KARYACOMBIRAYANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apendisitis adalah peradangan dari apendik periformis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih, 2010)
Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat
karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut
serta dalm system imun sektorik di saluran pencernaan. Namun, pengangkatan
apendiks tidak menimbulkan efek fungsi system imun yang jelas (syamsyuhidayat,
2005).
Insiden apendisitis di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara
berkembang. Namun, dalm tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun
secara bermakna. Hal ini di duga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat pada diit harian (Santacroce,2009).
Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia,
apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa
indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendisitis
di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen
lainya (Depkes 2008). Dinkes jateng menyebutkan pada tahun 2009 jumlah kasus
apendisitis di jawa tengah sebanyak 5.980 penderita, dan 177 penderita diantaranya
menyebabkan kematian. Pada periode 1 Januari sampai 31 Desember 2011 angka
kejadian appendisitis di RSUD salatiga, dari seluruh jumlah pasien rawat inap
tercatat sebanyak 102 penderita appendisitis dengan rincian 49 pasien wanita
dan 53 pasien pria. Ini menduduki peringkat ke 2 dari keseluruhan jumlah kasus
di instalsi RSUD Salatiga. Hal ini membuktikan tingginya angka kesakitan dengan
kasus apendiksitis di RSUD Salatiga.
Peradangan pada apendiks selain mendapat intervensi farmakologik juga
memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi dan memberikan
implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan keperawatan. Berlanjutnya kondisi
apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan pembentukan masa
periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga
abdomen lalu memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi
peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka
akan memberikan manifestasi nyeri local akibat akumulasi abses dan kemudian
juga akan memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi
apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah
(Tzanakis, 2005).
Tujuh persen penduduk di Amerika menjalani apendiktomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dengan insidens 1,1/1000 penduduk pertahun, sedang di
negara-negara barat sekitar 16%. Di Afrika dan Asia prevalensinya lebih rendah
akan tetapi cenderung meningkat oleh karena pola dietnya yang mengikuti orang
barat (www.ilmubedah.info.com, 2011).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa defenisi dari apendisitis ?
2.
Apa etiologi dari apendisitis ?
3.
Bagaimana patofisiologi apendisitis ?
4.
Apa manifestasi klinis apendisitis ?
5.
Bagaimana Pemeriksaan Penunjang ?
6.
Apa saja penatalaksanaan medis dari apendisitis ?
7.
Jelaskan Komplikasi apendisitis !
8.
Bagaimana Pencegahan apendisitis
?
9.
Jelaskan Prognosis apendisitis !
BAB II
KOSEP MEDIS
A. Defenisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks
vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit
ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga
abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa apendisitis adalah
kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah
abdomen yang paling sering terjadi.
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari
lima bagian antara lain :
1. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas
dan mengenai peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di
abdomen kanan bawah.
2. Apendisitis
infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis
infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa
di tutupi pendinginan oleh omentum.
3. Apendisitis perforata
Ada fekalit
didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan diagnosa
merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks.
4. Apendisitis rekuren
Kelainan ini
terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun
apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan
jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
5. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks,
sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus
lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
B. Etilogi
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti
belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain
itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya
sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah
serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini
mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2004).
C. Patofisiologi
Apendisitis
biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing,
striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis
supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah,
akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan
lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang. Pada anak-anak, kerena
omentum lebih pendek dan apendiks
lebih panjang, maka dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
D. Manifestasi Klinik
Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan
apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus
yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 – 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran
kanan bawah yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat
juga keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya
juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada
keluhan abdomen yang menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah
akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan
satu titik dengan nyeri maksimal perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat
membantu menentukan lokasi nyeri.
Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002),
apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. Nyeri kuadran
bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Pada apendiks
yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah
pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior
anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau
diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks
melingkar di belakang sekum, nyeri tekan terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya
ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal.
Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks
berada dekat rektum. Nyeri pada
saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau
ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi.
Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran
bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa
dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar.
Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala
apendisitis dapat sangat
bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi
usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai
ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi
pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan
kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.
Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C.
Hackley (2000), manifestasi klinis apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai
dengan demam derajat rendah, mual, dan seringkali muntah
2. Pada titik Mc
Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari
bagian bawah otot rektus kanan
3. Nyeri alih
mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri tekan, spasme
otot, dan konstipasi serta diare kambuhan
4. Tanda Rovsing
(dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah , yang menyebabkan nyeri
kuadran kiri bawah)
5. Jika terjadi
ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi distensi
abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.
E. Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan
laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan
pada pasien yang diduga appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar
pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil diatas
75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai
meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
2.
Pemeriksaan
urine
Untuk melihat
adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini sangat membantu
dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu
ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
3.
Pemeriksaan
radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan
pada pasien yang diduga appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi,
CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari
appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.
4.
Pemeriksaan
USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat
dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya
abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
5. Abdominal
X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith
sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada
anak-anak.
F. Penatalaksanaan
Pembedahan
diindikasikan bila diagnosa
apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV
diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai
pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah
diagnosa ditegakkan. Apendiktomi
(pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dilakukan sesegera
mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau
spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode
terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak
dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas
sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila terdapat
laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik
pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau
tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan
apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Tindakan medis
a. Observasi
terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul
gejala dan tanda apendisitis, sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat
penting dilakukan observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur
dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan maka dapat
diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan,
tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra
indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di
ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi tegak
pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi
kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan
pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang
menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini
dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar
operasi dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian
antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang
berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi
dilakukan segera setelah terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan
gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan.
Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai praksi mortalitas
1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya
disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang
tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital
untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam, syok hipertermia, atau
gangguan pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah sadar,
sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi
fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama
itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada
perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali
normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu
naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makan saring, dan
hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien
dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari
kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan
dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
G. Komplikasi
Komplikasi
utama apendisitis adalah
perforasi apendiks yang
dapat berkembang menjadi peritonitis
atau abses. Insidens
perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada
anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan
nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi,
penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer dan
Barre, 2002).
H. Pencegahan
1. Diet tinggi
serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan makanan dalam saluran
cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan mengeras.
2. Minum air
putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga akan
membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.
I. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta
pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit apendisitis sangat
kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila
terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak
diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada (Mansjoer, 2000).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks
vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit
ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari
lima bagian antara lain :
1. Apendisitis
akut
2. Apendisitis
infiltrat (Masa periapendikuler)
3. Apendisitis
perforata
4. Apendisitis
rekuren
5. Apendisitis
kronis
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti
belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri.
Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya
sumbatan lumen apendiks,
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing
askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis
juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Apendisitis
biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing,
striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
B. Saran
Jagalah kesehatan
dengan minum air putih minimal 8 gelas sehari dan
tidak menunda buang air besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran
cerna secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Baughman,
Diane C dan Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan
Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
_____________2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat,
R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer,
Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy
R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC,
Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.