwa penulis menggunakan Sudut pandang orang ketiga serba tahu.

6. Gaya Bahasa

     Penggunaan bahasanya sulit di mengerti.

     Menggunakan bahasa melayu kuno.

     Menggunakan kata penghubung maka dalam awal kalimat, contoh:

     “Maka berapa lama, mereka pun kembali ke Bandar Muar”.

7.  Amanat

     Keluarga itu sangat penting dalam  kehidupan  kita, jadi jangan kita sia-siakan keluarga kita tersebut.

     Saling tolong-menolonglah  terhadap sesama, tetapi jangan tolong-menolong dalam berbuat kejahatan.

     Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.

 

 Unsur Ekstrinsik 
Nilai Pendidikan

- Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.

Nilai Moral

- Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita pada orang lain. Kita harus bersikap bijaksana dalam 
   menghadapi segala hal di dalam hidup kita.

Nilai Budaya

- Kita harus saling menghormati terhadap sesama.

 

 

Hikayat Seorang Kakek dan Seekor Ular (Balas Budi)

Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.

Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.

“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong. Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini.”

“Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka, kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.”

Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk ular itu masuk.

Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi.

Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.”

Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati.”

“Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu mengancam.

“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.

Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.”

Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap, “Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan menyelamatkanku.”

Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.”

Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:

“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.”

Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, “Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?”

Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu.”

Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.”

Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:

“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang jahat.”

Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.

Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.

Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.

Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.

Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid, Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.

Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.

 

Unsur intrinsik

1.     Tema                               : Balas Budi

2.      Perwatakan tokoh      :

a)      Si Kakek       : Baik hati, pandai, taat, terlalu mudah percaya pada siapapun, suka  menolong dan pasrah.

-        Baik Hati : Dia rela menolong ular yang bahkan bisa membahayakan nyawanya sendiri.

-        Pandai : Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer.

-        Taat : Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang.

-        Terlalu mudah percaya pada siapapun : Dia terlalu percaya bahkan pada hal yang dia endiripun tahu jika itu dapat membunuhnya.

-        Suka menolong : bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh?

-        Pasrah : Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik .

b)      Ular               : Licik, jahat, suka berbohong, dan tidak tahu balas budi.

-        Licik : Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan.

-        Jahat : Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.

-        Suka berbohong : Pada awalnya dia berjanji hanya akan bersembunyi, tetapi ternyata dia juga mengancam untuk memakan hati atau jantung si kakek.

-        Tidak tahu balas budi : Setelah diberi pertolongan oleh kakek, bukannya berterima kasih, ular itu malah mau membunuh kakek.

c)      Suara penolong : Baik hati, suka menolong.

-            Baik hati : Dia ada disaat yang tepat. Saat kakaek akan dibunuh oleh ular itu.

-            Suka menolong : Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.

 

 

Unsur Ekstrinsik

1.       Nilai Moral : Kita dapat belajar bahwa menolong orang itu memang baik, namun kita juga harus memikirkan pula tentang akibat dari pertolongan kita itu.

2.       Nilai Pendidikan      : Kita dapat belajar bahwa perbuatan baik juga akan mendapatkan balasan yang baik pula.

3.       Nilai Religius: Allah akan selalu melindungi hamba-Nya yang taat kepada-Nya.

4.       Nilai Sosial : Menolong sesama yang membutuhkan adalah hal yang baik, apalagi bila memang sedang membutuhkan pertolongan.

5.       Nilai Budaya: Budaya tolong-menolong antara kiat memang harus selalu diterapkan dimanapun dan kapanpun.

6.       Nilai Estetika: Hubungan antar umat manusia yang saling tolong-menolong dan pertolongan Allah yang terkadang tak terduga.

 

HIKAYAT JAYA LENGKARA

 

Tersebut cerita seorang raja yang terlalu besar kerajaannya, Saeful Muluk namanya, Ajam Saukat nama kerajaanya. Adapun raja ini telah berkawin dengan Putri Sukanda Rum. Tetapi oleh karena permaisurinya tidak beranak, ia berkawin dengan Putri Sukanda baying-bayang. Hatta berapa lamanya, Puteri Sukanda bayang-bayangpun beranak anak kembar yang diberi nama Makdam dan Makdim. Permaisuri takut kehilangan kasih sayang raja sama sekali, lalu berdoa meminta anak. Doanya dikabulkan. Hatta berapa lamanya, ia pun beranaklah seorang anak laki-laki yang terlalu baik rupanya. Anak itu ialah Jaya Lengkara. Adapun semasa Jaya Langkara jadi itu, negeri pun terlalu makmur, makanan murah dan banyak pedagang yang datang pergi. Segala ahli nujum, hulubalang dan rakyat sekalian juga mengucap syukur kepada Alloh.
Kemudian raja menyuruh anaknya yang lain ,Makdam dan Makdim pergi bertanyakan nasib Jaya Langkara pada seorang kadi. Kadi itu meramalkan bahwa Jaya Langkara akan menjadi raja besar yang terlalu banyak sakti dan segala raja-raja besar tiada yang dapat melawannya dan segala margastua juga tunduk kepadanya dengan khidmat. Mendengar ramalan yang demikian, Makdam dan Makdim menjadi sakit hatinya. Mereka berdusta kepada ayahanda mereka dengan mengatakan, jikalau Jaya Langkara ada dalam negeri, negeri akan binasa, beras padi juga akan menjadi mahal. Raja termakan fitnah ini dan membuang Jaya Langkara dengan bundayanya dari negeri.
Naga guna menyelamatkan Jaya Langkara. Bersama-sama mereka akan pergi ke negeri Peringgi. Jaya Langkara menewaskan seorang ajar-ajar dan memaksanya masuk islam. Dengan bantuan raja jin yang sudah masuk islam, ia membebaskan Makdam dan Makdim dari penjara. Ratna Kasina dan Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdam.Bunga Kumkuma putih juga sudah diperolehnya.
Mangkubumi mesir coba mengambil bunga itu dari jaya langkara dan ditewaskan. Jaya Langkara mengampuni dia, bila mendengar sebab-sebab ia ingin mendapat kan bunga itu. Jaya Langkara pergi ke Mesir dan memohon supaya puteri Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdim. Permaohonan nya diterima dengan baik oleh raja Mesir. Bersama –sama dengan Ratna Kasina, Jaya Langkara berangkat ke negeri Ajam Saukat dan menyembuhkan penyakit raja yang tak lain adalah ayahnya. Selang berapa lamanya, Jaya Langkara kembali ke hutan untuk mencari bundanya.Ratna Kasina menyusul tidak lama kemudian, karena tidak tahan di ganggu oleh Makdam dan Makdim yang sudah ke negeri Ajam Saukat. Karena berahi mereka akan putri Ratna Kasina, Makdam dan Makdim coba membunuh Jaya Langkara. Naga guna menyelamatkan dan membawanya bersama-sama dengan Puteri Ratna Kasina ke negeri Madinah. Raja Madinah sangat bergembira. Jaya Langkara dikawinkan dengan puteri Ratna Kasina. Raja Madinah sendiri juga berkawin dengan bunda jaya langkara. Hatta berapa lamanya. Jaya Langkara pun menjadi raja, negeri Madinah pun terlalu makmur dan besar kerajaannya. Segala raja besar pun menghantar upeti ke madinah setiap tahun.

 

Unsur Intrisik Hikayat Melayu “ Jaya Lengkara”

1. Tema: perebutan tahta dan kedengkian saudara Jaya lengkara di kerajaan Ajam Saukat.

2. Penokohan:

• Saeful Muluk→ mudah terpengaruh ( mempercayai fitnah Makdam dan makdim terhadap Jaya Lengkara. )

• Putri Sukanda Rum.

• Putri Sukanda bayang-bayang.

• Makdam dan Makdim→pemfitnah, irihati ( memfitnah Jaya lengkara karena iri hati. )

• Jaya Lengkara→suka menolong, pemaaf ( walaupun telah difitnah oleh Makdam dan Makdim tapi Jaya Lengkar tetap memaafkannya). Bijaksana ( memimpin kerajaan dengan bijaksana). Tabah, sabar (Jaya Lengkara tetap tabah menerima segala cobaan yang menimpanya)

• Ratna Dewi.

• Ratna Kasina.

• Naga→ penolong (menolong Jaya Lengkara yang tengah kesusahan).

• Mangkubumi Mesir→jahat ( mencoba merampas bunga Kumkuma Putih).

• Raja Madinah→ baik hati (menerima kedatangan Jaya Lengkara dan menikahkannya dengan Ratna Kasina).

3. Latar:

• Tempat:

 Ajam Saukat (…..di Kerajaan Ajam Saukat).

 Negeri Peringgi (…..mereka kenNegeri Peringgi).

 Mesir ( Jaya Lengkara pergi ke Mesir).

 Hutan (….pergi ke hutan untuk mencari bundanya).

 Madinah (….bersama dengan Ratna Kasina pergi ke Madinah).

• Suasana:

 Menyedihkan (raja mengusir jaya lengkara dan Ibunya).

 Bahagia (Raja Madinah sangat bahagia).

• Alat :

 Bunga Kumkuma Putih (bunga Kumkuma Putih juga sudah diperolehnya).

 Upeti (Segala raja besar pun menghantet upeti ke Madinah setiap tahun).

 

4. Sudut Pandang : orang ketiga serba tahu.

 

5. Alur : maju

Tahapan :

• Pengenalan: raja mendapatkan anak dari kedua istrinya yaitu Makdam dan Makdim, Jaya Lengkara.

• Konflik : raja menyuruh Makdam dam Makdim ke seorang Kadi untuk menanyakan nasib jaya Lengkara.

• Penanjakan: Makdam dan Makdim berdusta kepada ayahnya dan memfinah Jaya Lengkara. Hingga akirnya Jaya lenkara dan ibunya diusir dari kerajaan.

• Klimaks: ketika bunga Kumkuma telah didapatkan oleh jaya Lengkara, magkubumi Mesir mencoba untuk merbut dri tangan Jaya Lengkara.

• Anti klimaks: Jaya Lengkar pergi ke hutan untuk mencari ibunya, kemudian Ratna Kasina meenyusul karena tidak tahan diganggu oleh Makdam dan Makdim. Makdam dan Makdim yang marah kepada jaya Lengkara mencoba untuk membunuhnya.

• Ending: jaya Lengkar diselamatkan oleh naga dan dibawa ke Madinah. Dan dikawinkan dengan Ratna Kasina serta dijadikan raja. Negeri Madinah pun makmur dan besar.

 

6. Amanat:

• Iri hati dan dengki akan mengkalahkan dan mencelakakan diri sendiri.

• Meneggakan keadilan dan kebenaran harus dilakukan untuk mensejahterakan rakyat.

• Memaafkan kesalahan orang lain adalah salah satu bentuk menciptakan kedaimaan.

 

7. Nilai:

• Agama:

 Jangan suka memfitnah orang lain.

 Jangan iri kepada orang lain.

 Berdo’alah dengan sungguh-sungguh.

 Jangan mudah percaya dengan ramalan.

 

• Sosial:

 Tolong-menolonglah dengan sesama.

 

• Moral:

 Jangan menjadi seorang pendendam.

 Jangan iri kepada orang lain.

 

 

Ringkasan karya sastra melayu Hikayat Inderaputra

 

Maharaja Bikrama Puspa memilikiseorang putra bernama Inderaputra.ia sangat arif,bijaksana,perkasa dan sakti.tetapi nasibnya kurang beruntung.waktu kecil,ia pernah diterbangkan oleh merak emas.lalu ia jatuh ditaman dan pelihara oleh nenek Kabayan.dan ia diangkat menjadi anak perdana menteri.

            Pada suatu hari,Raja Syahsan pergi berburu dan melihat seokor kijang menangisi ibunya yang telah mati.baginda pun terharu dan ingin mempunyai anak.kemudian baginda mendengar kabar di sebuah gunung yang jauh,ada seorang maharesi pertapa yang sakti,namanya Berma Sakti.karena tempatnya sangat jauh,tiada seorang pun sanggup kesana.akan tetapi Inderaputra pun menawarkan diri untuk pergi ke gunung itu.

Maka pergilah Inderaputra mencari obat itu.Ia pun melewati rintangan-rintangan yang sulit dan berbahaya.Akhirnya ia pun sampai di tempat pertapaan Berma sakti dan ia diberi sebuah obat.

Raja syasian pun sangat gembira.setelah permaisuri memakan obat yang dibawa indraputera,permaisuri pun hamil dan melahirkan seorang anak yang cantik yang diberi nama tuan putri indra seri bulan.suatu hari indraputera dituduh berbuat jahat dengan dayang.akhirnya ia pun dibuang disebuah negeri.dan raja dinegeri tersebut pun menawarkan indraputera dan memberikan sehalai kain yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit.

Tuan puteri seri bulan pun telah beranjak dewasa dan tak lama kemudian,tuan puteri sakit dan tak ada seorang tabib pun yang dapat menyembuhkannya. Indraputera pun muncul dan menyembuhkan tuan puteri.meskipun banyak masalah yang menerjang akhirnya indera putra dapat meminang tuan putri indara seri bulan.

 

Unsur-unsur yang terdapat di Hikayat Indraputera,yaitu

A.Tema:

kebaikan yang tulus membawa kebahagian

 

B.Penokohan:

-indraputera:arif,bijaksana,perkasa,sakti dan baik

-raja syasian: baik dan bijaksana

-nenek kabayan:penolong dan perduli

-berma sakti:sakti,baik dan penolong

-tuan puteri indra seri bulan: cantik

 

C.alur:

alur maju

            Karena ceritanya menceritakan mulai ia dibuang oleh merak emas disuatu taman      

            Sampai ia dapat meminang tuan putri

 

D.setting:                                                                                                      

            -waktu:beberapa lama,suatu hari,tidak lama kemudian,pada suatu ketika dan

              akhirnya

            -tempat:digunung,ditaman,dikebun nenek, dan disebuah negeri

            -suasana: menegangkan dan mengembirakan

 

E.Sudut pandang:

Sudut pandang orang ke-3

 

F.Gaya bahasa:

susah dimengerti,bahasa nya tidak baku.

 

G.Amanat:

lakukanlah kebaikan dengan setulus hati dan tanpa pamrih

Hikayat Gunung Tidar Dan

Tombak Kiai Panjang

 

Syahdan, dahulu kala Tanah Jawa ini masih berupa hutan belantara yang tiada seorangpun berani tinggal di sana. Sebagian besar wilayah Jawa ini dahulu masih dikuasai berbagai makhluk halus. Konon Tanah Jawa yang dikelilingi laut ini bak perahu yang mudah oleng oleh ombak laut yang besar. Maka melihat itu para dewata segera mencari cara untuk mengatasinya.

Maka berkumpullah para dewa untuk membahas persoalan Tanah Jawa yang tidak pernah tenang oleh hantaman ombak itu. Diutuslah sejumlah dewa untuk tugas menenangkan pulau ini. Mereka membawa sejumlah bala tentara menuju Pulau Jawa sebelah barat. Namun, tiba-tiba Pulau Jawa kembali oleng dan berat sebelah karena para dewa dan bala tentara hanya menempati wilayah barat. Agar seimbang, sebagian dikirim ke timur. Namun usaha ini tetap gagal.

Melihat kenyataan itu maka para dewa sibuk mencari jalan pemecahan. Setelah beberapa waktu berembug, maka didapatkanlah sebuah ide cemerlang. Mau tak mau para dewa harus menciptakan sebuah paku raksasa, dan paku itu akan ditancapkan di pusat Tanah Jawa, yaitu titik tengah yang dapat menjadikan Pulau Jawa seimbang. Paku raksasa yang ditancapkan itu konon dipercaya sebagian masyarakat sebagai Gunung Tidar. Dan setelah paku raksasa itu ditancapkan, Pulau Jawa menjadi tenang dari hantaman ombak.Menurut kepercayaan sebagian masyarakat, Gunung Tidar pada mulanya hanya ditinggali oleh para jin dan setan yang konon dipimpin oleh salah satu jin bernama Kiai Semar. Kiai Semar tidak sama dengan tokoh Semar dalam dunia pewayangan. Kiai Semar yang menguasai Gunung Tidar ini konon jin sakti yang terkenal seram. Setiap ada manusia yang mencoba untuk tinggal di sekitar Gunung Tidar, maka tak segan Kiai Semar mengutus anak buahnya yang berupa raksasa-raksasa dan genderuwo untuk memangsanya.

Alkisah, datanglah seorang manusia yang terkenal berani untuk mencoba membuka wilayah Tidar untuk ditinggali. Ksatria berani ini berasal dari tanah jauh. Konon ia berasal dari negeri Turki, bernama Syekh Bakir dan ditemani Syekh Jangkung. Kedua syekh ini disertai juga oleh tujuh pasang manusia, dengan harapan dapat mengembangkan masyarakat yang kelek mendiami wilayah itu.

Mendengar kabar itu, Kiai Semar murka. Diseranglah mereka oleh anak buah Kiai Semar, dan tiada seorangpun yang selamat kecuali Syekh Bakir yang sakti, soleh, dan sabar. Setelah bertapa selama 40 hari 40 malam, ia bertemu dengan Kiai Semar.

“Hei, Ki Sanak, berani benar kau berada di wilayah kekuasaanku tanpa permisi. Siapakah engkau dan apa maumu berada di wilayah ini,” kata Kiai Semar.

“Duh penguasa wilayah Tidar, ketahuilah olehmu bahwa namaku Syekh Bakir, asalku dari negeri Turki nun jauh di sana. Adapun kedatanganku kemari untuk membuka tempat dan aku akan tinggal di sini bersama saudara dan sahabatku,” jawab Syekh Bakir dengan tenang.

“Adakah kau tahu bahwa daerah ini adalah daerah kekuasaanku? Siapapun tak boleh tinggal di sini. Jika tiada peduli, maka akau akan mnegutus anak buahku untuk menumpas kalian tanpa sisa.”

“Hai engkau yang mengaku sebagai penguasa Gunung Tidar, tidakkah kau tahu bahwa tiada yang dapat melebihi kekuasaan Allah? Allah menciptakan manusia untuk menjaga dan memelihara alam semesta ini, bukan untuk menguasainya secara semena-mena,” kata Syekh Bakir.

“Hei manusia, sebelum kemarahanku memuncak, tinggalkan tempat ini! Ketahuilah bahwa tempat ini sudah menjadi milikku, dan jangan mencoba merampasnya.” Syekh Bakir terdiam.

Mendengar ancaman Kiai Semar, ia lalu mengalah. Tetapi bukan berarti ia menyerah kalah. Tetapi sebaliknya Syekh Bakir hendak menyiapkan diri lebih baik untuk mengalahkan Kiai Semar dan bala tentaranya.

Sesampai di negeri Turki, ia mengambil sebuah tombak sakti yang bernama Kiai Panjang. Selain itu, iapun menyiapkan lebih banyak lagi manusia yang akan diajak serta untuk membuka tempat tinggal baru di Tidar.

Sesampai kembali di Tidar, berpasang-pasang manusia yang diajak serta oleh Syekh Bakir tinggal lebih dulu di daerah sebelah timur Gunung Tidar yang sekarang dikenal dengan nama desa Trunan. Konon desa itu berasal dari makna “turunan”. Ada yang mengatakan arti dari turunan itu adalah keturunan, tetapi ada yang menganggapnya sebagai daerah pertama kali sahabat-sahabat Syekh Bakir diturunkan dan tinggal di tempat itu untuk sementara waktu.

Setelah itu Syekh Bakir berangkat sendiri ke puncak Gunung Tidar untuk bersemadi. Tombak pusaka sakti Syekh Bakir ditancapkan tepat di puncak Tidar sebagai penolak bala. Dan benar, tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang bukan main bagi Kiai Semar dan wadyabalanya.Merekapun lari tunggang langgang meninggalkan Gunung Tidar. Dengan adanya tombak sakti itu, maka amanlah Gunung Tidar dari kekuasaan para jin dan makhluk halus. Syekh Bakirpun akhirnya memboyong sahabat-sahabatnya untuk membuka tempat tinggal baru di Gunung Tidar dan sekitarnya.

               

Unsur-unsur intrinsiknya :

     1. Tema                                           : Gunung Tidar Dan Tombak Kiai Pajang.

2. Seting                           

a. Tempat                            : Gunung Tidar, hutan.

b. Waktu                              : 40 hari, siang dan malam hari.

c.Suasana                            : Menegangkan, Menakutkan.

3.Alur                                              : Maju.

4.Penokohan

a.Protagonis                       : Syekh Bakir ,Syekh Jangkung.

b.Antagonis                        : Kiai Semar.

c.Tritagonis                         : 7 pasang Manusia.

d.Figuran                             : Masyarakat, jin, mahluk halus, sahabat Syekh Bakir.

5.Amanat                                      : Janganlah menjadi Orang yang serakah.

6.Sudut pandang                       : Orang ke tiga.

7.Gaya bahasa                            : Majas, peribahasa.

 

Usur-unsur ekstrinsiknya             : Bernilai pendidikan, nilai sosial, nilai keagamaan.

 

 

HIKAYAT CABE RAWIT

 

Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.

“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”

“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri.

Malam itu,. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.

Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya.

Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat. Ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.

Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati bersama.

Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe

Cabai rawit  mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.

Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata suara itu.

Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu bertanya. “Tadi, di jalan aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab cabe rawit.

Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi pada pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah.

Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang harta.

Orang-orang kampung pun mulai curiga

Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut.

 

Unsur-unsur intrinsiknya:

1. Tema                                          : Cabe rawit.

2. Seting                           

a. Tempat                            : Pasar, jalan

b. Waktu                              : Malam hari, Pagi hari.

c.Suasana                            : Tegang,Menyedihkan

3.Alur                                              : Maju.

4.Penokohan

a.Protagonis                       : Sahdan(ibu cabe rawit), Ayah cabe rawit.

b.Antagonis                        : Cabe rawit.

c.Tritagonis                         : Pedagang.

d.Figuran                             : Penduduk, Hatta.

5.Amanat                                      : -Bersabarlah meski mendapat cobaan seberat apapun, dan slalu   berusaha dan berdo’a.

                                                            -Jangan mengambil sesuatuyang bukan menjadi hak kita.

6.Sudut pandang                       : Orang ke tiga.

7.Gaya bahasa                            :  Peribahasa, Majas.

 

Usur-unsur ekstrinsiknya             : Bernilai pendidikan, nilai sosial.

Hikayat Burung Cenderawasih

Sahibul hikayat telah diriwayatkan dalam Kitab Tajul Muluk, mengisahkan seekor burung yang bergelar burung cenderawasih. Adapun asal usulnya bermula dari kayangan. Menurut kebanyakan orang lama yang arif mengatakan ianya berasal dari syurga dan selalu berdamping dengan para wali. Memiliki kepala seperti kuning keemasan. Dengan empat sayap yang tiada taranya. Akan kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya. Sesuatu yang sangat nyata perbezaannya adalah dua antena atau ekor ‘areil‘ yang panjang di ekor belakang. Barangsiapa yang melihatnya pastilah terpegun dan takjub akan keindahan dan kepelikan burung cenderawasih.

Amatlah jarang sekali orang memiliki burung cenderawasih. Ini kerana burung ini bukanlah berasal dari bumi ini. Umum mengetahui bahawa burung Cenderawasih ini hanya dimiliki oleh kaum kerabat istana saja. Hatta mengikut sejarah, kebanyakan kerabat-kerabat istana Melayu mempunyai burung cenderawasih. Mayoritas para peniaga yang ditemui mengatakan ia membawa tuah yang hebat.

Syahdan dinyatakan lagi dalam beberapa kitab Melayu lama, sekiranya burung cenderawasih turun ke bumi nescaya akan berakhirlah hayatnya. Dalam kata lain burung cenderawasih akan mati sekiranya menjejak kaki ke bumi. Namun yang pelik lagi ajaibnya, burung cenderawasih ini tidak lenyap seperti bangkai binatang yang lain. Ini kerana ia dikatakan hanya makan embun syurga sebagai makanannya. Malahan ia mengeluarkan bau atau wangian yang sukar untuk diperkatakan. Burung cenderawasih mati dalam pelbagai keadaan. Ada yang mati dalam keadaan terbang, ada yang mati dalam keadaan istirahat dan ada yang mati dalam keadaan tidur.

Walau bagaimanapun, Melayu Antique telah menjalankan kajian secara rapi untuk menerima hakikat sebenar mengenai BURUNG CENDERAWASIH ini. Mengikut kajian ilmu pengetahuan yang dijalankan, burung ini lebih terkenal di kalangan penduduk nusantara dengan panggilan Burung Cenderawasih. Bagi kalangan masyarakat China pula, burung ini dipanggil sebagai Burung Phoenix yang banyak dikaitkan dengan kalangan kerabat istana Maharaja China. Bagi kalangan penduduk Eropah, burung ini lebih terkenal dengan panggilan ‘Bird of Paradise‘.

Secara faktanya, asal usul burung ini gagal ditemui atau didapathingga sekarang. Tiada bukti yang menunjukkan ianya berasal dari alam nyata ini. Namun satu lagi fakta yang perlu diterima, burung cenderawasih turun ke bumi hanya di IRIAN JAYA (Papua sekarang), Indonesia saja. Tetapi yang pelik namun satu kebenaran burung ini hanya turun seekor saja dalam waktu tujuh tahun. Dan ia turun untuk mati. Sesiapa yang menjumpainya adalah satu tuah. Oleh itu, kebanyakan burung cenderawasih yang anda saksikan mungkin berumur lebih dari 10 tahun, 100 tahun atau sebagainya. Kebanyakkannya sudah beberapa generasi yang mewarisi burung ini.

Telah dinyatakan dalam kitab Tajul Muluk bahawa burung cenderawasih mempunyai pelbagai kelebihan. Seluruh badannya daripada dalam isi perut sehinggalah bulunya mempunyai khasiat yang misteri. Kebanyakannya digunakan untuk perubatan. Namun ramai yang memburunya kerana ‘tuahnya’. Burung cenderawasih digunakan sebagai ‘pelaris’. Baik untuk pelaris diri atau perniagaan. Sekiranya seseorang memiliki bulu burung cenderawasih sahaja pun sudah cukup untuk dijadikan sebagai pelaris. Mengikut ramai orang yang ditemui memakainya sebagai pelaris menyatakan, bulu burung cenderawasih ini merupakan pelaris yang paling besar. Hanya orang yang memilikinya yang tahu akan kelebihannya ini. Namun yang pasti burung cenderawasih bukannya calang-calang burung. Penuh dengan keunikan, misteri, ajaib, tuah. [Phoenix/infokito].

Unsur intrinsik pada Hikayat 1 :

1. Tema                                  : Hikayat Burung Cendrawasih.      

2. Seting                    

a. Tempat                        : Papua di Indonesia .

b. Waktu             : Siang hari.

c.Suasana                        : Menakjubkan.

3.Alur                          : Mundur.

4.Penokohan                    

a.Protagonis              : Burung Cendrawasih.

b.Tritagonis                : Para wali.

c.Figuran                    : Kaum Kewrabat Istana.

5.Amanat                          : Burung Cendrawasih sangat bermanfaat sebagai pelaris.

6.Sudut pandang              : Serba tahu.

7.Gaya bahasa                  : Majas.

Unsur Ekstrinsik                    : Bernilai pendidikan,nilai sosial,nilai keagamaan,nilai budaya.

“HIK AYAT BUNGA KEMUNING”

 

          Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang raja sudah meninggal dunia ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi diantara mereka.

                Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona, Puteri Kuning dan 2 puteri lainnya. Baju yang mereka pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, Ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka bebergian dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.

Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya. "Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?" tanya raja. "Aku ingin perhiasan yang mahal," kata Puteri Jambon. "Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau," kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya. "Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat," katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan mencemoohkannya. "Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah indah buatmu," kata sang raja. Tak lama kemudian, raja pun pergi.

Selama sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh melarangnya, namun Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya.

Kakak-kakak Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. "Lihat tampaknya kita punya pelayan baru,"kata seorang diantaranya. "Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!" ujar seorang yang lain sambil melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.

"Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!" Kata Puteri Kuning dengan marah. "Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!" ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka pulang. Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puteri nya masih bermain di danau, sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih. "Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!" kata sang raja.

Raja memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tak pernah ditemukannya. "Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang berwarna kuning," kata Puteri Kuning dengan lemah lembut. "Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah," ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya. Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. "Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah Puteri Hijau!" katanya dengan perasaan iri.

Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu," sahut Puteri Kuning. Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut mereka. "Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya berbuat baik!" kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal. "Astaga! Kita harus menguburnya!" seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi.

Sewaktu raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. "Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!" teriaknya. Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. "Aku ini ayah yang buruk," katanya." Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan mengasah budi pekerti!" Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas.

Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran melihatnya. "Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!" kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan.

 

UNSUR INTRINSIK

Alur/plot             : Alur Maju

                                  Bukti : karna dalam cerita ini tidak menceritakan tentang masa lalu.

 

Tema                     : Kekeluargaan, Kerajaan dan Kasih sayang tulus seorang anak kepada                                     ayahnya.

 

Latar/setting      :

1.    Latar tempat :

Kerajaan (bukti: hikayat ini mengisahkan tentang kerajaan jaman dahulu.)

Taman (bukti : tanpa ragu, putri kuning mengambil sapu dan mulai membersihkan taman itu.)

Danau (bukti : ketika sang raja tiba di istana kesembilan putrinya masih bermain di danau.)

Teras istana (bukti : sementara putri kuning sedang merangkai bunga di teras istana.)

2.    Latar waktu : Pada zaman dahulu kala

3.    Latar suasana : Sedih (bukti: berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang berhasil menemukan Putri Kemuning. Raja sangat sedih. "Aku ini ayah yang buruk," katanya.)

 

Tokoh:

1.      Protagonis : Raja dan Putri Kuning

2.      Antagonis  : Putri Jingga, Putri Nila, Putri Hijau, Putri Kelabu, Putri Oranye, Putri Merah Merona, Putri Kuning dan 2 putri lainnya.

 

Karaker tokoh-tokoh

1.  Raja :
Bijaksana (bukti: sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana)
Penyayang (bukti: sang raja sangat menyayangi anak-anaknya)

2.   Putri kuning :
Baik hati (bukti: karna para inang sibuk untuk menuruti permintaan kakak-kakaknya, taman menjadi tidak ada yang membersihkan. Tapi dengan senang hati putri kuning mau membantu membersihkan taman.)
Penyabar (bukti: “Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Putri kuning diam saja dan menyapu sampah sampah itu.) 
Ramah (bukti: Sebaliknya ia selalu riang dan tersenyum ramah kepada siapa pun.)

3.  Puteri Hijau         : Jahat,  mudah iri (bukti: Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. "Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah Puteri Hijau!" katanya dengan perasaan iri)

4.  Kakak-kakak putri kuning : Nakal, manja, jahat. (bukti: sering membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka, merampas kalung putri kuning, menangkap dan memukul kepala putri kuning sampai putri kuning meninggal dan menguburnya tanpa memberitahu ayahnya (raja).

 

Sudut Pandang                 : Orang Pertama dan orang ketiga.


Amanat :
-Berlaku baiklah kepada sesama saudara kita
-Berfikirlah terlebih dahulu ketika kita akan bertindak

 

 

 

UNSUR EKSTRINSIK

Nilai Sosial

Mencoba untuk lebih baik

Nilai Agama

Berbuat baik walaupun dibalas kejahatan

(Bukti agama islam)

Nilai Moral

Keburukan akan terbongkar dengan sendirinya walaupun ditutupi.

Nilai Budaya

Sopan dan santun kepada orang tua, Pada jaman dahulu tentang pemberian nama putri atau putra.

 

Gaya Bahasa :

Majas metafora : Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi!

 

Majas ironi          : "Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku”

Majas Paradoks : Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, Ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka bebergian dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.

 

HIKAYAT : BUAYA PEROMPAK

 

Alkisah, Sungai Tulang Bawang sangat terkenal dengan keganasan buayanya. Setiap nelayan yang melewati sungai itu harus selalu berhati-hati. Begitupula penduduk yang sering mandi dan mencuci di tepi sungai itu. Menurut cerita, sudah banyak manusia yang hilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak sama sekali.

Pada suatu hari, kejadian yang mengerikan itu terulang kembali. Seorang gadis cantik yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat sedang mencuci di tepi sungai itu. Anehnya, walaupun warga sudah berhari-hari mencarinya dengan menyusuri tepi sungai, tapi tidak juga menemukannya. Gadis itu hilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Sepertinya ia sirna bagaikan ditelan bumi. Warga pun berhenti melakukan pencarian, karena menganggap bahwa Aminah telah mati dimakan buaya.

Sementara itu, di sebuah tempat di dasar sungai tampak seorang gadis tergolek lemas. Ia adalah si Aminah. Ia baru saja tersadar dari pingsannya.

“Ayah, Ibu, aku ada di mana? gumam Aminah setengah sadar memanggil kedua orangtuanya.

Dengan sekuat tenaga, Aminah bangkit dari tidurnya. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Yang lebih mengejutkannya lagi, ketika ia melihat dinding-dinding gua itu dipenuhi oleh harta benda yang tak ternilai harganya. Ada permata, emas, intan, maupun pakaian indah-indah yang memancarkan sinar berkilauan diterpa cahaya obor yang menempel di dinding-dinding gua.

“Wah, sungguh banyak perhiasan di tempat ini. Tapi, milik siapa ya?” tanya Aminah dalam hati.

Baru saja Aminah mengungkapkan rasa kagumnya, tiba-tiba terdengar sebuah suara lelaki menggema.

“Hai, Gadis rupawan! Tidak usah takut. Benda-benda ini adalah milikku.”

Alangkah terkejutnya Aminah, tak jauh dari tempatnya duduk terlihat samar-samar seekor buaya besar merangkak di sudut gua.

“Anda siapa? Wujud anda buaya, tapi kenapa bisa berbicara seperti manusia?” tanya Aminah dengan perasaan takut.

“Tenang, Gadis cantik! Wujudku memang buaya, tapi sebenarnya aku adalah manusia seperti kamu. Wujudku dapat berubah menjadi manusia ketika purnama tiba.,” kata Buaya itu.

“Kenapa wujudmu berubah menjadi buaya?” tanya Aminah ingin tahu.

“Dulu, aku terkena kutukan karena perbuatanku yang sangat jahat. Namaku dulu adalah Somad, perampok ulung di Sungai Tulang Bawang. Aku selalu merampas harta benda setiap saudagar yang berlayar di sungai ini. Semua hasil rampokanku kusimpan dalam gua ini,” jelas Buaya itu.

“Lalu, bagaimana jika Anda lapar? Dari mana Anda memperoleh makanan?” tanya Aminah.

“Kalau aku butuh makanan, harta itu aku jual sedikit di pasar desa di tepi Sungai Tulang Bawang saat bulan purnama tiba. Tidak seorang penduduk pun yang tahu bahwa aku adalah buaya jadi-jadian. Mereka juga tidak tahu kalau aku telah membangun terowongan di balik gua ini. Terowongan itu menghubungkan gua ini dengan desa tersebut,” ungkap Buaya itu.

Tanpa disadarinya, Buaya Perompak itu telah membuka rahasia gua tempat kediamannya. Hal itu tidak disia-siakan oleh Aminah. Secara seksama, ia telah menyimak dan selalu akan mengingat semua keterangan yang berharga itu, agar suatu saat kelak ia bisa melarikan diri dari gua itu.

“Hai, Gadis Cantik! Siapa namamu?” tanya Buaya itu.

“Namaku Aminah. Aku tinggal di sebuah dusun di tepi Sungai Tulang Bawang,” jawab Aminah.

“Wahai, Buaya! Bolehkah aku bertanya kepadamu?” tanya Aminah

“Ada apa gerangan, Aminah? Katakanlah!” jawab Buaya itu.

“Mengapa Anda menculikku dan tidak memakanku sekalian?” tanya Aminah heran.

“Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu ke tempat ini dan tidak memangsamu, karena aku suka kepadamu. Kamu adalah gadis cantik nan rupawan dan lemah lembut. Maukah Engkau tinggal bersamaku di dalam gua ini?” tanya Buaya itu.

Mendengar pertanyaan buaya itu, Aminah jadi gugup. Sejenak, ia terdiam dan termenung.

“Ma… maaf, Buaya! Aku tidak bisa tinggal bersamamu. Orangtuaku pasti akan mencariku,” jawab Aminah menolak.

Agar Aminah mau tinggal bersamanya, buaya itu berjanji akan memberinya hadiah perhiasan.

“Jika Engkau bersedia tinggal bersamaku, aku akan memberikan semua harta benda yang ada di dalam gua ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, maka aku akan memangsamu,” ancam Buaya itu.

Aminah terkejut mendengar ancaman Buaya itu. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Sejenak ia berpikir mencari jalan agar dirinya bisa selamat dari terkaman Buaya itu.

“Baiklah, Buaya! Aku bersedia untuk tinggal bersamamu di sini,” jawab Aminah setuju.

Rupanya, Aminah menerima permintaan Buaya itu agar terhindar dari acamana Buaya itu, di samping sambil menunggu waktu yang tepat agar bisa melarikan diri dari gua itu.

Akhirnya, Aminah pun tinggal bersama Buaya Perompak itu di dalam gua. Setiap hari Buaya itu memberinya perhiasan yang indah dan mewah. Tubuhnya yang molek ditutupi oleh pakaian yang terbuat dari kain sutra. Tangan dan lehernya dipenuhi oleh perhiasan emas yang berpermata intan.

Pada suatu hari, Buaya Perompak itu sedikit lengah. Ia tertidur pulas dan meninggalkan pintu gua dalam keadaan terbuka. Melihat keadaan itu, Aminah pun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

“Wah, ini kesempatan baik untuk keluar dari sini,” kata Aminah dalam hati.

Untungnya Aminah sempat merekam dalam pikirannya tentang cerita Buaya itu bahwa ada sebuah terowongan yang menghubungkan gua itu dengan sebuah desa di tepi Sungai Tulang Bawang. Dengan sangat hati-hati, Aminah pun keluar sambil berjingkat-jingkat. Ia sudah tidak sempat berpikir untuk membawa harta benda milik sang Buaya, kecuali pakaian dan perhiasan yang masih melekat di tubuhnya.

Setelah beberapa saat mencari, Aminah pun menemukan sebuah terowongan yang sempit di balik gua itu dan segera menelusurinya. Tidak lama kemudian, tak jauh dari depannya terlihat sinar matahari memancar masuk ke dalam terowongan. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan sampai di mulut terowongan. Dengan perasaan was-was, ia terus menelusuri terowongan itu dan sesekali menoleh ke belakang, karena khawatir Buaya Perompak itu terbangun dan membututinya. Ketika ia sampai di mulut terowongan, terlihatlah di depannya sebuah hutan lebat. Alangkah senangnya hati Aminah, karena selamat dari ancaman Buaya Perompak itu.

“Terima kasih Tuhan, aku telah selamat dari ancaman Buaya Perompak itu,” Aminah berucap syukur.

Setelah itu, Aminah segera menyusuri hutan yang lebat itu. Setelah beberapa jauh berjalan, ia bertemu dengan seorang penduduk desa yang sedang mencari rotan.

“Hai, Anak Gadis! Kamu siapa? Kenapa berada di tengah hutan ini seorang diri?” tanya penduduk desa itu.

“Aku Aminah, Tuan!” jawab Aminah.

Setelah itu, Aminah pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di hutan itu. Oleh karena merasa iba, penduduk desa itu pun mengantar Aminah pulang ke kampung halamannya. Sesampai di rumahnya, Aminah pun memberikan penduduk desa itu hadiah sebagian perhiasan yang melekat di tubuhnya sebagai ucapan terima kasih.

Akhirnya, Aminah pun selamat kembali ke kampung halamannya. Seluruh penduduk di kampungnya menyambutnya dengan gembira. Ia pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya kepada kedua orangtuanya dan seluruh warga di kampungnya. Sejak itu, warga pun semakin berhati-hati untuk mandi dan mencuci di tepi Sungai Tulang Bawang.

Demikian cerita Buaya Perompak dari darah Tulang Bawang, Lampung, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu, keutamaan sifat tidak mudah putus asa dan keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain.

Pertama, keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Aminah yang tidak mudah putus asa menghadapi ancaman Buaya Perompak. Dengan kecerdikannya, ia pun berhasil mengelabui Buaya Perompak itu dan berhasil menyelamatkan diri. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat tidak mudah putus asa dapat melahirkan pikiran-pikiran yang jernih.

Kedua, keburukan sifat suka merampas hak milik orang lain. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Somad (perompak) yang senantiasa merampas harta benda setiap penduduk yang melewati Sungai Tulang Bawang. Akibat perbuatan jahatnya tersebut, ia pun terkena kutukan menjadi seekor buaya.

           

 

Unsur-unsur intrinsiknya:

1. Tema                               : Buaya perompak

2. Seting

a. Tempat                    : Sungai, gua

b. Waktu                     : Berhari

c.Suasana                     : Mengagumkan, tegang.

3.Alur                                 : Mundur.

4.Penokohan

a.Protagonis                : Aminah,

b.Antagonis                 : Buaya ( Somad)

c.Tritagonis                 : Orang yang mencari rotan dihutan

d.Figuran                     : Warga

5.Amanat                            : -Tetaplah berusaha meski belum membuahkan hasil.

                                             -Jangan suka merampas hak milik Orang lain          

6.Sudut pandang                : Serba tau

7.Gaya bahasa                    : Peribahasa.

 

Unsur-unsur ekstrinsiknya: Bernilai sosial, nilai pendidikan, nilai keagamaan.

HIKAYAT ABU NAWAS: PESAN BAGI HAKIM

 

Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.

Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tata cara memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan men-do’akannya. Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.

Namun..,demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.

Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.

Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.

Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.

Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.

“Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” kata wazir utusan Sultan.

“Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya.” jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.

“Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”

“Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar.” kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.

Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. “Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?” kata wazir.

“Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” kata

Abu Nawas.

“Apa maksudnya Abu Nawas?” tanya wazir dengan rasa penasaran.

“Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu.” sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.

Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.

Dengan geram Sultan berkata,”Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa.”

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja.

Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkah-nya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.

“Abu Nawas bersikaplah sopan!” tegur Baginda. “Ya Baginda, tahukah Anda……?”

‘Apa Abu Nawas…?”

“Baginda…terasi itu asalnya dari udang !”

“Kurang ajar kau menghinaku Nawas !”

“Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya.

“Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali.”

Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar.

Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.

“Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk kekota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?”

“Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepadaku tadi?”

“lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?”

“Balk, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!”

“Wah ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda.”

Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.

Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.

Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.

“Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda.”

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya.”Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?”

Berkata Abu Nawas, “Ampun Tuanku, sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu

“Apa maksudmu? Coba kau jelaskan seb orang itu?” tanya Baginda.

“Tuanku,”kata Abu Nawas.”Hamba dan p. mengadakan perjanjian bahwa jika’hamba diberi hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadial maka saya berikan pula hadiah dua puluh limi kali.

“Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau berjanji seperti itu dengan Abu Nawas?” tanya Baginda.

“Benar Tuanku,”jawab penunggu pintu gerbang mengira jika Baginda memberikan hadiah pada abunawas.

“Hahahahaha…….!Dasar tukang peras,

sahut Baginda.”Abu Nawas tiada bersalah bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad suka memeras orang! Kalau kau tidak berubah aku akan memecat dan menghukum kamu!”

“Ampun Tuanku,”sahut penjaga pintu gerbang.

Abu Nawas berkata,”Tuanku, hamba sue tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, pai Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu karena panggilan Tuanku. Padahal besok r untuk keluarga hamba.”

Sejenak Baginda melengak, terkejut ate tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak,” Hahahah

Baginda kemudian memerintahkan bem sekantong uang perak kepada Abu Nawas. A hati gembira.

Tetapi sesampai di rumahnya Abu Naw bahkan semakin nyentrik seperti orang gila J

Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid rm menterinya.

“Apa pendapat kalian mengenai Abu N. sebagai kadi?”3

Wazir atau perdana meneteri berkata,”Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi.”

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. “Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi.”

“Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja.”

Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dinggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.

Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan. “Alhamdulillah….. aku telah terlepas dari balak yang mengerikan.Tapi….sayang sekali kenapa hams Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja.”

Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini: Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.

Berkata bapaknya, “Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku.”

Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.

“Bagamaina anakku? Sudah kau cium?” “Benar Bapak!”

“Ceritakan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini.” “Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi… yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?”

“Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?” “Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini.’;

Berkata Syeikh Maulana.Tada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun Jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi o!eh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun AI.Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.”

Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Waiaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

 

Unsur Intrinsik :

Tema : keadilan

Alur : Menggunakan alur maju mundur. Karena penulis menceritakan cerita tidak berurutan dari awal hingga akhir.

Setting/ Latar :

-Setting Tempat : Negeri Antah Berantah, kerajaan raja Bahgdad, rumah Abunawas.

Setting Suasana : ramai, menegangkan, dan bahagia.

Sudut Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.

Amanat :

-kita harus banyak-banyak bersyukur.

Jangan selalu melihat ke atas, sekali-kali lihatlah kebawah, karena masih banyak orang yang hidupnya lebih menderita dari kita.

– Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah hati.

-Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.

-Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.

-Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.

-Hidup dan kematian, bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia hanya dapat menjalani takdir yang telah ditentukan.

-kita harus selalu bersikap adil

 

Unsur Ekstrinsik :

1. Nilai Moral

Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.

Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita kalau sebenarnya tidak mampu.

2. Nilai Budaya

Sebagai seorang raja kita harus memberikan contoh yang baik kepada rakyat.

3. Nilai Sosial

Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.

Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.

4. Nilai Religius

Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.

5. Nilai Pendidikan

Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.

 

HIKAYAT ABU NAWAS DAN LELAKI KIKIR

 

Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya sifat kikir (pelit).ia mempunyai sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia tinggal bersama seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa rumahnya sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan keluarganya.namun,untuk memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang untuk mengeluarkan uang.ia putar otak bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya tanpa mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi abunawas,seorang cerdik dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas.

si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera.”

abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu mendatangi kediamanku yang reot ini ?”

si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar dengan seksama.setelah si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak tepekur sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :

“hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang ayam,jantan dan betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi kau lapor padaku bagaimana keadaan rumahmu.”

si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak membantah.sepulang dari rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu membuatkan kandang untuk ayamnya didalam rumah.

3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut.

abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?”

si lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku tambah kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan dan kotorannya berbau tak sedap.”

abu nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan buatkan kandang didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”

silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya peternakan?.atau sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun seperti pertama kali,ia tak berani membantah,karena ingat reputasi abunawas yang selalu berhasil memecahkan berbagai masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya sepasang bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam rumahnya.

setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.

abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?”

si lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat paling parah selama aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat mirip pasar unggas,sempit,padat,dan baunya bukan main.”

abunawas : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia kandang didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”

si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa tidak ada cara lain yang lebih normal?”

abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”

lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah abunawas,sicerdik pandai yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar dan membeli seekor kambing,lalu ia membuatkan kandang didalam rumahnya.

3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas

abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?”

si lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel sepanjang hari,anak2 menangis, semua hewan2 berkotek dan mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya abu.tolong aku abu,jangan suruh aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak sanggup ya abu.”

abu nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu kepasar,besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”

si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh beli,sekarang disuruh jual,apa maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual kambingnya kepasar.keesokan harinya ia kembali kerumah abunawas.

abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”

si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya yang berisik sudah tak kudengar lagi.”

abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari”

si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia kembali kerumah abunawas

abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”

si lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh lebih tenang dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis.”

abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok ”

si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan wajah yang berseri2 kerumah abunawas

abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”

si lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam dan kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak marah2 lagi,anak2ku juga sudah tidak rewel.”

abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas tanah banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus lebih banyak bersyukur karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah tanggamu,dan banyak2lah bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan jangan banyak mengeluh.”

silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan kecendikiaan sang tokoh dan mengucap terima kasih pada abunawas…

 

Unsur Intrinsiknya :

 

Tema : bersyukur dengan apa yang telah kita miliki

Alur : Menggunakan alur maju, karena penulis menceritakan peristiwa tersebut dari awal permasalahan sampai akhir permasalahan.

Setting/ Latar :

-Setting Tempat : Negeri Antah Berantah, pasar, rumah lelaki kikir, rumah Abunawas.

Setting Suasana : ramai, menegangkan, dan bahagia.

Sudut Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.

Amanat :

-kita harus banyak-banyak bersyukur.

Jangan selalu melihat ke atas, sekali-kali lihatlah kebawah, karena masih banyak orang yang hidupnya lebih menderita dari kita.

– Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah hati.

-Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.

-Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.

-Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.

 

Unsur Ekstrinsiknya :

 

1. Nilai Moral

Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.

Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita kalau sebenarnya tidak mampu.

2. Nilai Budaya

Sebagai seorang ayah sebaiknya memberikan contoh yang baik kepada anak dan istri.

3. Nilai Sosial

Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.

Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.

4. Nilai Religius

Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.

5. Nilai Pendidikan

Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.

Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

HIKAYAT  KALILA DAN DAMINA

 

A.    SINOPSIS “ HIKAYAT KALILA DAN DAMINA”

 

Ada seekor lembu benama Sjatrabah yang mengikuti tuannya membawa barang  dagangan untuk berniaga, saat  sampai di sebuah hutan, Sjatrabah terperosok kesebuah lubang lumpur. Tuannya mencoba untuk membantunya, tapi ia gagal. Tuannya pun meninggalkan Sjatrabah dengan seorang hambanya, hambanya itu juga berusaha mengeluarkannya dari lubang tersebut, tapi ia juga gagal seperti tuannya tadi. Hamba tadi juga mengikuti tuannya  meninggalkan Sjatrabah. Akhirnya Sjatrabah sendiri yang berusaha mengeluarkan dirinya sendiri  dari lubang  lumpur tersebut,  dengan berbagai cara yang dilaluinya akhirnya ia bisa mengeluarkan dirinya sendiri dari lubang lumpur tersebut.

 Sjatrabah bingung, karena ia tidak  tahu bagaimana cara menemukan  tuannya yang meninggalkannya tadi. Karena hari sudah mulai gelap, ia memutuskan untuk sementara  menetap dihutan tadi. Ia memilih untuk lebih masuk kedalam hutan tadi dan  memakan  rerumputan yang ada di sana. Suara remasan rumput dimulutnya itu terdengar hingga ke telinga Raja Singa,  Raja Singa pun khawatir  mendengar  suara tersebut,  karena  di hutan itu juga banyak  hewan buas.  Diantaranya adalah Kalila dan Damina yakni  dua serigala yang bijak, pandai dan bertugas mencari makan untuk  Raja Singa,  namun akhir - akhir  ini Kalila menjadi  jengkel  karena Raja Singa jarang  mengunjungi  rakyatnya,  Kalila pun menceritakan  hal  itu  kepada  sahabatnya Damina.

Setelah mendengar cerita tersebut Damina menghadap ke Raja Singa dan menjelaskan perihal masalah tersebut, Damina memberi sebuah solusi. Setelah beberapa lama, datanglah Damina  bersama Sjatrabah, Sjatrabah pun menceritakan apa saja yang terjadi, ia pun diperbolehkan Raja Singa untuk  tinggal menjadi rakyat. Raja Singa sudah  mulai  percaya  terhadap Sjatrabah, karena ia mulia, baik dan ikhlas  dalam berkawan. Ternyata kedekatan Sjatrabah  dengan Raja Singa tidak segani oleh Damina. Damina merasa posisi sudah diambil alih oleh Sjatrabah. Damina sudah mempersiapkan rencana  untuk menghancurkan Sjatrabah, ia menyebarkan fitnah untuk Sjatrabah.

 Akhirnya Raja Singa percaya  dan menyuruh Sjatrabah untuk dibunuh, sebenarnya dalam hati, Raja Singa sangat berduka atas  kematian sahabatnya itu. Kejahatan tidak akan selamanya tertutupi, ternyata  fitnah yang dilakukan Damina mulai diketahui oleh Ibu Raja Singa. Lalu, beliau menemui Raja Singa dan mengatakan  kepadanya bahwa kematian  Sjatrabah   karena fitnahan dari Damina. Mendengar hal itu Raja Singa pun memerintahkan para ajudannya untuk menangkap Damina dan memenjarakannya. Kalila, sahabat Damina sangat rindu kepadanya, sampai terlalu lama menuggunya ia hingga mati. Akhirnya, Damina  dijatuhi hukuman mati. Ia menerimanya  karena ia sudah tidak sanggup lagi  sebas sudah kehilangan sahbatnya Kalila.

 

B.     UNSUR INTRINSIK “ HIKAYAT KALILA DAN DAMINA”

          Tema        : Kesyirikan

         Latar          :

 1. Tempat             : Hutan, Kerajaan,

 2. Waktu              : Jaman dahulu, Malam hari

 3. Suasana            : Menegangkan,   

         Alur           : Maju

         Tahap Alur            :

1.      Perkenalan                               : Paragraf 1  dan Paragraf 2 kalimat 1 dan 2

2.      Pemunculan Masalah              : Paragraf  2  kalimat 3  sampai terakhir

3.      Klimaks                                   : Paragraf 3

4.      Ketegangan menurun              : Paragraf 4

5.      Penyelesaian                            : Paragraf 4 kalimat terakhir

         Bahasa       : Dominan bahasa Indonesia dan ada sebagian bahasa klise ( bahasa melayu)

         Tokoh dan Perwatakan     :

1.      Perkembangan Tokohnya        :

a)      Statis               : Kalila, Ibu Raja Singa, Tuan Sjatrabah, Hamba Tuan  dari Sjatrabah        

b)      Dinamis           : Damina, Raja Singa

2.      Peran   :

a)      Protagonis       : Sjatrabah

b)      Antagonis        : Damina

c)      Tritagonis        :  Kalila

3.      Tokoh dalam Cerita    :

a)      Tokoh Utama              :  Sjatrabah, Damina, Raja Singa

b)      Tokoh Bawahan          : Kalila, Ibu Raja Singa, Tuan Sjatrabah, Hamba   Tuan dari Sjatrabah,

4.      Perwatakan     :

a)      Fisik    : 

b)      Batin   :

Damina                                    :  Licik,

Kalila                                       : Bijak, pandai ,

Hamba   Tuan dari Sjatrabah  : Apatis

Ibu Raja Singa                                    : Peduli, Tegas,

Raja Singa                               : Tegas

Sjatrabah                                 : mulia, baik dan ikhlas  dalam     berkawan

Tuan Sjatrabah                        :  Apatis

         Sudut Pandang     : Orang ke tiga serba Tahu

         Amanat     : Kajahatan (fitnah) tidak akan selamanya tertutupi, karena   kebenaran pasti akan terbukti.     

 

C.     UNSUR EKSTRINSIK “ HIKAYAT KALILA DAN DAMINA”

         Biografi Pengarang     :

Baidaba, seorang filsuf India yang hidup pada abad 3 Masehi. Menulis buku Hikayat Kalilah & Dimmah untuk Dabsyalim, Raja India. Karyanya mengandung kisah-kisah alegoris atau kiasan dalam bahasa binatang (fabel) yang dimaksudkan sebagai kritik dan nasihat kepada seorang raja yang lalim. Melalui fabel-fabelnya , Baidaba bermaksud meluruskan berbagai penyimpangan yang dilakukan sang Raja dalam sgenap sepak-terjang politik kekuasaan dan perjalanan hidupnya. Karena kandungan kearifannya sangat berbobot dan dituturkan dalam bahasa yang mudah dipahami, sehingga karyanya mampu bertahan hingga sekarang.

Dalam hikayat ini disebut bahwa pengarangnya bernama Baidapa. Konon nama ini merupakan sebuah bentuk yang sudah rusak dari nama Sanskerta Widyapati yang bisa diartikan sebagai "Raja Ilmu Pengetahuan". Sedangkan judul hikayat Kalila dan Daminah konon merupakan sebuah bentuk rusak dari Karn

         Keadaan    Budaya            :

Hikayat Kalila dan Daminah adalah sebuah hikayat dalam bahasa Melayu yang merupakan sebuah terjemahan daribahasa Arab. Tetapi karya sastra ini bukanlah sebuah karangan asli dalam bahasa Arab pula, melainkan sebuah terjemahan daribahsa Persia kuna. Karangan dalam bahasa Persia Kuna ini pada gilirannya merupakan terjemahan daribahsa Samsekerta. Dalam bahasa Sanskerta karya sastra ini disebut Panca Tatra.

 

 

D.     NILAI -  NILAI  DALAM “ HIKAYAT KALILA DAN DAMINA”

         Nilai Moral                        : Semua bentuk Kejahatan pasti akan musnah jika dilawan dengan kebaikan

         Nilai Religius                    : Agama mengajarkan bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, hal itu terbukti dalam hikayat ini.

         Nilai Pendidikan               :  Memberikan sebuah pelajaran berharga bahwa sekecil apapun yang kita lakukan   pasti ada balasannya.

         Nilai Sosial Budaya          :  Menddidik kita untuk senantiasa  berhati mulia, baik dan  ikhlas  dalam berkawan

HIKAYAT “IBNU HASAN”

 

Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak harta banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang paling ramai saat itu.

Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus  mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.

Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat tampan, pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.

Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya, namun demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena itulah kedua orang tuanya sangat menyayanginya.

Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat mendidik anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”

Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil dinasihati, bahwa Ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”

Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku tolak, siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”

Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus berpisah dengan putranya, yang masih sangat kecil, belum cukup usia.

“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri, karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senangkaena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.”

Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang salah, pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”

Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas Mairun.

Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat berkat do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama, terus berguru padanya.

Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”

Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,” Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?”

“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama, harus sesuai dengan aturan.”

Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di segera  pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.”

Kyai berkata demikian, tujuan untuk  menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian.

Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.

Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang, ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.

Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada, sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.

Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.

Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.

Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.”

Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.

 

UNSUR INSTRINSIK

Ø  Tema    : Bakti seorang anak terhadap orang tuanya

Ø  Tokoh   : 

o   Ibnu Hasan

o   Syekh Hasan

o   Ibu Ibnu Hasan

o   Mairin

o   Mairun

o   Saleh

o   Kyai guru

Ø  Penokohan : 

o   Ibnu Hasan = Baik, tidak sombong, kalem, pendiam, penurut

o   Syekh Hasan = Baik, Bijaksan, Penyayang

o   Ibu Ibnu Hasan = Baik, Penyayang

o   Mairin dan Mairum = Setia

o   Saleh = Sopan

o   Kyai guru = Baik

Ø  Plot/Alur : Alur Maju

Ø  Latar :

o   Latar tempat = Negeri Bagdad, Mesir, Pesantren

o   Latar waktu = Zaman dahulu kala, Saat ba’da Dzuhur

o   Latar suasan = Mengahrukan, sedih, Prihatin

Ø  Sudut pandang : Orang ketiga tunggal

Ø  Amanat : Patuhlah kepda kedua orangtuamu, berbuat baiklah kesesama manusia dan janganlah sekali-kali engkau menyombongkan diri.

 

 

UNSUR INSTRINSIK

Ø  Agama : Menganut agama Islam

Ø  Pendidikan : Ibnu Hasan baru saja ingin menuntut ilmu pada kyai guru

Ø  Adat istiadat : Sopan, mengasihi yg kekurangan, dll

Ø  Status ekonomi : Syekh Hasan sangat kaya raya.

 

UNSUR EKSTRINSIK

 

1)   NILAI AGAMA

(“……..dengan selamat berkat do’a ayah dan ibunda selanjutnya, segera ia menemui seorang alim ulama, terus berguru padanya.”) Dan (“Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.”)

Nilai agama yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah berkat doa orang tua kepada anaknya maka selamatlah anaknya sampai tujuan serta sebagai umat yang beragama kita selalu berdoa kepada Tuhan Yang maha Esa agar selalu diberikan keselamatan dan juga kita selalu menyanyangi orang yang tidak mampu.

 

2)   NILAI SOSIAL

“Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan Mairun. Mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang sesekali menggantikan tugas Mairun.”

Nilai sosial yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita sesame manusia harus saling tolong menolong dan saling melindungi satu sama lain.

 

3)   NILAI BUDAYA

“Dipanggilnya putranya, anak itu segera mendatanginya diusap-usapnya putranya sambil dinasihati bahwa ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir tapi pergilah ke Mesir carilah jalan menuju keutamaan. ”Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku tolak, siang malam hanya perintah ayah ibu yang hamba nantikan.”

 

Nilai budaya yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita sebagai seorang anak akan selalu mematuhi perkataan orang tua kita namun perintah yang positif.

 

4)   NILAI ADAT ISTIADAT/ETIKA

“Kelak, apabila anaknda sudah sampai ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri karena jauh dari orang tua harus tahu ilmunya hidup jangan keras kepala, angkuh dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senang karena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.” Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan kucatat dalam hati, doakanlah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang salah, pesan ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”

Nilai etika dari penggalan hikayat tersebut adalah jangan merasa sombong dan saling tolong menolonglah terhadap sesama karena setiap orang akan saling membutuhkan ( makhluk sosial ).

 

5)   NILAI EKONOMI

Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan bernama Syekh Hasan, banyak harta banyak uang terkenal kesetiap negeri merupakan orang terkaya bertempat tinggal di Negeri Bagdad yang terkenal kemana-mana sebagai kota yang paling ramai saat itu.

Nilai ekonomi yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa orang tersebut merupakan orang yang banyak harta dan uang serta terkenal kemana-mana.

 

6)   NILAI PENDIDIKAN

Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?” Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,” Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?” “sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar,  berhitung, menulis, mengeja, belajar tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama, harus sesuai dengan aturan.”

 

Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, dia segera pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.” Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian. Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu. Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang, ternaknya pun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan. Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada, sudah meninggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba. Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh. Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan. Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihi orang tua, paling tidak harus sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.” Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.

 

Nilai pendidikan yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita menuntut ilmu bukan untuk mendapat pujian melainkan untuk mendapatkan imu yang bermanfaat untuk masa depan yang lebih baik.

HIKAYAT SI MISKIN

 

Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.

Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.

Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”

Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.

Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih sayang.

Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya.

Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.

Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.

Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.

Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.

Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.

Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.

Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.

Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan–jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.

Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.

Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.

Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti dahulu kala.

Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).

Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam Cahaya.

 

 

Unsur Intrinsik dalam hikayat Si Miskin

1.      Tema :  Kunci kesuksesan adalah kesabaran. Perjalanan hidup seseorang yang mengalami banyak rintangan dan cobaan.

2.       Alur : Menggunakan alur maju, karena penulis menceritakan peristiwa tersebut dari awal permasalahan sampai akhir permasalahan.

 

3.    Setting/ Latar :

·         Setting Tempat : Negeri Antah Berantah, hutan, pasar, Negeri Puspa Sari, Lautan, Tepi Pantai Pulau Raksasa, Kapal, Negeri Palinggam Cahaya.

·         Setting Suasana : tegang, mencekam dan Ketakutan, bahagia, menyedihkan

 

4.    Sudut Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.

5.    Amanat :

·         Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang adil dan pemurah.

·         Janganlah mudah terpengaruh dengan kata-kata oran lain.

·         Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah      hati.

·         Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.

·         Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.

·         Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.

·         Hidup dan kematian, bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia hanya dapat menjalani takdir yang telah ditentukan.

 

Unsur Ekstrinsik dalam Hikayat Si Miskin

1. Nilai Moral

     Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.

     Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita pada orang lain.

2. Nilai Budaya

     Sebagai seorang anak kita harus menghormati orangtua.

     Hendaknya seorang anak dapat berbakti pada orang tua.

3. Nilai Sosial

     Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.

     Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.

4. Nilai Religius

     Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

     Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.

5. Nilai Pendidikan

     Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.

     Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

 

HIKAYAT PATANI

 

     Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri Patani Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana. Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu. Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia pergi berburu. 

Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda: "Aku dengar khabarnya perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon." Maka sembah segala menteri: "Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar pun demikian juga." Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jikalau demikian kerahkanlah segala rakyat kita. Esok hari kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu." Maka sembah segala menteri hulubalangnya: "Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung." Arkian setelah datanglah pada keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala menteri hulubalangnya diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu itu, maka sekalian rakyat pun berhentilah dan kemah pun didirikan oranglah. Maka baginda pun turunlah dari atas gajahnya semayam didalam kemah dihadap oleh segala menteri hulubalang rakyat sekalian. Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa itu. Hatta setelah orang itu datang menghadap baginda maka sembahnya: "Daulat Tuanku, pada hutan sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya." Maka titah baginda: "Baiklah esok pagi-pagi kita berburu"

     Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka segala rakyat pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari pagi-pagi hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh. Maka baginda pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda sendiri itu. Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta ada sekira-kira dua jam lamanya maka berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing itu. Setelah baginda datang kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah dengan segala orang yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh anjing itu?" Maka sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna tubuhnya gilang gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun lenyaplah pada pantai ini."

     Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan kepada tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini duduk merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya. Maka hamba raja itu pun menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang tua itu: "Daulat Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke Ayutia, maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu. Setelah Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini." Maka titah baginda: "Apa nama engkau?". Maka sembah orang tua itu: "Nama patik Encik Tani." Setelah sudah baginda mendengar sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu baginda pun berbicara dengan segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada tempat pelanduk putih itu. 

     Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang mudik ke Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu. Setelah sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing dengan ketumbukannya, maka baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai. Hatta antara dua bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir duduk pada negeri yang diperbuat itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri yang sejahtera). Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya itu) pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik Tani naik turun merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu mengikut nama orang yang merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut sembah orang mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.

 

Hikayat Mashdulhak

 

Hatta maka beberapa lamanya Mashdulhak pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdik dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka di carinya perahu hendak menyeberang,tiada dapat perahu itu. Maka dinantinya kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itupun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhenti di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tia, lagi bungkuk belakangnya. Maka kata orang itu,”hai tuan hamba,sebeerangkan apalah kiranya hamba kedua ini,karena hamba tiada dapat berenang,sungai ini tiada hamba tahu dalam dangkalnya.” Setelah di dengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk serta dilahatnya perempuan itu baik rupanya,maka orang Bedawi itu sukalah,dan berkata dalam hatinya,”Untunglah sekali ini.”

                Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu merendahkan dirinya,hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki istri itu. Maka kata orang tua itu ,”Tuan hamba seberangkan apalah hamba kedua ini.” Maka kata Bedawi itu,”Sebagaimana hamba hendak bawa kedua ini,melainkan seorang juga dahulu maka boleh,karena air ini dalam.”

                Maka kata orang tua itu kepada istrinya,”Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka turunlah perempuan itu kedalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu,”Berilah barang-barang bekal tuan hamba dahulu,hamba seberangkan.”

                Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu,supaya dikata oleh si Bungkuk air itru dalam. Maka sampailah pada pertengahan sungai itu,maka kata Bedawi itu,”Akan tuan ini terlalu elok rupanyadengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakukan orang tua bungkuk itu,agar supaya tuan hamba,hamba ambil,saya jadikan istri hamba.” Maka berbagai-bagailah kata akan perempuan itu.

                Maka perempuan itu kepadanya,”Baiklah,hamba turutlah maka tuan hamba itu.” Maka apabila sampai ia keseberang sungai itu,maka keduanyapun mandilah,setelah sudah maka mkanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala perlakuan itu semua dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.

                Kelakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan,maka ia pun berjalan keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu aka Bedawi dengan istrinya,maka iapun berkata-kata dalam hatinya,”Daripada hidup melihat hal yang demikian ini,baiklah aku mati.”

                Setelah itu maka terjunlah ia kedalam sungai. Maka heranlah ia,karena dilihatnya sungai sampai itu airnya tiada dalam,maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikuti Bedawi itu dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Mashdulhak itu. Maka orang tua itupun datanglah mengadu kepada Mashadulhak. Satelah itu disuruh oleh Mashdulhak panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu kata Mashudulhak,”Istri siapa perempuan ini.”

                Maka Bedawi itu,”Istri hamba perempuan ini.Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan benar dinikahkan dengan hamba.”

                Maka kata orang tua itu,”Istri hamba,dari kecil nikah dengan hamba.”

                Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orangpun berhimpun,datang melihat hal mereka itu bertiga. Maka bertanyalah Mashudulhak kepa perempuan itu,”Berkata benarlah kau,siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?” maka kata perempuan celaka itu,”Si panjang inilah suami hamba.”

                Maka pikirlah,Mashudulhak,”baik kepada seorang seorang aku bertanya,supaya berketahuan siapa,salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.”

                Maka diperjauhkannyalah laki-laki,itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh Mashudulhak. Maka kata perempuan itu,”Si panjang itulah suami hamba.”

Maka kata Mashudulhak,”Jika sungguh-sungguh ia suamimu siapa mertuamu laki-laki dan siapa mertuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?”

                Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Mashudulhak perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si panjang itu. Maka kata si Mashudulhak,”Berkata benarlah engkau ini. Sungguh perempuan itu istrimu.”

                Maka Bedawi itu,”Bahwa perempuan itu nyatalah istri hamba,lagi pula perempuan itu sendiri sudah berikrar,mengatakan hamba ini tentulah suaminya.”

                “Syahdan maka mertuamu laki-laki dam mertuamu perempuan,dan dimana kampong tempat ia duduk?”

                Maka tadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Mashudulhak jauhkan laki-laki Besawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Mashudulhak,”Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benarnya”

                Maka orang tua itu daripada mula awalnya. Kemudian maka dikatakannya siapa mertuanya laki-laki dan perempuan dan dimana tempat duduknya.

                Maka Mashudulhak dengan sekalian orang banyak itupun taulah akan salah Besawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Mashudulhsk ada Besawi itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salah. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Mashudulhak akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Maka kemudian disuruh tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikai itu.

                Maka bertambah-tambah arif bijaksana Mashudukhak itu.

 

Unsur Intrinsik dan ekstrinsik HIKAYAT

Judul           : Hikayat Mashudulhakk (perkara si bungkuk dan si panjang)

Unsur intrinsik :

         Tema               : Kesetiaan dan Pengkhianatan dalam Cinta

         Tokoh             :

Masyhudulhakk : arif, bijaksana, suka menolong, cerdik, baik hati.

Si Panjang / Bedawi : licik, egois.

Istri Si Bungkuk : mudah dirayu, tidak setia, suka berbohong, egois.

         Setting :

·           tempat :

·         tepi sungai : Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya.

·         Sungai : turunlah perempuanitu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu

·         Suasana :

·         menegangkan: Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.

·         Mengecewakan:  "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati.Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu.

·         Membingungkan: Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah.

·         Waktu : tidak diketahui

    Alur : Alur maju

  Eksposisi         :

Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit  maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai.

  Complication   :

….serta dilihatnyaperempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!

  Rising action   :

Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba."

  Turning point :

Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.

  Ending                        :

Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.

   Poin of View :

  orang ke-3 :

Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.

         Amanat :

  Jangan berbohong karena berbohong itu tidak baik, merupakan dosa, dan hanya akan menimbulkan kerugian pada diri kita sendiri

  Bantulah dengan ikhlas orang yang membutuhkan bantuan

  Syukurilah jodoh yang telah diberikan Tuhan, yakini bahwa jodoh itu baik untuk kita

  Jangan mengambil keputusan sesaat yang belum dipikirkan dampaknya

  Jadilah orang yang bijaksana dalam mengatasi suatu masalah

 

Unsur ekstrinsik :

         Nilai religiusitas : kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah. Jangan pernah merasa iri dengan apa yang tidak kita miliki karena apa yang te;ah diberikan Allah kepada kita adalah sesuatu yang memang terbaik untuk kita. Janagn seperti yang ada pada hikayat mashudulhakk.

 

         Nilai moral :

Janganlah  sekali-kali  kita memutar balikkan fakta, mengatakan bahwa yang salah itu benar dansebaliknya, karena bagaimanapun juga kebenaran akan mengalahkan ketidak benaran.

         Nilai social budaya :

Sebuah kesalahan pastilah akan mendapat sebuah balasan, pada hikayat ini diterangkan bahwa seorang yang melakukan keslahan seperti berbohong maka akan did era sebanyak seratus kali. (Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.)

         Kepengarangan :

Hikayat mashudulhakk ini dari salah satu naskah lama (Collectie v.d. Wall) dengan diubah di sana-sini setelah dibandingkan dengan buku yang diterbitkan oleh A.F. v.d. Wall (menurut naskah yang lain dalam kumpulan yang tersebut).Dalam Volksalmanak Melayu 1931 (Balai Pustaka) isi naskah yang dipakai v.d. Wall itu diringkaskan dan sambungannya dimuat pula, dengan alamat "Masyudhak".. Dinantinya.